jpnn.com - EPIOSODE lain dari lakon Wage Rudolf Soepratman, si pengarang Indonesia Raya. Berani taruhan, bagian yang ini belum banyak orang tahu.
Khusus untuk pembaca JPNN.com, kami sajikan. Selamat mengikuti…
BACA JUGA: Menyigi Temaram Prostitusi di Kalijodo
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Usai meliput Kongres Perempuan Indonesia I, 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, W.R. Soepratman, wartawan koran Sin Po tak hanya menulis berita.
BACA JUGA: Dari Zaman Kolonial Hingga Zaman Revolusi, Kalijodo Tak...
Terinispirasi riuh-rendah perhelatan kaum perempuan tersebut, dia membuat lagu Ibu Kita Kartini.
Lebih dari itu, dia menulis novel. Judulnya Perawan Desa. Ini yang belum banyak orang tahu.
BACA JUGA: Fientje de Feniks, Nestapa Pelacur Papan Atas di Zaman Kompeni
Pada 1929, naskah beres.
Setelah berhitung, W.R. Soepratman mesti membayar 125 gulden untuk biaya cetak 2000 eksemplar novelnya kepada perusahan percetakan, di Weltevreden (kini Gambir, Jakarta-red).
Novel Perawan Desa
Uang kontan dibayar, Perawan Desa pun naik cetak. Untuk menarik perhatian, dia pasang iklan.
Beberapa eksemplar dikirim ke sanak saudara dan koleganya, "di Surabaya, Bandung, dan Cimahi, serta ke beberapa alamat-alamat pemesan di luar kota," tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Soepratman.
Mendapati iklan novel Perawan Desa, pemerintah pun pasang mata-mata. Sebab, penulisnya W.R. Soepratman, yang berselang tahun sebelumnya menciptakan lagu Indonesia Raya.
Seorang pribumi yang dibayar pemerintah datang ke toko Java, saat Soepratman sedang berkemas mengirim buku pesanan ke sejumlah alamat.
Orang itu datang dengan senyum ramah. Dibelinya beberapa buah novel Perawan Desa. Katanya sih, untuk dibagikan ke beberapa kawannya sesama pengusaha yang bersimpati pada pergerakan nasional.
Sambil memuji lagu Indonesia Raya, orang itu berjanji akan datang lagi, untuk membeli lagi sejumlah novel Perawan Desa.
Jurus masuk. Ujung-ujungnya dia menanyakan apa yang sebenarnya tersirat di balik halaman-halaman novel itu. Aaaw…
Bredel
Sejurus kemudian, pemerintah melalui kaki-tangannya meneliti kandungan novel tersebut dan segera saja menyimpulkan bahwa novel itu pada hakekatnya, protes terhadap praktek-praktek kolonialisme dan kapitalisme.
Yang apabila dibiarkan, akan membawa aib besar bagi pemerintah.
Jurus selanjutnya, mematikan! Dengan kewenangannya, pemerintah menyita dan memusnahkan semua buku itu. Baik yang masih digudang percetakan, pun yang dijajakan di toko.
"Karena tulisan W.R. Soepratman terlalu tajam dan pedas dalam mengupas kekejaman dan kebengisan tengkulak-tengkulak manusia, yang di jaman penjajahan Belanda dahulu terkenal dengan sebutan werwer kontrak Deli atau disingkat Werk Deli, maka buku Perawan Desa pada tahun 1930 dilarang beredar, dan disita oleh Pemerintah Belanda," tulis Anthony C. Hutabarat dalam buku Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman.
Hoofdparket (Kejaksaan Tinggi) dengan pasal-pasalnya menyeru pemusnahan buku Perawan Desa. Bagi yang menyimpan dan mengedarkannya, dikenai sanksi.
Soepratman sendiri mengaku naskah aseli novel itu ikut disita.
Tapi, merujuk cerita Soepratman, sewaktu polisi datang ke gudang percetakan, ada buruh yang berhasil menyembunyikan selusin buku itu dan diselundupkan keluar.
Nah, karena ini bukanlah ibarat air di daun keladi, meski langka, novel Perawan Desa masih ada.
Satu di antaranya…lihat foto di atas. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Macao Po Nenek Moyang Kalijodo
Redaktur : Tim Redaksi