jpnn.com - Vietnam tidak ingin hanya menjadi penonton di era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Dengan ditunjang 52,93 juta pekerja di antara 92 juta penduduk, Vietnam juga siap menyerang negara tetangga. Termasuk ke Indonesia.
Laporan Agus Wirawan, Hanoi
BACA JUGA: Sejenak Menikmati Rumah Aman Yayasan Embun Surabaya
BAGI orang Indonesia, harga apa saja di Vietnam termasuk murah. Sebab, nilai tukar mata uang dong Vietnam (VND) jauh di bawah rupiah. Gampangnya, kalau pedagang di Vietnam menyebut nominal harga barang dagangan, itu berarti nilainya bisa separo dalam rupiah. Tapi, perhitungan itu belum tentu sama untuk komoditas yang lain.
’’Saya pernah beli sepatu Nike di Vietnam seharga 500.000 dong. Kalau dikonversikan ke rupiah, itu sama dengan Rp 250 ribu. Tapi, waktu pulang ke Indonesia, saya tanya ke toko resminya di mal. Ternyata sepatu tersebut dijual Rp 600 ribu,’’ kata Soenaryo, precurement manager Thang Long Cement Company (TLCC), anak usaha PT Semen Indonesia di Vietnam, kepada Jawa Pos yang menemui di Hanoi beberapa hari lalu.
BACA JUGA: Menakar Kemampuan Vietnam Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN (2)
Soenaryo tidak mengetahui secara pasti alasan harga sepatu di Indonesia lebih mahal ketimbang di Vietnam. Itu mungkin karena Indonesia ingin melindungi industri sepatu dalam negeri dengan menerapkan bea masuk tinggi pada sepatu impor. Bisa juga itu terjadi karena biaya logistik dan margin keuntungan pedagang di Indonesia terlalu tinggi.
’’Tapi, yang jelas, itu berbahaya kalau saat MEA nanti tidak ada pajak (bea masuk). Bisa-bisa sepatu dari Vietnam menyerbu Indonesia,’’ ujarnya.
BACA JUGA: Kami Arsitek Jengki, Komunitas Peduli Desain Rumah Jengki
Dalam satu dekade terakhir, sektor industri alas kaki dan kulit memang menjadi andalan Vietnam. Sejumlah produsen sepatu terkenal, misalnya Nike dan Adidas, memproduksi sepatu di negara tersebut secara outsourcing. Hal itu membuat jumlah tenaga terampil di sektor itu cukup besar, mencapai 650.000 pekerja. Ditunjang tenaga kerja yang ahli dan upah murah, produk sepatu dari Vietnam lebih kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN.
Meski begitu, lanjut Soenaryo, Vietnam tetap negara agraris. Sekitar 60 persen tenaga kerjanya bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Tidak heran, selama ini Vietnam menjadi eksporter utama sejumlah komoditas. Misalnya, beras, kopi, lada, jambu mete, dan jeruk. Hampir setiap tahun Indonesia mengimpor beras dari negara itu. ’’Produksi pertanian di Vietnam hampir sebanding dengan Thailand,’’ katanya.
Selain pertanian, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan komoditas ekspor paling penting bagi Vietnam. Memiliki 2.500 perusahaan TPT dengan dua juta pekerja, sektor tersebut juga menjadi sumber utama lapangan kerja. Terutama untuk kaum perempuan. Ekspor TPT Vietnam pada 2012 tercatat USD 15,78 miliar dan 2013 sebesar USD 18,21 miliar.
Di sektor industri komponen, elektronik, dan komputer, Vietnam telah keluar dari fase pabrikan skala kecil. Banyak perusahaan yang memperbesar produksinya sehingga menempatkan Vietnam sebagai salah satu pengekspor utama komponen, elektronik, dan komputer. Pada 2013, nilai ekspor barang elektronik, komputer, dan komponen produksi mencapai USD 10 miliar.
’’Samsung dan Panasonic memiliki pabrik besar di Vietnam. Produknya diekspor ke seluruh dunia,’’ kata Soenaryo.
Duta Besar RI untuk Vietnam Mayerfas mengungkapkan, selain pertanian, negara yang memiliki luas wilayah 33 ribu kilometer itu mengandalkan produk kayu dalam menghadapi pasar tunggal MEA 2015. Cadangan kayu yang dimiliki Vietnam saat ini 600 juta meter kubik.
’’Mereka dapat memanen tiga juta meter kubik kayu per tahun. Hasil itu kemudian diolah oleh sekitar 2.000 perusahaan kayu dengan 250.000 tenaga kerja,’’ tutur Mayerfas. Dengan volume produksi seperti itu, Vietnam bisa menjadi pesaing berat bagi Indonesia yang juga mengandalkan ekspor produk kayu. Ekspor kayu Vietnam meningkat dari USD 2,6 miliar pada 2009 menjadi USD 3,3 miliar pada 2010. Pada 2011, ekspor mereka kembali naik menjadi USD 3,9 miliar. Pada 2012, angkanya tumbuh hingga USD 4,6 miliar dan pada 2013 menjadi USD 5,1 miliar.
’’Produk kayu Vietnam diekspor ke 220 negara. Paling banyak ke Amerika, Eropa, dan Jepang,’’ kata Mayerfas.
Di sektor pertanian, Vietnam tetap mengandalkan komoditas ekspor utama, yaitu beras. Bagi Vietnam, beras menjadi komoditas penting untuk menjaga ketahanan pangan, menyerap banyak tenaga kerja, dan meningkatkan pendapatan ekspor.
’’Hampir 80 persen petani di Vietnam menanam padi. Saat ini Vietnam adalah negara eksporter beras terbesar kedua dunia setelah Thailand,’’ ungkapnya. Selain beras, Vietnam mengandalkan buah-buahan dan sayuran. Kondisi alam dan iklim yang berbeda-beda di Vietnam membuat negara tersebut diberkahi dengan kenanekaragaman buah dan sayuran. Itu menguntungkan Vietnam untuk mendogkrak ekspor.
’’Ekspor buah dan sayuran Vietnam tumbuh pesat sejak lama, mulai 1990-an. Sudah banyak yang diekspor. Di antaranya, buah naga, kelengkeng, jeruk, dan durian,’’ lanjutnya. Hal itu terlihat dari nilai ekspor buah-buahan dan sayuran Vietnam. Pada 2004 hingga 2009, ekspor buah dan sayuran Vietnam mencapai USD 2 miliar dengan rata-rata tumbuh 20 persen per tahun. Sedangkan pada 2013, nilainya mencapai USD 937 juta.
’’Buah dan sayuran Vietnam telah masuk 50 negara. Termasuk menyerbu Amerika Serikat, yang dulu lawan. Mereka mencanangkan target nilai ekspor USD 2,2 miliar pada 2020,’’ katanya.
Menurut Mayerfas, Vietnam hanya mengenakan pajak pada komoditas tertentu. Terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) seperti produk kehutanan dan mineral. Pajak ekspornya 0–45 persen. Di sisi lain, hampir semua produk impor dikenakan pajak. Produk konsumer dan barang mewah dikenakan pajak tinggi. Sedangkan barang modal untuk produksi dipajaki rendah atau bahkan nol persen. ’’Ini dalam rangka mendongkrak ekspor mereka,’’ tuturnya.
Mayerfas menegaskan, persepsi orang Indonesia tentang Vietnam hendaknya perlu diubah karena Vietnam bukan lagi negara miskin. Negera itu sudah mengalami banyak kemajuan dengan berbagai macam potensi ekonominya.
’’Saya kira Vietnam menjadi satu-satunya negara ASEAN yang memiliki status ’mitra strategis’ dengan pertumbuhan kelas menengah yang cukup pesat. Sebenarnya kita memiliki banyak sekali kesamaan dengan Vietnam,’’ ucapnya.
Terkait dengan MEA, Vietnam telah bersiap-siap memangkas 1.720 tarif bea masuk dari sebelumnya lima persen menjadi nol persen pada 2015. Sebab, itu merupakan kesepakatan di bawah ASEAN Trade In Go Agreement (ATIGA).
’’Tapi, khusus untuk produk besi, otomotif, dan suku cadang, kami baru pangkas pada 2018,’’ kata Kepala Departemen Kerja Sama Internasional Kementerian Keuangan Vietnam Nguyen Thi Bich sebagaimana dikutip Viet Nam News. Sementara itu, beberapa komoditas lain masih dalam negosiasi yang alot di forum ASEAN. Nguyen mencontohkan, tembakau dinegosiasikan untuk bisa dilakukan pemotongan tarif bea masuk setelah 2018. Saat ini Vietnam masih berusaha keras menegosiasikan tetap bisa memberlakukan bea masuk lima persen untuk produk agrikultur tertentu yang dikelola petani kecil. Misalnya, garam, gula, ayam, telur, babi, dan buah-buahan seperti jeruk. (*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suud, Pembuat Alat Bantu Gerak untuk ABK di YPAC
Redaktur : Tim Redaksi