Berakit-Rakit ke Hulu, Berenang Renang ke Tepian

Rabu, 15 Oktober 2014 – 13:11 WIB
Pimpinan Redaksi INDOPOS saat melakukan wancara dengan sang Entrepreneurship, Ciputra di kediamannya Pondok Indah, Jakarta Selatan, kemarin (13/10). Foto: Fery Pradolo/INDOPOS

jpnn.com - Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jatuh bangun, susah payah, habis-habisan, memutar otak, memeras keringat, sampai mendekati batas garis keputusasaan. Baru menemukan kuncinya, memegang rumusnya, belajar dari tumpukan kegagalan. Itu ujian seorang entrepreneur sejati!

 

BACA JUGA: Revitalisasi Konsep Berdikari dengan Spirit Entrepreneur

”Tidak ada entrepreneur yang tiba-tiba enak, tiba-tiba sukses besar, tanpa proses yang berdarah- darah. Tidak ada dalam sejarah, juga tidak tersimpan dalam kamus bisnis manapun. Sudah sukses pun, dia tidak boleh berhenti berinovasi, harus menemukan cara baru, mencari skema baru, benefit baru, dan terus menerus menaikkan level kewirausahaan,” ucap Ir Ciputra dengan mimik serius.

Dia menuturkan itu berangkat dari pengalaman pribadinya, dan juga kisah-kisah triliuner di manapun di muka bumi. Bagaimana implementasi prinsip ”bersusah-susah dulu” itu bagi pemerintahan mendatang? Sementara pemerintah sering ”takut” kehilangan muka, ”takut” rusak citranya, ”takut” turun imagenya, sehingga lima tahun ke depan, dia akan dilupakan rakyat.

BACA JUGA: Dari 12 M Pertahun Bakal Dinaikkan 100 Persen

Rakyat sudah terlalu sering dijanjikan dengan buaian kata-kata indah, alias PHP –pemberi harapan palsu–. ”Karena itu, rakyatpun harus siap untuk bersusah-susah dulu, agar endingnya bersenang- senang kemudian,” kata Ciputra.

Contoh yang konkret adalah pembangunan sektor perumahan rakyat. Rumah adalah salah satu kebutuhan rakyat yang sangat esensial, paling dasar, selain soal pangan dan sandang. Tiga komponen kebutuhan elementer manusia, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

BACA JUGA: Komitmen Itu Energi Inti yang Kekuatannya Melebihi Kasih

Melalui rumah sehat, ”revolusi mental” yang pernah diusung Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wapres Terpilih Jusuf Kalla selama masa kampanye itu bisa menjadi harapan baru bagi rakyat. Dia contohkan Singapore. Negara yang berjuluk Singa Putih itu sukses menyediakan hunian bagi seluruh warganya, berkat program Central Provident Fund (CPF). CPF di sana sebenarnya mirip dengan Taperum – Tabungan Perumahan Umum—untuk PNS di Indonesia.

Bedanya, CPF diberlakukan pada karyawan swasta. CPF dibentuk untuk menjamin kebutuhan pensiunan, investasi, rumah, dan kesehatan warga Singapore. ”Lebih dari 90 persen kepemilikan rumah di Singapore dapat terjadi karena pemanfaatkan tabungan CPF,” jelas Ciputra.

Program CPF di Singapore ini mewajibkan penyertaan dana dari perusahaan pemberi kerja sampai dengan 16 persen gaji kotor, dan dari karyawan 20 persen dari gaji kotor. Total nya 36 persen dari nilai gaji kotor, cukup signifikan. Tergantung jumlah pendapatan dan usia pegawai.

Memang, ini kebijakan yang keras, tidak popular, bahkan mungkin sangat menyakitkan. Tetapi, ya di situlah makna bersusah-susah dulu, hidup hemat, tidak boros, apalagi melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya? Ujungnya pasti ”bersenang- senang kemudian.

” Dana CPF itu dikelola oleh Dewan CPF di bawah Kementerian Ketenagakerjaan dan di jamin oleh pemerintah dengan suku bunga bebas risiko minimal 2,5 persen. CPF inilah yang sukses mendisiplinkan rakyat Singapore untuk menabung dan pada akhirnya tabungan itu menciptakan kepemilikan rumah bagi seluruh rakyat.

”Sejak tahun 1975 saya sudah menyampaikan konsep ini sangat ideal, bagi warga Indonesia yang belum punya rumah,” kenang pria yang memiliki nama lahir Tjie Tjin Hoan ini.

Coba kalau itu dilaksanakan sejak dulu, mungkin problem perumahan rakyat tidak serumit sekarang ini. Tetapui, ada pameo, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. Karena itu, Ciputra pun mengusulkan kepada pemerintah baru nanti untuk membuat Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat.

Sebuah tabungan yang akan membuat karyawan swasta dan perusahaan pemberi kerja untuk berdisiplin dalam menabung dan kemudian mereka dapat memanfaatkan dana tabungan Tapera miliknya untuk melakukan pembayaran uang muka maupun angsuran pembayaran rumah. Di Bidang Peradilan, lanjut Ciputra, tidak ada salahnya belajar dari Singapore dan Hongkong.

Mereka terbukti memiliki sistem peradilan yang dapat memberikan jaminan kepada pihak yang benar untuk berjuang mendapatkan keadilan, tanpa harus mengeluarkan uang yang tidak seharusnya. Sistem peradilan dirancang sedemikian rupa, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk orang mencari uang dengan cara menuntut orang lain di pengadilan.

Sebagai contoh, di Hongkong, untuk beracara di persidangan, penggugat selain harus membayar biaya pendaftaran perkara, juga wajib membayar biaya proses persidangan di muka. Pihak yang mendaftarkan jadwal persidangan wajib membayar terlebih dahulu, estimasi biaya persidangan, dari perkiraan jumlah hari, pemeriksaan saksi-saksi, harus menanggung biaya kehadiran saksi dari lingkungan pemerintahan.

Sedangkan di level banding, pihak yang kalah diwajibkan menanggung semua biaya persidangan. Termasuk mengganti biaya hukum, pengacara pihak lawan, dan biaya-biaya lain dari proses peradilan, tingkat pertamanya. Jadi hanya mereka yang sungguh berada dalam perkara dan yakin berada di posisi yang benar, yang berani mengajukan tuntutan.

Hukum tidak dipermainkan. Ide lain di bidang hukum, adalah Whist leblo wer Reward. Cara yang preventif untuk meng hapus budaya korupsi dan kolusi sampai akar-akarnya. Gagasan praktis ”revolusi mental” di bidang hukum ini memiliki tujuan untuk memberantas korupsi.

”Kami usulkan konsep whistleblower, yang bisa menciptakan suasana ‘tidak dapat korupsi’ di seluruh sektor dan lapisan kehidupan masyarakat. Ini bisa berjalan jika ada landasan hukum bagi whistleblower sehingga mereka dapat berperan jauh lebih besar dan lebih aktif, dapat memberikan informasi dan kesaksian sehingga korupsi dapat diberantas tuntas. Cara ini efektif di Hongkong, Singapore, Korea Selatan, dan AS,” paparnya.

Sebelum tahun 1974, Hongkong itu kota para koruptor, kota gangster. Korupsi menjadi cara hidup dari aparat terbawah, sampai pucuk pimpinan kepolisian. Akibatnya, sindikat kejahatan terorganisasi, narkoba, perjudian, dan pelacuran bebas tumbuh subur.

Pergantian pucuk pimpinan kelembagaan kepolisian berikut pejabat kunci, tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik. Februari 1974 didirikan Independence Commission Against Corruption (ICAC) yang bergerak melalui program penegakan hukum, pencegahan, pendidikan dan salah satu cara yang paling jitu yang dilakukan adalah whistleblower.

Mereka yang dapat memberikan informasi dan kesaksian mendapatkan perlindungan total, mulai dari perlindungan keamanan 24 jam, rumah perlindungan, identitas baru, dan juga kemungkinan di relokasi ke luar negeri. Di Korea Selatan, untuk whistleblower yang dirinya juga terkait dengan masalah hukum, maka bila dapat memberikan informasi berharga, masa hukumannya dapat dikurangi atau dibatalkan.

Di Singapore, whistleblower yang berhasil mengungkapkan penipuan pajak dapat memperoleh hadiah 15 persen dari pungutan pajak yang dapat diselamatkan, dengan maksimum hadiah 100.000 Dolar Singapore. Di AS, ada kebijakan pemberian hadiah kepada whistleblower antara 10-30 persen dari nilai yang dapat diterima kembali oleh negara.

Khususnya, bila terdapat penalty terhadap tersangka yang melampaui USD 1 juta. ”Kami usulkan whistleblower diperluas di pemerintahan baru nanti. Sehingga pelapor dan saksi kunci bisa mendapatkan penghargaan finansial untuk menjamin masa depannya. Cara ini secara tidak langsung, jutaan orang Indonesia didorong dan dimotivasi untuk ikut mengawasi dan ikut melaporkan praktik korupsi,” jelas Ciputra.

Kolektor lukisan karya Hendra Gunawan itu juga punya pengalaman terkait dengan praktik whistleblower ini, di salah satu apoteknya. Bos Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group itu heran seribu heran, setiap bulan apotiknya selalu kebocoran. Selalu saja ada yang loose, ada yang hilang, ada yang berkurang volumenya, singkat kata ada yang ”tidak beres” dengan karyawannya.

Lalu dia membuat peraturan, bahwa siapa yang melaporkan teman sekerjanya, yang berbuat curang, dia akan mendapatkan hadiah khusus. Apa yang terjadi? Dalam waktu singkat, ”klep tomania” yang ada di apoteknya tidak mendapatkan ruang gerak. Peraturan itu terus digeber, terus disuarakan, sehingga sejak itu benar-benar berhenti dan klop.

”Dalam ska la kecil di perusahaan apotik pun, bisa melakukan self control. Saya kira dalam bentang bernegara yang luas pun, strategi ini sangat layak untuk diadopsi,” papar ayah Rina Ciputra, Junita Ciputra, Cakra Ciputra dan Candra Ciputra itu.

Misalnya dalam bidang energy, Ciputra setuju, tidak ada subsidi BBM sama sekali. Karena yang memanfaatkan subsidi itu sesungguhnya orang-orang mampu, yang semestinya tidak perlu disubsidi. Di banyak negara, harga BBM sudah disamakan dengan pasar dunia.

Rakyat kita akan lebih berhemat berkendara mobil-motor, lebih irit dalam penggunaan listrik, dan subsidi yang hampir 1 Triiun per hari itu bisa dikurangi, untuk mengurangi beban negara. Lagi-lagi, ini bukan pekerjaan sulit bagi pemimpin negeri. Tapi juga tidak bisa dibilang remeh, apalagi dibiarkan mengalir tanpa solusi. (*)

 

Don Kardono
Pemimpin Redaksi Indopos

BERSAKIT - SAKIT dahulu, bersenang-senang kemudian. Jatuh bangun, susah payah, habis-habisan, memutar otak, memeras keringat, sampai mendekati batas garis keputusasaan. Baru menemukan kuncinya, memegang rumusnya, belajar dari tumpukan kegagalan. Itu ujian seorang entrepreneur sejati!

”Tidak ada entrepreneur yang tiba-tiba enak, tiba-tiba sukses besar, tanpa proses yang berdarah- darah. Tidak ada dalam sejarah, juga tidak tersimpan dalam kamus bisnis manapun. Sudah sukses pun, dia tidak boleh berhenti berinovasi, harus menemukan cara baru, mencari skema baru, benefit baru, dan terus menerus menaikkan level kewirausahaan,” ucap Ir Ciputra dengan mimik serius.

Dia menuturkan itu berangkat dari pengalaman pribadinya, dan juga kisah-kisah triliuner di manapun di muka bumi. Bagaimana implementasi prinsip ”bersusah-susah dulu” itu bagi pemerintahan mendatang? Sementara pemerintah sering ”takut” kehilangan muka, ”takut” rusak citranya, ”takut” turun imagenya, sehingga lima tahun ke depan, dia akan dilupakan rakyat.

Rakyat sudah terlalu sering dijanjikan dengan buaian kata-kata indah, alias PHP –pemberi harapan palsu–. ”Karena itu, rakyatpun harus siap untuk bersusah-susah dulu, agar endingnya bersenang- senang kemudian,” kata Ciputra.

Contoh yang konkret adalah pembangunan sektor perumahan rakyat. Rumah adalah salah satu kebutuhan rakyat yang sangat esensial, paling dasar, selain soal pangan dan sandang. Tiga komponen kebutuhan elementer manusia, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Melalui rumah sehat, ”revolusi mental” yang pernah diusung Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wapres Terpilih Jusuf Kalla selama masa kampanye itu bisa menjadi harapan baru bagi rakyat. Dia contohkan Singapore. Negara yang berjuluk Singa Putih itu sukses menyediakan hunian bagi seluruh warganya, berkat program Central Provident Fund (CPF). CPF di sana sebenarnya mirip dengan Taperum – Tabungan Perumahan Umum—untuk PNS di Indonesia.

Bedanya, CPF diberlakukan pada karyawan swasta. CPF dibentuk untuk menjamin kebutuhan pensiunan, investasi, rumah, dan kesehatan warga Singapore. ”Lebih dari 90 persen kepemilikan rumah di Singapore dapat terjadi karena pemanfaatkan tabungan CPF,” jelas Ciputra.

Program CPF di Singapore ini mewajibkan penyertaan dana dari perusahaan pemberi kerja sampai dengan 16 persen gaji kotor, dan dari karyawan 20 persen dari gaji kotor. Total nya 36 persen dari nilai gaji kotor, cukup signifikan. Tergantung jumlah pendapatan dan usia pegawai.

Memang, ini kebijakan yang keras, tidak popular, bahkan mungkin sangat menyakitkan. Tetapi, ya di situlah makna bersusah-susah dulu, hidup hemat, tidak boros, apalagi melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya? Ujungnya pasti ”bersenang- senang kemudian.

” Dana CPF itu dikelola oleh Dewan CPF di bawah Kementerian Ketenagakerjaan dan di jamin oleh pemerintah dengan suku bunga bebas risiko minimal 2,5 persen. CPF inilah yang sukses mendisiplinkan rakyat Singapore untuk menabung dan pada akhirnya tabungan itu menciptakan kepemilikan rumah bagi seluruh rakyat.

”Sejak tahun 1975 saya sudah menyampaikan konsep ini sangat ideal, bagi warga Indonesia yang belum punya rumah,” kenang pria yang memiliki nama lahir Tjie Tjin Hoan ini.

Coba kalau itu dilaksanakan sejak dulu, mungkin problem perumahan rakyat tidak serumit sekarang ini. Tetapui, ada pameo, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. Karena itu, Ciputra pun mengusulkan kepada pemerintah baru nanti untuk membuat Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat.

Sebuah tabungan yang akan membuat karyawan swasta dan perusahaan pemberi kerja untuk berdisiplin dalam menabung dan kemudian mereka dapat memanfaatkan dana tabungan Tapera miliknya untuk melakukan pembayaran uang muka maupun angsuran pembayaran rumah. Di Bidang Peradilan, lanjut Ciputra, tidak ada salahnya belajar dari Singapore dan Hongkong.

Mereka terbukti memiliki sistem peradilan yang dapat memberikan jaminan kepada pihak yang benar untuk berjuang mendapatkan keadilan, tanpa harus mengeluarkan uang yang tidak seharusnya. Sistem peradilan dirancang sedemikian rupa, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk orang mencari uang dengan cara menuntut orang lain di pengadilan.

Sebagai contoh, di Hongkong, untuk beracara di persidangan, penggugat selain harus membayar biaya pendaftaran perkara, juga wajib membayar biaya proses persidangan di muka. Pihak yang mendaftarkan jadwal persidangan wajib membayar terlebih dahulu, estimasi biaya persidangan, dari perkiraan jumlah hari, pemeriksaan saksi-saksi, harus menanggung biaya kehadiran saksi dari lingkungan pemerintahan.

Sedangkan di level banding, pihak yang kalah diwajibkan menanggung semua biaya persidangan. Termasuk mengganti biaya hukum, pengacara pihak lawan, dan biaya-biaya lain dari proses peradilan, tingkat pertamanya. Jadi hanya mereka yang sungguh berada dalam perkara dan yakin berada di posisi yang benar, yang berani mengajukan tuntutan.

Hukum tidak dipermainkan. Ide lain di bidang hukum, adalah Whist leblo wer Reward. Cara yang preventif untuk meng hapus budaya korupsi dan kolusi sampai akar-akarnya. Gagasan praktis ”revolusi mental” di bidang hukum ini memiliki tujuan untuk memberantas korupsi.

”Kami usulkan konsep whistleblower, yang bisa menciptakan suasana ‘tidak dapat korupsi’ di seluruh sektor dan lapisan kehidupan masyarakat. Ini bisa berjalan jika ada landasan hukum bagi whistleblower sehingga mereka dapat berperan jauh lebih besar dan lebih aktif, dapat memberikan informasi dan kesaksian sehingga korupsi dapat diberantas tuntas. Cara ini efektif di Hongkong, Singapore, Korea Selatan, dan AS,” paparnya.

Sebelum tahun 1974, Hongkong itu kota para koruptor, kota gangster. Korupsi menjadi cara hidup dari aparat terbawah, sampai pucuk pimpinan kepolisian. Akibatnya, sindikat kejahatan terorganisasi, narkoba, perjudian, dan pelacuran bebas tumbuh subur.

Pergantian pucuk pimpinan kelembagaan kepolisian berikut pejabat kunci, tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik. Februari 1974 didirikan Independence Commission Against Corruption (ICAC) yang bergerak melalui program penegakan hukum, pencegahan, pendidikan dan salah satu cara yang paling jitu yang dilakukan adalah whistleblower.

Mereka yang dapat memberikan informasi dan kesaksian mendapatkan perlindungan total, mulai dari perlindungan keamanan 24 jam, rumah perlindungan, identitas baru, dan juga kemungkinan di relokasi ke luar negeri. Di Korea Selatan, untuk whistleblower yang dirinya juga terkait dengan masalah hukum, maka bila dapat memberikan informasi berharga, masa hukumannya dapat dikurangi atau dibatalkan.

Di Singapore, whistleblower yang berhasil mengungkapkan penipuan pajak dapat memperoleh hadiah 15 persen dari pungutan pajak yang dapat diselamatkan, dengan maksimum hadiah 100.000 Dolar Singapore. Di AS, ada kebijakan pemberian hadiah kepada whistleblower antara 10-30 persen dari nilai yang dapat diterima kembali oleh negara.

Khususnya, bila terdapat penalty terhadap tersangka yang melampaui USD 1 juta. ”Kami usulkan whistleblower diperluas di pemerintahan baru nanti. Sehingga pelapor dan saksi kunci bisa mendapatkan penghargaan finansial untuk menjamin masa depannya. Cara ini secara tidak langsung, jutaan orang Indonesia didorong dan dimotivasi untuk ikut mengawasi dan ikut melaporkan praktik korupsi,” jelas Ciputra.

Kolektor lukisan karya Hendra Gunawan itu juga punya pengalaman terkait dengan praktik whistleblower ini, di salah satu apoteknya. Bos Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group itu heran seribu heran, setiap bulan apotiknya selalu kebocoran. Selalu saja ada yang loose, ada yang hilang, ada yang berkurang volumenya, singkat kata ada yang ”tidak beres” dengan karyawannya.

