Beli Kursi di Langit

Selasa, 31 Maret 2009 – 06:40 WIB

SEJAK Mandala dikenal cukup on time, banyak orang pindah ke penerbangan ituTermasuk saya

BACA JUGA: Gaya Obama Tangani Aset-Aset Warisan

Garuda sudah terasa terlalu mahal
Apalagi Mandala juga sudah menggunakan pesawat yang relatif baru: Airbus 319 atau Airbus 320

BACA JUGA: Komite Aksi Merebut Uang Inves Kembali



Orang seperti saya, on time termasuk pertimbangan yang penting
Antara satu janji dan janji yang lain sering agak mepet

BACA JUGA: RAPBN Krisis, Arena Perjudian Obama

Karena itu, meski Garuda terkenal mahal, orang tetap memilih Garuda karena on timeMemang banyak orang memilih Garuda karena perasaan lebih safeTapi ketika kelebihan-kelebihan Garuda itu juga sudah bisa dipenuhi Mandala, orang lantas memilih yang lebih murah.

Memang di Mandala tidak memperoleh makanan/minumanTapi, untuk terbang jarak pendek seperti Surabaya-Jakarta, faktor makanan tidaklah pentingTidak mungkin orang mati kelaparan dalam penerbangan satu jamApalagi orang seperti saya, begitu naik pesawat memilih segera tidur! Ketika masih sering naik Garuda dulu, meski di kelas eksekutif, saya sering berpesan agar kalau sedang tertidur jangan dibangunkan hanya untuk makan

Kini memang sedang dalam ujian: apakah Mandala bisa mempertahankan citra on time-nya ituPada 25 Maret lalu, ketika terbang dari Jakarta ke Balikpapan dengan Mandala, saya bertemu teman-teman asal Surabaya di lounge Mandala di terminal 1 CengkarengMereka sekeluarga lagi kelihatan kusutOh, ternyata mereka lagi transit untuk cing bing (ziarah kubur) ke JambiPesawat Mandala yang dia naiki terlambat tidak tanggung-tanggung: 7 jam! Mestinya berangkat pukul 9 pagi, baru akan berangkat pukul 4 sore.

Ujian berikutnya: mempertahankan citra safe! Pesawat itu, baru atau lama, sebenarnya tidak terlalu ada hubungannya dengan safe atau tidakBiarpun pesawat lama, kalau pemeliharaan dan prosedur pemeriksaannya sempurna, ia akan sama safe-nya dengan pesawat baruNamun juga bisa dipahami bahwa secara psikologis, naik pesawat baru lebih safeDan Mandala tahu menjaga perasaan penumpang tersebutKarena itu, dia menggunakan pesawat yang relatif baru.

Sebagian pesawat itu kelihatannya pindahan dari IndiaTerlihat di layar monitornya masih ada display tulisan yang berbunyi Deccan (sebuah kawasan di selatan India, Red) dengan desain khususSaya langsung teringat ketika tahun lalu ke IndiaDi beberapa rute, saya naik pesawat Deccan AirwaysDi India memang banyak perusahaan penerbangan swastaSemuanya menggunakan pesawat-pesawat relatif baruSaya dengar persaingan di sana sangat keras dan belakangan beberapa di antara mereka merger.

Di Mandala kita juga bisa naik kelas ''eksekutif"Syaratnya juga ringan: hanya membayar tambahan Rp 50.000/orangDengan membayar uang tambahan itu, Anda bisa duduk ke kursi paling depanMemang kursi ''eksekutif" itu tidak beda dengan yang ekonomi, namun duduk di depan lebih baik: bisa cepat-cepat keluar dari pesawat untuk mengejar jadwalBerarti ada enam tempat duduk (tiga di kiri dan tiga di kanan) yang bisa dijual Rp 50.000-anTambahan Rp 300.000 rupanya dianggap penting sehingga pesawat yang mestinya berisi 120 itu bisa menghasilkan uang 121.

Waktu ke Singapura pekan lalu pun, saya naik pesawat murah: Value AirSebelum krisis, saya selalu naik Singapore Airlines (Silk Air) atau GarudaDi rute Surabaya-Singapura ini, kita harus bangga: orang lebih menyenangi Garuda daripada pesawat Singapura ituKursi kelas eksekutifnya jauh lebih enak Garuda: lebih besar dan lebih longgarDemikian juga kursi kelas ekonominya: lebih longgar

Tapi, naik pesawat murah (biasa disebut budget airlines) juga tidak menderitaMeski kalah dengan Garuda, tapi kelas ekonominya tidak kalah dengan Silk Air yang mahalToh waktu kedatangannya sama saja: 2 jamSaya memang sudah lama ingin mencoba pesawat murah untuk SingapuraMotifnya: ingin melihat budget terminal di Changi

