jpnn.com - Masa kecilnya dilalui dengan sulit. Dia harus berjualan untuk membiayai sekolah. Karena itu, dia pun berjanji pada Tuhan untuk bisa mendirikan sekolah. Dia ingin semua anak bisa merasakan manisnya bangku sekolah. Dia adalah dr Robert Arjuna PhD.
SEROMBONGAN balita tampak berlarian dengan ceria. Mereka bermain dan berceloteh dengan riang. Di antaranya, Felix Renold, 2, dan Beatrix Etsuko, 4. Pagi itu (13/11) adalah jadwal pemeriksaan rutin. Mereka ditidurkan di atas brankar. Dokter pun mulai memeriksa denyut nadi Felix dan Beatrix.
Di samping mereka, seorang pria mengenakan setelan jas dokter terus mengajak anak-anak tersebut bercanda. Dia adalah dr Robert Arjuna PhD, sang pemilik sekolah. Unik memang. Dokter memiliki sekolah. Bahkan, sekolahnya terletak di klinik yang didirikannya.
BACA JUGA: Sejenak Menikmati Rumah Aman Yayasan Embun Surabaya
Nama sekolah itu adalah Sayang School. Letaknya di Pakuwon City. Tidak seperti sekolah biasa, Sayang School memiliki program khusus. Yakni, murid selalu diperiksa setiap hari. Ada dua dokter sekolah yang siaga. Pemeriksaan dilaksanakan pagi, sebelum masuk kelas.
Robert-lah yang memiliki ide cemerlang itu. Tujuannya adalah mengenalkan pentingnya kesehatan pada siswa sejak dini. Menurut dia, mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena itu, setiap anak di jenjang PG dan TK tersebut diperiksa. Mulai telinga, mata, hingga seluruh badan. ”Selalu dicek kalau ada yang demam, mencret, atau flu. Sehat nomor satu, baru bisa belajar maksimal,” ujarnya.
BACA JUGA: Menakar Kemampuan Vietnam Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN (2)
Menurut Robert, untuk memperkuat otak, diperlukan otot dan hati yang sehat. Pas dengan slogan hidupnya, hati, otak, dan otot (HO2). Setiap siswa juga sering diberi materi terkait dengan kesehatan. Misalnya, tentang cara cuci tangan yang benar dan berpakaian yang rapi.
Sedari kecil, mereka sudah terbiasa menjaga kesehatan. Karena itu, fasilitas sekolah juga lengkap. Terutama perlengkapan olahraga. Murid juga sering diajak berenang dan outbound. ”Tujuannya, anak bergerak dan berjiwa kreatif,” katanya.
Bahkan, Sayang School memiliki ruang pemeriksaan khusus. Namanya Pink Room. Di dalamnya, ada 12 tempat tidur dengan desain bunga-bungaan. Alat kesehatan tampak lengkap di sana. Di antaranya, alat pengukur tinggi dan berat badan.
Robert menuturkan, ada pepatah Latin yang menyebutkan mens sana in corpore sano. Artinya, jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat. Menurut dia, tanpa kesehatan prima, siswa tidak bisa belajar dengan maksimal.
Selain itu, dia mendesain Sayang School agar menjadi sekolah yang nyaman bagi siswa-siswinya. Dia mengajarkan kebersamaan kepada anak. Mereka belajar menggambar, mewarnai, dan bermusik.
Robert juga membekali siswanya dengan kemampuan bahasa Inggris. Sebab, selama ini dia sering melihat dokter Indonesia tidak bisa tampil di pentas dunia lantaran terkendala bahasa. Sayang School juga menganut kurikulum nasional sekaligus Cambridge dan Gracefield School, Singapura.
Di sekolah itu, Robert tidak hanya mementingkan unsur kesehatan dan kurikulum. Para siswa juga diajak untuk berempati pada sesamanya. Pada Natal bulan depan, misalnya, para siswa itu diajak merayakan Natal bersama Panti Asuhan Bakti Luhur di Wisma Tropodo, Sidoarjo.
Selain itu, anak-anak diajal study tour ke Gracefield Singapura. ’’Mereka sudah bersosialisasi dengan berbagai bangsa dan kalangan sejak dini,’’ jelasnya.
Robert mengatakan, pengalaman masa kecil dan kecintaannya pada pendidikanlah yang menggerakkannya mendirikan sekolah. Menurut dia, setiap anak berhak mendapat pendidikan yang baik. ”Waktu saya kecil, sekolah begitu susah. Jadi, saya berjanji sama Tuhan akan membuat sekolah,” kata pria yang beristri Ellen Sinatra itu.
Robert menuturkan, hatinya tergerak untuk mendirikan sekolah lantaran latar belakang masa lalunya. Robert lahir pada 16 September 1957 di sebuah kampung nelayan. Tepatnya di Bagansiapiapi, Riau. Hidupnya dilalui dengan keras. Maklum, orang tuanya tidak berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang pelaut.
Robert sering berpisah dengan sang ayah yang pergi melaut ke pulau terpencil. ”Orang tua saya bilang sama anak-anaknya. Biar mereka menjadi nelayan, kami jangan,” ucapnya.
Dia menambahkan, dokter memang menjadi obsesinya sejak kecil. Sebab, di kampungnya, banyak warga yang mengembuskan napas terakhir lantaran penyakit ringan. Misalnya, diare dan step. ”Saat itu saya berpikir, alangkah indahnya kampung saya jika bisa menyelamatkan orang,” kata putra pasangan Teguh Arjuna dan Lusiana Oeij tersebut.
Bahkan, Robert menyatakan tak menyangka jadi dokter. Tanpa modal. Dia menyebut, hanya semangat, keuletan, dan keteguhanlah yang mengantarkannya hingga ke titik saat ini.
Sejak berusia 12 tahun, Robert berusaha mandiri. Apalagi dia adalah anak pertama di antara enam bersaudara. Dia juga harus membantu orang tua untuk menyekolahkan adik-adiknya. Caranya dengan menjual rokok.
Beragam suka duka pun sudah dia lalui. Terutama saat berdagang demi membiayai sekolahnya. Ketika itu Robert sudah biasa dikejar-kejar polisi saat berdagang rokok. Maklum, rokok yang dijual tidak terdaftar di bea cukai. Robert harus rela dihukum aparat.
”Hukumannya cuma push-up. Soalnya mau ditangkap tidak punya duit,” ujar lelaki yang memiliki moto belajar berkarya mengabdi (BBM) itu.
Memasuki usia 15 tahun, jiwa mengajarnya muncul. Robert menjadi guru privat. Saat itu dia mengajar siswa SMP. Tak berhenti di situ, setelah masuk perguruan tinggi, dia masih mengajar. Yakni, di SMA W.R. Supratman dan SMA Sutomo Medan. ”Usia saya dengan murid cuma selisih dua tahun,” ucap pria yang menjadi juara I Young Investigator Awards International Scientific Meeting in Taiwan tersebut.
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan itu mengajarkan biologi. Tak tanggung-tanggung, Robert langsung mengajar kelas XII. Lantaran prestasinya, dia dinobatkan sebagai wali kelas. Kemudian, dia dipercaya sebagai wakil direktur yayasan.
Selama mengajar, Robert selalu menekankan pentingnya kedisiplinan. Karena itu, dia dikenal sebagai guru paling killer. Namun, menurut dia, hal tersebut berdampak positif bagi masa depan siswa. Mereka akan memiliki karakter dan mental yang kuat.
Robert mengajar selama 11 tahun. Yakni, selama kuliah di FK UISU. Masalahnya, uang dari mengajar belum mencukupi kebutuhannya. Sebab, dia masih memiliki adik-adik yang menjadi tanggungan.
Saat itu guru juga bukan profesi yang menjanjikan. Dia pun hampir putus kuliah karena tidak ada biaya. Namun, dia tidak menyerah. Robert menyalurkan satu lagi bakatnya, bermusik. ”Ngeband setiap malam. Jadi drumer,” ujarnya lantas tertawa.
Lantaran kesibukannya, Robert baru lulus kedokteran setelah hampir satu dasawarsa. Dia masuk kedokteran pada 1975 dan baru menyelesaikan studinya pada 1984. Pada 1989 Robert tidak lagi mengajar. Dia berfokus pada profesinya sebagai dokter.
Pada 1992 dia melanjutkan pendidikan S-2 Endocrinology di Melbourne of University, Australia. Kemudian, menamatkan doktoralnya di Universitas Airlangga.
Namun, jiwanya tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan. Robert pun masih mengurus Sayang School. Kini, di samping kesibukannya sebagai dokter, dia menyempatkan menulis buku.
Setidaknya ada empat buku yang sudah diluncurkannya. Di antaranya, Kumpulan Puisi Hera Pelipurlara, Dunia Penuh Warna, dan RobertoNews (dua edisi). ”Saya berharap ilmu ini bisa dinikmati semakin banyak orang,” tandasnya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kami Arsitek Jengki, Komunitas Peduli Desain Rumah Jengki
Redaktur : Antoni