Lalu dia membuat peraturan, bahwa siapa yang melaporkan teman sekerjanya, yang berbuat curang, dia akan mendapatkan hadiah khusus. Apa yang terjadi? Dalam waktu singkat, ”klep tomania” yang ada di apoteknya tidak mendapatkan ruang gerak. Peraturan itu terus digeber, terus disuarakan, sehingga sejak itu benar-benar berhenti dan klop.

”Dalam ska la kecil di perusahaan apotik pun, bisa melakukan self control. Saya kira dalam bentang bernegara yang luas pun, strategi ini sangat layak untuk diadopsi,” papar ayah Rina Ciputra, Junita Ciputra, Cakra Ciputra dan Candra Ciputra itu.

Misalnya dalam bidang energy, Ciputra setuju, tidak ada subsidi BBM sama sekali. Karena yang memanfaatkan subsidi itu sesungguhnya orang-orang mampu, yang semestinya tidak perlu disubsidi. Di banyak negara, harga BBM sudah disamakan dengan pasar dunia.

Rakyat kita akan lebih berhemat berkendara mobil-motor, lebih irit dalam penggunaan listrik, dan subsidi yang hampir 1 Triiun per hari itu bisa dikurangi, untuk mengurangi beban negara. Lagi-lagi, ini bukan pekerjaan sulit bagi pemimpin negeri. Tapi juga tidak bisa dibilang remeh, apalagi dibiarkan mengalir tanpa solusi. (*)

- See more at: https://www.indopos.co.id/2014/10/berakit-rakit-ke-hulu-berenang-renang-ke-tepian.html#sthash.E0zgymgM.dpuf

BERSAKIT - SAKIT dahulu, bersenang-senang kemudian. Jatuh bangun, susah payah, habis-habisan, memutar otak, memeras keringat, sampai mendekati batas garis keputusasaan. Baru menemukan kuncinya, memegang rumusnya, belajar dari tumpukan kegagalan. Itu ujian seorang entrepreneur sejati!

”Tidak ada entrepreneur yang tiba-tiba enak, tiba-tiba sukses besar, tanpa proses yang berdarah- darah. Tidak ada dalam sejarah, juga tidak tersimpan dalam kamus bisnis manapun. Sudah sukses pun, dia tidak boleh berhenti berinovasi, harus menemukan cara baru, mencari skema baru, benefit baru, dan terus menerus menaikkan level kewirausahaan,” ucap Ir Ciputra dengan mimik serius.

Dia menuturkan itu berangkat dari pengalaman pribadinya, dan juga kisah-kisah triliuner di manapun di muka bumi. Bagaimana implementasi prinsip ”bersusah-susah dulu” itu bagi pemerintahan mendatang? Sementara pemerintah sering ”takut” kehilangan muka, ”takut” rusak citranya, ”takut” turun imagenya, sehingga lima tahun ke depan, dia akan dilupakan rakyat.

Rakyat sudah terlalu sering dijanjikan dengan buaian kata-kata indah, alias PHP –pemberi harapan palsu–. ”Karena itu, rakyatpun harus siap untuk bersusah-susah dulu, agar endingnya bersenang- senang kemudian,” kata Ciputra.

Contoh yang konkret adalah pembangunan sektor perumahan rakyat. Rumah adalah salah satu kebutuhan rakyat yang sangat esensial, paling dasar, selain soal pangan dan sandang. Tiga komponen kebutuhan elementer manusia, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Melalui rumah sehat, ”revolusi mental” yang pernah diusung Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wapres Terpilih Jusuf Kalla selama masa kampanye itu bisa menjadi harapan baru bagi rakyat. Dia contohkan Singapore. Negara yang berjuluk Singa Putih itu sukses menyediakan hunian bagi seluruh warganya, berkat program Central Provident Fund (CPF). CPF di sana sebenarnya mirip dengan Taperum – Tabungan Perumahan Umum—untuk PNS di Indonesia.

Bedanya, CPF diberlakukan pada karyawan swasta. CPF dibentuk untuk menjamin kebutuhan pensiunan, investasi, rumah, dan kesehatan warga Singapore. ”Lebih dari 90 persen kepemilikan rumah di Singapore dapat terjadi karena pemanfaatkan tabungan CPF,” jelas Ciputra.

Program CPF di Singapore ini mewajibkan penyertaan dana dari perusahaan pemberi kerja sampai dengan 16 persen gaji kotor, dan dari karyawan 20 persen dari gaji kotor. Total nya 36 persen dari nilai gaji kotor, cukup signifikan. Tergantung jumlah pendapatan dan usia pegawai.

Memang, ini kebijakan yang keras, tidak popular, bahkan mungkin sangat menyakitkan. Tetapi, ya di situlah makna bersusah-susah dulu, hidup hemat, tidak boros, apalagi melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya? Ujungnya pasti ”bersenang- senang kemudian.

” Dana CPF itu dikelola oleh Dewan CPF di bawah Kementerian Ketenagakerjaan dan di jamin oleh pemerintah dengan suku bunga bebas risiko minimal 2,5 persen. CPF inilah yang sukses mendisiplinkan rakyat Singapore untuk menabung dan pada akhirnya tabungan itu menciptakan kepemilikan rumah bagi seluruh rakyat.

”Sejak tahun 1975 saya sudah menyampaikan konsep ini sangat ideal, bagi warga Indonesia yang belum punya rumah,” kenang pria yang memiliki nama lahir Tjie Tjin Hoan ini.

Coba kalau itu dilaksanakan sejak dulu, mungkin problem perumahan rakyat tidak serumit sekarang ini. Tetapui, ada pameo, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali. Karena itu, Ciputra pun mengusulkan kepada pemerintah baru nanti untuk membuat Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat.

Sebuah tabungan yang akan membuat karyawan swasta dan perusahaan pemberi kerja untuk berdisiplin dalam menabung dan kemudian mereka dapat memanfaatkan dana tabungan Tapera miliknya untuk melakukan pembayaran uang muka maupun angsuran pembayaran rumah. Di Bidang Peradilan, lanjut Ciputra, tidak ada salahnya belajar dari Singapore dan Hongkong.

Mereka terbukti memiliki sistem peradilan yang dapat memberikan jaminan kepada pihak yang benar untuk berjuang mendapatkan keadilan, tanpa harus mengeluarkan uang yang tidak seharusnya. Sistem peradilan dirancang sedemikian rupa, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk orang mencari uang dengan cara menuntut orang lain di pengadilan.

Sebagai contoh, di Hongkong, untuk beracara di persidangan, penggugat selain harus membayar biaya pendaftaran perkara, juga wajib membayar biaya proses persidangan di muka. Pihak yang mendaftarkan jadwal persidangan wajib membayar terlebih dahulu, estimasi biaya persidangan, dari perkiraan jumlah hari, pemeriksaan saksi-saksi, harus menanggung biaya kehadiran saksi dari lingkungan pemerintahan.

Sedangkan di level banding, pihak yang kalah diwajibkan menanggung semua biaya persidangan. Termasuk mengganti biaya hukum, pengacara pihak lawan, dan biaya-biaya lain dari proses peradilan, tingkat pertamanya. Jadi hanya mereka yang sungguh berada dalam perkara dan yakin berada di posisi yang benar, yang berani mengajukan tuntutan.

Hukum tidak dipermainkan. Ide lain di bidang hukum, adalah Whist leblo wer Reward. Cara yang preventif untuk meng hapus budaya korupsi dan kolusi sampai akar-akarnya. Gagasan praktis ”revolusi mental” di bidang hukum ini memiliki tujuan untuk memberantas korupsi.

”Kami usulkan konsep whistleblower, yang bisa menciptakan suasana ‘tidak dapat korupsi’ di seluruh sektor dan lapisan kehidupan masyarakat. Ini bisa berjalan jika ada landasan hukum bagi whistleblower sehingga mereka dapat berperan jauh lebih besar dan lebih aktif, dapat memberikan informasi dan kesaksian sehingga korupsi dapat diberantas tuntas. Cara ini efektif di Hongkong, Singapore, Korea Selatan, dan AS,” paparnya.

