Berburu Cawapres Sebelum 'Deadline'

Senin, 20 April 2009 – 13:40 WIB
KETIKA PDIP membidik lima tokoh calon wapres pendamping capres Megawati dan tiga di antaranya adalah tokoh Golkar, yakni Sri Sultan HB X, Akbar Tandjung dan Surya Paloh, tampaknya perang strategi koalisi sudah bemula.

Semakin seru pula karena tanda-tanda Partai Golkar akan merapat ke Partai Demokrat sudah disinyalkan Rapat Konsultasi DPP dan DPD Provinsi Golkar, Kamis, 16 April 2009 laluKira-kira Golkar lebih suka merapat ke Demokrat, partai pemenang Pemilu 2009 ketimbang ke PDIP yang justru "kalah".

Walaupun cawapres yang ditentukan Golkar ke Demokrat belum ada, setidaknya hingga sekarang ada dua bakal cawapres yang berasal dari Golkar akan berada di dua blok yang berbeda, yakni Blok S (Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono) dan Blok M (Megawati Soekarnoputri).

Unik

BACA JUGA: Deja Vu Golkar di Pentas Pipres

Meski kalah pada Pemilu 2009, setelah menjuarai Pemilu 2004 lalu, tampaknya kader Golkar masih laris-manis untuk dibidik Blok S dan Blok M.

Hanya saja Demokrat pun lebih menyukai memilih sendiri nama calon yang akan diajukan oleh Golkar, seperti halnya PDIP
Yang menegangkan, jika PDIP akan memutuskannya dalam Rapat Pimpinan Nasional pada 23 April 2009, di hari yang sama Golkar pun akan memutuskan beberapa calon yang akan diajukan ke Demokrat.

Masalahnya, siapa salah satu yang dipilih PDIP dari tokoh Golkar itu dan siapa pula yang diajukan oleh Golkar ke Demokrat?

Jika deadline penentuan cawapres PDIP itu tak lagi molor, bisa dipastikan calon dari Golkar yang dibidik PDIP dan Demokrat itu akan berbeda

BACA JUGA: Tiga Kejutan dalam Pemilu 2009

Logikanya, jika PDIP memutuskannya secara final pada 23 April, Golkar justru baru memfinalkan calon-calon yang ditawarkan ke Demokrat.

Artinya, Demokrat masih punya waktu menentukan siapa cawapres untuk capres SBY
Mustahil Demokrat memilih calon yang sama yang juga telah dipilih PDIP

BACA JUGA: Berdebar Menunggu Kejutan Politik

Singkatnya, kedua calon itu akan berbeda.

Masalahnya, adalah tokoh Golkar mana gerangan yang akan dibidik oleh PDIP? Sri Sultan, Akbar atau Surya Paloh?

Jika melihat intensitas "pertemuan" ketiga tokoh itu dengan Mega, Sri Sultan menjadi pilihan pertamaSelain berbasis di Yogja dan Jawa Tengah, juga didukung beberapa partai seperti Republikan dan juga telah mendekati berbagai komunitas adat di tanah air.

SOKSI sebagai sayap Golkar juga masih konsisten menyebut-nyebut nama Sri SultanDPD Golkar Yogya dan Jawa Tengah, mungkin akan mendukungnya pula.

Namun basis dukungan Akbar di berbagai DPD Golkar provinsi, kabupaten dan kota, lebih kuat dibanding Sri SultanBeberapa anggota DPR RI dari Golkar masih tercatat sebagai loyalis AkbarMarzuki Darusman, salah seorang penasehat DPP Golkar bahkan terang-terangan menyebut nama Akbar, walaupun justru untuk capres SBYTapi ini minimal menunjukkan Akbar didukung juga di elit Golkar.

Namun mengingat Akbar juga menjadi semacam penasehat di Barindo, sebuah organisasi sayap yang mempunyai benang merah ke Demokrat, Mega bisa saja berat hati memilih AkbarAlternatifnya tinggal Sri Sultan dan Surya Paloh, meski kelihatannya Sultan Yogja itu lebih kuat bargaining-nya.

Indikator barusan tentu saja terbaca oleh GolkarDiduga boleh jadi dalam Rapimnas Golkar 23 April, nama Akbar dan Jusuf Kalla, mungkin juga Agung Laksono, akan ditampilkan sebagai kandidat cawapres yang ditawarkan kepada capres SBY dan Demokrat.
 
Waktu: Musuh Besar
Boleh jadi karena dominasi Jusuf Kalla masih kuat di DPP dan DPD Golkar, wapres ini lebih mendapat dukungan kuat dibanding AkbarYang menjadi soal adalah siapa yang dipilih SBY, mengingat Golkar tak bisa menentukan sendiri secara sepihak.

SBY dan Demokrat tinggal berhitung saja, siapa tokoh Golkar yang punya basis kuat, baik di massa Golkar maupun di kalangan para pemilih alias pencontrengJika bertolak dari hasil Pemilu 2004, Akbar lebih berakar karena terbukti Golkar bisa memenangkan PemiluSebaliknya, Golkar dipimpin oleh Jusuf Kalla turun suaranya pada Pemilu 2009.

Jika Golkar berprinsip lebih baik merapat ke Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009, bukankah SBY dan Demokrat pun wajar jika bersikap sama, yakni memilih tokoh pemenang dan bukan tokoh yang kalah? Artinya, lebih baik memilih Akbar ketimbang Jusuf Kalla?

Jika SBY memilih Jusuf Kalla, keuntungan yang jelas adalah suara Golkar di DPR akan berkoalisi dengan anggota DPR dari Demokrat dalam mendukung kebijakan SBY jika ia memenangkan pemilihan presiden (pilpres).

Tapi, tunggu dulu! Pilpres kan belum naik panggungBelum tahu siapa capres terpilihNah, intinya adalah SBY harus memenangkan pilpres lebih duluYakinkah SBY bisa memenangkan pilpres jika ia bersanding dengan cawapres Jusuf Kalla?

Misalkan, Akbar yang dipilih oleh SBY, dan andaikan pula pasangan ini memenangkan Pilpres 2009, giliran berikut Jusuf Kalla akan diganti pada Munas Golkar pada akhir 2009.

Diprediksi bukan Akbar yang terpilih sebagai Ketua Umum GolkarTapi karena pengaruh Akbar sebagai wapres, maka jabatan ketua umum itu akan jatuh ke tokoh loyalis AkbarDengan begitu, fraksi Golkar di DPR kan mendukung kebijakan pemerintahan baru.

Soal penting lainnya, SBY dan Demokrat juga harus menimbang keselarasan antar parpol berkoalisi yang dibangunSebutlah, antara Demokrat, Golkar dan PKS (sekiranya tetap merapat ke Demokrat), serta PKB dan PAN yang mungkin bergabungHarus dihitung bahwa PKS sempat "keberatan" jika Golkar ikut berkoalisi, boleh jadi karena faktor JK sebagai cawapres.

Suatu koalisi yang besar mestilah mempertimbangkan keselarasan timJangan sampai masing-masing parpol mempunyai agenda kepentingan yang berbeda, sehingga tim bukannya semakin menguat, malah diam-diam bisa saling menjegal, baik sewaktu memperjuangkan pilpres, maupun setelah berhasil.

Dalam posisi mempertahankan kekuasaan, seperti posisi SBY dan Demokrat, keselarasan itu bisa lebih rapuh dibandingkan keselarasan koalisi parpol yang hendak merebut kekuasaan, seperti yang sekarang dibangun oleh Blok MSang penentang biasanya lebih solid karena punya misi untuk merebut kekuasaan.

Beda dengan jago bertahan yang jika syarat dengan kepentingan berbeda akan merapuh, sementara kemenangan masih sedang dipertahankan atau malah bisa saja direbut koalisi penentang.

Pada akhirnya koalisi tak hanya antar elit parpolTetapi juga harus mempertimbangkan massa pendukung, dan masyarakat pencontreng yang non-parpol tetapi jumlahnya sangat signifikanHarap diingat bahwa pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar, namun pasangan capres-cawapresnya, Wiranto-Sholahudin Wahid, malah kalah di putaran pertama.

Demokrat harus memberi sinyal sebelum Golkar dan PDIP menentukan kandidat cawapres mereka pada tenggat waktu yang sama, 23 April 2009Jangan sampai kandidat cawapres yang hendak dibidik Demokrat malah dibetot PDIPWaktu kadang menjadi musuh terbesar bagi sebuah kebijakan yang alotBisa terlambat lima tahun menunggu Pemilu 2014(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler