Berapa sih Jumlah RS Swasta Putus Hubungan dengan BPJS?

Sabtu, 07 Januari 2017 – 07:03 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Sejumlah daerah menolak mengintegrasikan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke program jaminan kesehatan nasional (JKN), dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Salah satunya terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pemkab Gowa mengajukan uji materi Undang-Undang 24/2011 tentang BPJS Kesehatan.

BACA JUGA: Alasan Gubernur Ogah Integrasikan Jamsoskes ke BPJS

Di sisi lain, beberapa rumah sakit (RS) swasta di Nusa Tenggara Barat (NTB) menghentikan pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan. Itu merupakan protes atas Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 64/2016.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Untung Suseno memahami kegelisahan daerah mengenai anggaran.

BACA JUGA: Blakblakan, Kepala ICU RS Keluhkan Fasilitas BPJS

Namun, menurut dia, pemda justru akan kewalahan bila tak terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.

”Memang, mungkin bisa lebih rendah kalau pakai jamkesda. Tapi, ada pembiayaan dari pusat juga. Bisa lebih murah. Kalau kita lepas semua, pasti tidak sanggup,” ujarnya kemarin

BACA JUGA: Masyarakat tak Perlu Cemas, Kartu BPJS Masih Sakti

Belum lagi terkait dengan rujukan warga yang sakit ke RS di luar daerah. Hal itu tidak mudah dan pasti lebih mahal.

”Tidak apa-apa kalau mau bikin sendiri. Tapi, yang pasti ada kewajiban terintegrasi. Integrasi ini maksudnya satu sistem. Daerah mau biayai warganya, ya tidak masalah,” katanya.

Tentang mundurnya beberapa RS swasta, Untung memastikan jumlahnya tidak banyak. ”Dari 100 rumah sakit, paling hanya 11. Mereka itu hampir 80 persen menyediakan kelas VIP. Ya, kan gak boleh memang,” katanya.

Meski begitu, pemerintah tetap mengakomodasi tuntutan rumah sakit soal selisih biaya untuk naik kelas VIP pada rawat inap. Kemenkes telah mengadakan rapat bersama Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Kesehatan untuk membahas aturan yang tertera dalam pasal 25 Permenkes 64/2016 itu. Hasilnya, selisih biaya naik ke VIP adalah maksimal 75 persen dari biaya kelas I.

Sebelumnya, pengelola RS protes keras soal aturan biaya pasien yang naik dari kelas I ke VIP. Menurut aturan, biaya hanya dibebankan pada selisih tarif kamar.

Selisih itu dibayar pasien, pemberi kerja, atau asuransi tambahan yang diikuti. Di sisi lain, rumah sakit menginginkan tak hanya biaya kamar yang jadi perhitungan. Tapi, juga jasa dokter dan lainnya.

Untung mengatakan, konsep JKN adalah mengadopsi pola manfaat tunggal. Siapa saja yang dibayari BPJS Kesehatan, pelayanannya sama. ”Yang membedakan adalah kenyamanan. Itulah mengapa aturannya demikian,” katanya.

Dia mengkritisi alasan rumah sakit mengenai obat dan jasa yang perlu dihitung karena yang diberikan berbeda dengan kelas lain.

”Kalau begitu, kenapa diberikan beda? Apakah yang diberikan ke kelas III tidak baik? Kita ingin output-nya sama. Yakni, pasien sembuh tanpa ada embel-embel sembuh lebih cepat dan lainnya,” ujar lulusan Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada itu.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menegaskan, integrasi jamkesda ke sistem JKN merupakan amanat undang-undang.

Seharusnya pemerintah daerah mendukung setiap warga negara Indonesia punya akses kesehatan yang merata di setiap wilayah. ’’Harusnya keegoisan sektoral dikesampingkan untuk visi tersebut,’’ katanya.

Program JKN merupakan upaya negara untuk menjamin kesehatan warga negara Indonesia. Jika warga hanya diberi fasilitas jaminan kesehatan daerah, akses kesehatan mereka terbatas di daerah tersebut.

Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, tuntutan Pemda Gowa untuk menghilangkan kewajiban jamkesda terintegrasi ke BPJS Kesehatan merupakan masalah yang sederhana. Alasannya keberatan anggaran.

’’Pemkab Gowa butuh Rp 26 miliar per tahun jika gabung ke BPJS. Padahal, anggaran di APBD hanya 17 miliar,’’ ujarnya di Jakarta kemarin (6/1).

Menurut dia, dengan kemauan politik yang cukup, semestinya permasalahan anggaran tersebut bisa diselesaikan.

Kalau ada keberatan anggaran, warga daerah yang benar-benar tidak mampu bisa diminta untuk menjadi peserta PBI (penerima bantuan iuran) dari APBN.

Dalam APBN 2017, kuota peserta PBI adalah 94,4 juta jiwa dengan alokasi anggaran Rp 26,05 triliun. Tahun lalu, dari target 92,4 juta peserta PBI, pemerintah hanya menyerap 91,8 juta peserta. Karena itu, masih banyak kuota yang bisa dimanfaatkan pemda yang tidak kuat menanggung iuran.

Menurut amanat Undang-Undang No 3 Tahun 2009, pemda harus mengalokasikan minimal 10 persen APBD untuk sektor kesehatan.

Jika memang ada proyek kesehatan yang harus dikorbankan untuk membayar iuran, daerah harus fleksibel dan memprioritaskan anggaran BPJS Kesehatan.

’’Kalau ternyata ada yang mengaku tak punya anggaran, tapi APBD kesehatan masih di bawah 10 persen, Mendagri harus memberi sanksi kepala daerah tersebut,’’ kata Timboel. (mia/bil/c10/ca)

BACA ARTIKEL LAINNYA... RS Telat Perpanjang Kerjasama dengan BPJS, Pasien Cemas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler