Bermula dari Dahlan, agar Cangkok Hati Lebih Terjangkau

Kamis, 28 Januari 2010 – 06:58 WIB
Tim dokter dan perawat RSUD dr Soetomo Surabaya bersama Presiden Direktur OOTC Prof Dr Shen Zhongyang. Perawat Eko tak tampak karena sedang memotret rekan-rekannya ini.

Impian RSUD dr Soetomo Surabaya untuk menjadi pusat transplantasi liver segera terwujudPekan lalu tim dokter dan perawat rumah sakit pendidikan itu belajar ke pusat transplantasi liver terbesar di dunia, OOTC, di Tianjin, Tiongkok

BACA JUGA: Pernah Menolak Tawaran Tinggal di Negerinya Ronaldo

Apa saja yang dipelajari dan bagaimana suasananya? Inilah catatan wartawan Jawa Pos, NANY WIJAYA yang mendampingi mereka.

--------------

ADALAH Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos Group yang kini menjadi Dirut Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang pertama mencetuskan ide perlunya program transplantasi liver di Surabaya.

Ide yang terdengar seperti suara dari langit itu dia sampaikan pada 31 Oktober 2007, saat meluncurkan buku tentang pengalamannya operasi ganti hati
Seperti diketahui, 29 bulan lalu, ketika masih menjadi CEO Jawa Pos Group, Dahlan menjalani transplantasi hati di Oriental Organ Transplant Center (OOTC), yang bernaung di bawah bendera Tianjin First Central Hospital (TFCH).   

Seperti yang diduga banyak orang, biaya transplantasi liver sangat tidak murah

BACA JUGA: Jadi Laporan Khusus Lima Halaman di Koran Nasional

Sekalipun operasinya di Tiongkok, yang dalam segala hal terkenal sangat murah dibanding di negara lain, seperti Singapura, Korea, apalagi Jepang dan Amerika Serikat
Itu karena yang harus disediakan penderita bukan hanya biaya operasi dan obat-obatan pascaoperasi

BACA JUGA: Gerah Permainan Pasal, Simpan Palu Ketua MA Pertama

Juga biaya hidup dan tempat tinggal bagi keluarga yang mendampingi selama menunggu donor dan dalam perawatan pascaoperasiBelum lagi tiket pesawat.

Tingginya biaya inilah yang menjadi concern Dahlan ketika ituBelum lagi soal kendala bahasa, bagi mereka yang tidak bisa berbahasa MandarinPimpinan lebih dari 100 surat kabar itu tidak punya kendala komunikasi selama di Tiongkok karena bahasa Mandarinnya sangat baik dan fasih.Dua hal itulah yang lantas membuatnya merasa perlu untuk mendorong adanya program transplantasi liver di Surabaya"Kalau transplantasinya di Surabaya, biayanya bisa lebih murah sehingga lebih banyak penderita bisa diselamatkanSelain itu, tak perlu ada kendala bahasa," kata Dahlan saat itu.

Untuk membantu mewujudkan keinginan itu, Dahlan berjanji mendatangkan ketua tim dokter yang mengoperasinya dan menyerahkan semua keuntungan dari penjualan buku Ganti Hati-nya.Ide dan niat baik Dahlan itu langsung disambut para dokter, terutama ahli bedah digestif (perut) RSUD dr Soetomo SurabayaSelain karena kebutuhan transplantasi liver itu meningkat, juga sebagian dari mereka sudah mempelajari bidang tersebut ketika belajar di luar negeriMisalnya, dr Poerwadi SpB, SpBA yang ahli bedah anak dan dr Sjamsul Arief SpA(K) MARS yang ahli penyakit liver anakPoerwadi belajar transplantasi hati di Groningen, Belanda, sedangkan Sjamsul di Jepang

Bagi RSUD dr Soetomo Surabaya, transplantasi organ bukan sesuatu yang baruJauh sebelum Dahlan ditransplan, mereka sudah banyak melakukan transplantasi kornea, jaringan (tulang dan kulit), dan bahkan ginjalNamun, untuk liver, terpikir pun belumAda banyak kendala teknis dan nonteknis yang tak mudah diatasi ketika ituMulai pengetahuan yang masih minim tentang transplantasi liver sampai ke masalah donor.

Mereka baru tergugah untuk melangkah ke bidang itu setelah Dahlan mengungkapkan keinginan dan dukungannyaMasalahnya, dukungan saja tidak cukupApalagi, kalau transplannya harus menggunakan donor cadaver (mayat)Ketika itu, donor hidup belum terpikirkan meski di Jakarta dan Bandung sudah ada beberapa orang yang menjadi donor hidup bagi transplantasi liverApalagi, Dahlan sendiri ditransplan dengan donor cadaver.   

Meski cadaver berarti mayat atau orang yang sudah meninggal, itu tidak berarti bahwa organ semua mayat bisa digunakan untuk transplantasiOrgan mayat yang bisa didonorkan adalah organ yang masih "hidup." Artinya, masih dialiri oksigen.