Sebelum tahun 1974, Hongkong itu kota para koruptor, kota gangster. Korupsi menjadi cara hidup dari aparat terbawah, sampai pucuk pimpinan kepolisian. Akibatnya, sindikat kejahatan terorganisasi, narkoba, perjudian, dan pelacuran bebas tumbuh subur.

Pergantian pucuk pimpinan kelembagaan kepolisian berikut pejabat kunci, tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik. Februari 1974 didirikan Independence Commission Against Corruption (ICAC) yang bergerak melalui program penegakan hukum, pencegahan, pendidikan dan salah satu cara yang paling jitu yang dilakukan adalah whistleblower.

Mereka yang dapat memberikan informasi dan kesaksian mendapatkan perlindungan total, mulai dari perlindungan keamanan 24 jam, rumah perlindungan, identitas baru, dan juga kemungkinan di relokasi ke luar negeri. Di Korea Selatan, untuk whistleblower yang dirinya juga terkait dengan masalah hukum, maka bila dapat memberikan informasi berharga, masa hukumannya dapat dikurangi atau dibatalkan.

Di Singapore, whistleblower yang berhasil mengungkapkan penipuan pajak dapat memperoleh hadiah 15 persen dari pungutan pajak yang dapat diselamatkan, dengan maksimum hadiah 100.000 Dolar Singapore. Di AS, ada kebijakan pemberian hadiah kepada whistleblower antara 10-30 persen dari nilai yang dapat diterima kembali oleh negara.

Khususnya, bila terdapat penalty terhadap tersangka yang melampaui USD 1 juta. ”Kami usulkan whistleblower diperluas di pemerintahan baru nanti. Sehingga pelapor dan saksi kunci bisa mendapatkan penghargaan finansial untuk menjamin masa depannya. Cara ini secara tidak langsung, jutaan orang Indonesia didorong dan dimotivasi untuk ikut mengawasi dan ikut melaporkan praktik korupsi,” jelas Ciputra.

Kolektor lukisan karya Hendra Gunawan itu juga punya pengalaman terkait dengan praktik whistleblower ini, di salah satu apoteknya. Bos Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group itu heran seribu heran, setiap bulan apotiknya selalu kebocoran. Selalu saja ada yang loose, ada yang hilang, ada yang berkurang volumenya, singkat kata ada yang ”tidak beres” dengan karyawannya.

Lalu dia membuat peraturan, bahwa siapa yang melaporkan teman sekerjanya, yang berbuat curang, dia akan mendapatkan hadiah khusus. Apa yang terjadi? Dalam waktu singkat, ”klep tomania” yang ada di apoteknya tidak mendapatkan ruang gerak. Peraturan itu terus digeber, terus disuarakan, sehingga sejak itu benar-benar berhenti dan klop.

”Dalam ska la kecil di perusahaan apotik pun, bisa melakukan self control. Saya kira dalam bentang bernegara yang luas pun, strategi ini sangat layak untuk diadopsi,” papar ayah Rina Ciputra, Junita Ciputra, Cakra Ciputra dan Candra Ciputra itu.

Misalnya dalam bidang energy, Ciputra setuju, tidak ada subsidi BBM sama sekali. Karena yang memanfaatkan subsidi itu sesungguhnya orang-orang mampu, yang semestinya tidak perlu disubsidi. Di banyak negara, harga BBM sudah disamakan dengan pasar dunia.

Rakyat kita akan lebih berhemat berkendara mobil-motor, lebih irit dalam penggunaan listrik, dan subsidi yang hampir 1 Triiun per hari itu bisa dikurangi, untuk mengurangi beban negara. Lagi-lagi, ini bukan pekerjaan sulit bagi pemimpin negeri. Tapi juga tidak bisa dibilang remeh, apalagi dibiarkan mengalir tanpa solusi. (*)

- See more at: https://www.indopos.co.id/2014/10/berakit-rakit-ke-hulu-berenang-renang-ke-tepian.html#sthash.E0zgymgM.dpuf

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perkawinan Art dan Entrepreneur Melahirkan Artpreneur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler