jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta aparat penegak hukum mengawasi bisnis gas yang diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Tidak hanya Kepolisin dan Kejaksaan Agung, tapi juga Komisi Pemberantasan Korupsi perlu memberikan perhatian yang serius adanya dugaan penyalahgunaan di sektor migas yang dikuasai Pertamina dan para trader gas.
"Sektor energi dalam arti pengembangan yang berindikasi menjadi kasus, masih terbatas. Penegak hukum harus memberi perhatian lebih pada penyimpangan sumber daya alam, termasuk sektor migas. Sayangnya, KPK saja sampai sekarang masih di sisi pencegahan, sementara Kejaksaan dan Kepolisian jauh tertinggal," kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, saat dihubungi wartawan, Kamis (5/11).
BACA JUGA: Mimpi Presiden Jokowi Indonesia Bebas Byar-Pet, Sulit Terwujud?
Potensi penyalahgunaan yang dimaksud Firdaus terletak pada para trader gas yang hanya berbekal kedekatan politik saja, tanpa memiliki infrastruktur tapi bisa masuk ke bisnis migas. Kata dia, dengan adanya pola penjualan gas yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, seperti PT Pertamina EP dan PT Pertagas, yang melibatkan sejumlah trader, yang berujung harga di end user menjadi sangat mahal dan keuntungannya dinikmati oleh trader tentu bisa dijadikan bukti adanya praktik tak sehat di bisnis Migas.
"Lucu jika dari Pertamina EP kemudian dijual ke Pertagas kemudian menjual lagi ke broker gas. Seharusnya sesuai skema bisnis umum saja, dari Pertamina EP ke Pertagas trus langsung ke end user atau konsumen" tandas Firdaus.
BACA JUGA: Ekonomi Indonesia Triwulan III Tumbuh 4,73 Persen
Dalam dokumen 'Pengaturan Harga Gas' yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015, yang salinannya kini tersebar mencontohkan praktik trader gas bertingkat di Bekasi, Jawa Barat. Sumber gas di Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina, pertama kali dijual kepada PT Pertamina Gas (Pertagas).
Pertagas lalu menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai pemasok/trader pertama yang lalu menjual kembali gas tersebut ke trader berikutnya, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga USD 9 per MMBtu. Lalu, Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader berikutnya, yaitu PT Berkah Usaha Energi, dengan menggunakan pipa 'open access' milik Pertagas (pipa 'open access' Pertagas berdiameter 24 inchi sepanjang 78 km) dengan membayar 'toll fee' sebesar USD 0,22 per MMBtu.
BACA JUGA: Aduh.. Duh.. Gawat! Puluhan Ribu Buruh Kena PHK
Selanjutnya, Mutiara Energi menjual ke trader berikutnya, yaitu PT Berkah Utama Energi seharga USD 11,75 per MMBtu. Di sini sudah terjadi selisih harga sebesar USD 2,75 per MMBtu.
Firdaus berharap, agar penegak hukum jeli melihat kontrak jual beli migas agar tidak ada penyimpangan. Dalam melihat penyimpangan, dilihat betul apakah isu perdata dalam hal ini perikatan kontrak bermasalah atau ada cukup kuat pidananya. Jika kuat pidana, maka penegak hukum tidak perlu ragu mengusut.
"Kalau tidak diperbaiki akan semakin parah. Itu mesti diberantas. Orang tidak punya kemampuan, kemudian main di industri gas berbekal portofolio politik," katanya.
Ia mengingatkan, jika distribusi gas dimiliki oleh mereka yang memiliki relasi kekuasaan kuat, bahkan sebagian besar mereka yang ada di partai politik, maka makin susah ada efisiensi.
"Ke konsumen mahal, negara tidak mendapat maksimal. Padahal ini sektor energi primer, ujungnya juga bisa menambah laju inflasi. Industri juga seperti industri baja, petrokimia, keramik dirugikan karena harga gas jadi mahal akibat ulah trader gas abal-abal, " tandasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keren! Logo Wonderful Indonesia Merajai London
Redaktur : Tim Redaksi