Sejak tahun lalu bandara Singapura memiliki empat terminal: terminal 1, terminal 2, terminal 3, dan terminal murah (budget terminal)Terminal 1, 2, dan 3 berada dalam satu wilayah yang dihubungkan dengan kereta khususTerminal 1 paling sederhana, terminal 2 lebih mewah, dan terminal 3 mewah sekaliSedangkan terminal murah (untuk penerbangan-penerbangan murah) berada terpisah yang tidak ter-connect dengan tiga terminal lainnyaSaya ingin sekali melihatnyaSatu-satunya cara sudah tentu kalau saya naik pesawat murah.

Saya check-in agak telat hari ituKarena itu, saya mendapat tempat duduk sangat belakang: dekat toiletSaya sudah berusaha minta agak depan, tapi tidak ada lagi yang kosongPadahal, saya harus cepat-cepat keluar dari pesawat agar bisa antre paling depan di imigrasi nantiDari bandara, saya harus langsung ke tempat acara perkawinan yang waktunya sudah mepet.

Begitu masuk pesawat, saya lihat kursi deretan depannya kosongSaya ingin duduk di situ, tapi pramugari berkeras minta boarding pass untuk melihat nomor kursi sayaMaka, saya pun ketahuan harus duduk di belakangSambil berjalan ke belakang, saya lihat dua deret kursi di bagian tengahnya kosongYakni di deretan dekat pintu daruratSaya ngotot mau duduk di situ saja: daripada di dekat toilet.

Ternyata saya juga dilarang duduk di situSemula saya mengira karena kursi-kursi itu di dekat pintu daruratMaka saya bilang: saya tahu bagaimana harus bersikap ketika duduk di dekat pintu daruratSaya sudah sering diajari pramugari bahwa seseorang yang duduk di kursi seperti itu harus tahu bagaimana cara membuka pintu daruratSehingga kalau terjadi kecelakaan, harus tahu apa yang pertama-tama harus dilakukan.

Ternyata ini bukan soal keterampilan membuka pintu darurat.

''Duduk di kursi itu harus membayar uang tambahan 10 dolar," ujar sang pramugari.

''Dolar Singapura?" tanya saya.

''Ya," jawabnya.

''Saya mau bayar," kata saya.

Lalu, saya teringat jangan-jangan kursi kosong paling depan tadi urusannya juga hanya soal bayar-membayar

''Berarti saya boleh juga duduk di deretan nomor 1 itu?" tanya saya.

''Oh, kalau itu bayarnya 20 dolar," katanya.

''Saya mau," kata saya.

''Kalau begitu, silakan," jawabnya.

''Bisa bayar di atas pesawat sini?" tanya saya.

''Bisa!" katanya.

Maka, saya dan istri kembali ke depanMembuka dompet dan membayar 40 dolar (sekitar Rp 300.000) untuk dua orangSaya memang membiasakan mengisi uang-uang asing di dompet saya: dolar Singapura, Malaysia, bath Thailand, dolar Hongkong, dolar AS, dan terutama ren min bi Tiongkok.

Dengan pengalaman ini, saya tersenyum: wah semakin pintar saja orang cari uangJangan-jangan kelak, kursi di dekat jendela juga punya harga berbedaKursi di aisle (gang tempat jalan) juga bertarif tidak samaTapi, kalau kursi di kokpit juga dijual meski dengan harga mahal, saya ingin juga mencoba sekali-kali.

Meski pesawat murah, ternyata enak jugaPesawatnya juga Airbus 320Yang membuat saya agak kecewa adalah: ternyata pesawat ini mendarat di terminal 1Dengan demikian, gagallah keinginan saya merasakan seperti apa itu terminal murah.

''Mengapa tidak mendarat di budget terminal?" tanya saya kepada pramugari.

''Ini bukan budget airlines," jawabnya.

''Lho, memangnya ini pesawat apa?" tanya saya.

''It is low cost carrier," jawabnya(''Ini pesawat murah").

''Apa bedanya budget airlines dengan low cost carrier?" tanya saya.

''Budget carrier kan semua harus bayar sendiriMisalnya, makanan dan minumannya," katanya.

Oh, saya jadi lebih bingungDi penerbangan ini, saya memang diberi air dan sepotong roti, tapi untuk makanan dan minuman lainnya, saya juga harus beliKursi pun harus beliSaya benar-benar tidak tahu apa beda budget carrier dengan low cost carrier.

Saya tidak mau pusing memikirkannya(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bebaskan Sepak Bola dari Politik!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler