jpnn.com - 1 September 1913. Setahun setelah peristiwa pembunuhan Fientje de Feniks, pelacur papan atas Batavia, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Undang-Undang Moralitas Publik.
Aturan ini menghapus prostitusi. Eksploitasi pelacur bisa kena sanksi hukum.
BACA JUGA: Fientje de Feniks, Nestapa Pelacur Papan Atas di Zaman Kompeni
Apa mau dikata, aturan itu rupanya malah menyuburkan rumah bordil terselubung, warung remang-remang.
Prostitusi merambah ke jalanan.
BACA JUGA: Macao Po Nenek Moyang Kalijodo
Umumnya di jalur-jalur transportasi publik. Sekitar stasiun, pelabuhan hingga bantaran sungai dekat pangkalan perahu.
Praktek pelacuran jenis ini umurnya panjang hingga zaman Indonesia merdeka.
BACA JUGA: Pelacuran di Zaman Kompeni, Begini Aturan Mainnya...
Sampai-sampai, jargon "Bung, Ayo Bung!" yang terkenal sebagai penyeru di kalangan para pejuang itu, diambil dari cara para pelacur Senen memanggil pelanggan.
Toh, para pelacur memang ambil peran menyokong perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dilokalisir
28 April 1966, Presiden Soekarno melantik Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta Raya menggantikan Soemarno Sosroatmodjo.
Di awal masa jabatannya, Bang Ali--demikian ia karib disapa--melakukan kunjungan kerja ke beberapa kota di luar negeri.
Antara lain, Singapura, Manila, dan Bangkok.
Di Bangkok dia heran karena tak melihat satu pun pelacur di sudut kota. Padahal, Bangkok terkenal dengan industri seksnya.
Belakangan ia mendapat informasi, bahwa pemerintah Bangkok telah melokalisasi pelacurnya.
Ini mengilhami Bang Ali. Apalagi, di Surabaya, praktek serupa ini sudah dimulai jauh-jauh hari.
"Agar wajah Jakarta tidak terlihat jorok dan kotor," katanya dalam Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab, suntingan Ramadhan KH, mengingat pelacur di Jakarta biasa menjajakan diri di pinggir jalan.
Kramat Tunggak
Pemerintah pun mulai melakukan survei dan pendataan pada 1969.
April 1970 terbitlah SK Gubernur No. Ca.7/1/13/70 tentang pelaksanaan lokalisasi dan rasionalisasi para pekerja seks komersil.
SK tersebut sama sekali tak menyebut Kramat Tunggak sebagai tampat yang akan dijadikan lokalisasi.
Kramat Tunggak ditetapkan melalui SK Walikota Jakarta Utara No. 25/III/DU/1970. Dan, resmi dibuka pada 1971. Seluruh pelacur di Jakarta dilokalisir di sini.
Sekadar catatan, berdasarkan pendataan yang dilakukan pada akhir 1960-an itu, meski di Jakarta Utara terdapat 13 tempat pelacuran yang tersebar di 9 kelurahan, nama Kalijodo yang terletak di kelurahan Pejagalan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara tak terdengar.
Nah, kapan sebenarnya Kalijodo menjadi ajang prostitusi? Serial 5, akhir dari tulisan ini akan mengulasnya. --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Bung Karno, Ali Sadikin dan Lantai Dansa
Redaktur : Tim Redaksi