Tubuh mendapatkan oksigen dari paru-paru, melalui darah yang mengalirDarah hanya bisa mengalir kalau jantung tetap berdenyutSeseorang dinyatakan meninggal kalau batang otaknya sudah matiKematian batang otak ditandai dengan berhentinya reaksi tubuh terhadap segala bentuk rangsanganMulai panggilan, cubitan, tusukan (jarum, misalnya) maupun sinar yang diarahkan ke pupil   

Organ tubuh sendiri tak bisa bertahan "hidup" lebih dari 20 menit, setelah batang otak matiKecuali jantung dan parunya dipertahankan tetap bergerak dan mengalirkan darah serta oksigenIni berarti orang itu harus dalam keadaan tersambung dengan alat bantu pernapasan, sejak sebelum atau sesaat setelah batang otaknya mati.  Alat bantu napas berfungsi mengalirkan oksigen ke paru dan mendorong jantung untuk tetap bergerak.   

Kendala para dokter untuk mengambil organ dari orang yang sudah mati batang otaknya adalah agama dan budayaDi Jepang sendiri, pelaksanaan donor dengan organ cadaver masih sangat sedikitUntuk mengatasi kendala tersebut, Jawa Pos lantas mengadakan beberapa diskusi dengan para ahli agama Islam, pakar dan penegak hukumHasilnya, pengambilan organ dari tubuh yang sudah mati tidak melanggar hukum apa pun kalau diambil dari orang yang secara medis memang sudah dinyatakan meninggal, tidak ada unsur jual beli, semasa hidup almarhum sudah mengizinkan, ahli waris juga mengizinkan, dan dianjurkan untuk menggunakan donor yang seiman.

Ternyata "lampu hijau" itu juga tidak cukup untuk menggerakkan tim dokter Surabaya melakukan transplantasiPadahal, Menteri Kesehatan ketika itu, sudah menyatakan dukungannyaSaya tidak tahu di mana kendalanyaBaru akhir bulan lalu, setelah dua tahun menunggu, keinginan melakukan transplantasi sendiri itu muncul dan disikapi dengan sangat serius

Mengapa tiba-tiba keinginan itu muncul dan didorong ke permukaan dengan sangat serius" Tampaknya, ada keinginan yang kuat dari tim bedah anak untuk menyelamatkan nyawa dan masa depan seorang bocah berumur tiga tahun yang menderita kelainan atresia biliariBocah ini tinggal di daerah yang jaraknya sekitar empat jam perjalanan darat dari Surabaya, bersama kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai guruStatus bocah ini sekarang adalah pasien rawat jalan, karena memang tak ada yang mengharuskan dia diopname.   

Anak-anak dengan kelainan ini lahir dengan saluran empedu yang tidak sempurnaPada orang normal, saluran empedu menghubungkan dua organUjung yang satu menghubungkan kantung empedu dengan liverUjung lain menghubungkan liver dengan usus halusPada anak dengan atresia biliari, saluran yang ke usus itu tidak terbentukDengan begitu, cairan empedunya menumpuk di liverAkibatnya, liver rusak dan beban kerjanya berpindah ke limpaAkibatnya, limpa membesar.

Karena semakin membesar, beberapa bulan lalu limpa itu diangkat oleh dr Poerwadi SpB, SpBA dari RSUD dr Soetomo SurabayaSebelum operasi dan setelahnya, bocah ini ditangani dr Sjamsul Arief SpA(K) yang ahli liver anak.

Dalam kasus atresia biliari, pengangkatan limpa sebenarnya tak banyak menolongSebab, yang dibutuhkan adalah saluran empedu yang menghubungan liver dengan usus halus dan liver yang sehatTetapi, jika limpanya tak segera diangkat, akibatnya bisa lebih fatal dan mungkin pertahanan hidup bocah malang itu lebih pendek.

Didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan bocah ini dan lebih dari 20 bocah lain yang sependeritaan, program transplantasi liver ini dijajaki lagiHanya, kali ini lebih serius, karena ada dukungan yang sangat konkret dari direktur RSUD dr Soetomo Surabaya dan gubernur Jawa TimurPekan lalu, dengan rekomendasi Dahlan Iskan dan fasilitas Jawa Pos, sembilan dokter ahli dan dua perawat spesialis dari RSUD dr Soetomo Surabaya berangkat ke Tianjin, Tiongkok.

Kesembilan dokter itu adalah ahli bedah anak (dr Poerwadi SpB, SpBA dan dr IGB Adria Hari Astawa SpB, SpBA), ahli bedah digestif dewasa (dr Vicky Sumarki Budipramana SpB-KBD dan dr Iwan Kristian SpB-KBD), dan ahli bedah vaskuler (dr Heroe Soebroto SpBTKV)Kemudian, ahli anestesi (dr Philia Setiawan SpAn-KIC, dr Arie Utariani SpAn-KIC, dan dr Elizeus Hanindito SpAn-KIC) serta ahli penyakit liver anak (dr Sjamsul Arief SpA-K)Sedangkan dua perawat spesialisnya, masing-masing Choirul Anam dan Eko Yeppianto

Ketika meninggalkan Surabaya pada 16 Januari lalu, tak ada yang mengira bahwa mereka adalah tenaga ahli yang sebenarnya sudah sangat siap melakukan transplantasi liver di SurabayaSaya yakin, saat itu, mereka sendiri dan tim dokter ahli transplan di Tianjin juga tak menyadari hal itu.

Kehebatan dan kesiapan mereka untuk menjalankan misi besar itu justru tampak setelah mereka melihat langsung bagaimana transplantasi liver dilakukan di Tianjin dan setelah berdiskusi dengan tim dokter andalan OOTC(bersambung/besok: "Bengkel Manusia" Terbesar di Dunia/kum).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seminar Sambil Nikmati Ombak dan Indahnya Suramadu


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler