Indonesia memiliki agenda besar di sektor IPTEK, namun masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya. Untuk mengejar ketertinggalan salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memperluas kerjasama riset dengan negara lain.

Indonesia didorong untuk memperluas jaringan kerjasama risetnya dengan negara-negara lain. Hal ini disampaikan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Profesor R Sjamsuhidajat di Jakarta.

BACA JUGA: Polisi Gunakan Teknologi Laser dan 3D dalam Olah TKP Pengepungan Sydney

Menurutnya dengan dengan memiliki jaringan kerjasama riset ilmiah dengan berbagai negara, akan membuka peluang yang lebih luas peluang kerjasama riset yang diharapkan dapat membuahkan penelitian bermutu yang bermanfaat bagi negara-negara yang terlibat. Oleh karena itu AIPI menyambut baik keikutsertaan 10 ilmuwan muda Australia untuk pertama kalinya dalam event Simposium Ilmiah Kavli Frontier ke-5, sebuah wadah kerjasama antara ilmuwan Indonesia – Amerika Serikat yang sudah berlangsung sejak 2011 dan dikelola oleh AIPI.  Ke-10 ilmuwan muda asal Australia dalam forum yang berlangsung di Kota Makasar (26 Juli -1 Agustus 2015) akan bergabung bersama 30 ilmuwan muda asal Amerika Serikat dan 40 ilmuwan muda asal Indonesia membahas berbagai trend terbaru penelitian ilmiah dan peluang riset dari masing-masing bidang yang ditekuni  peserta. Salah satu ilmuwan muda delegasi Australia, Dr Maxime Aubert mengaku sangat senang berkesempatan mengikuti forum Kavli Frontier di Indonesia.  “Ini merupakan peluang yang sangat bagus untuk membangun jaringan atau networking. Karena di forum ini kita bisa bertemu dengan ilmuwan muda dari negara lain.” “Ilmuwan Indonesia dan Australia memiliki isu yang sama seperti mencari pendanaan untuk riset. Beberapa isu yang kami hadapi memang ada yang berbeda tapi kita tetap bisa bekerjasama dengan menciptakan jaringan yang baru dan membuka peluang melakukan riset bersama,” katanya. Maxime yang memiliki latar belakang arkeolog ini berharap dapat memperoleh peluang kerjasama riset arkeologi dengan Ilmuwan Indonesia.  
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Sjamsuhidajat, semakin banyak kerjasama riset dengan negara lain semakin baik dampaknya untuk pengembangan dunia riset ilmiah Indonesia.

 Sementara itu AIPI juga menyambut baik kerjasama riset yang dilakukan antara Indonesia dan Australia. “Kerjasama individual antara peneliti Indonesia dan Australia memang sudah banyak dan berlangsung lama, namun kalau jenis kerjasama riset yang formal, kerjasama riset bilateral Indonesia - Australia termasuk terlambat dibandingkan dengan negara lain, seperti Indonesia – AS misalnya yang sudah terjalin sejak 5 tahun lalu,” kata Ketua AIPI, Profesor Sjamsuhidajat. ‘Australia sendiri termasuk negara yang cukup maju dunia risetnya. Sistem pengembangan IPTEK mereka sangat bagus, sehingga untuk melakukan penelitian di Australia sangat mudah. Ini membuat ilmuwan kita di Indonesia iri,” Menurut Prof. Sjamsuhidajat, hingga kini bidang riset ilmiah di Indonesia masih mengalami banyak kendala. Salah satu kendala utama adalah masalah pendanaan. “Di Indonesia dana untuk mendukung penelitian ilmiah yang dilakukan ilmuwan diperoleh dari APBN. Karena itu pencairannya terkendala birokrasi pemerintahan. Menunggu dana APBN cair dulu baru kita bisa melakukan riset,” katanya. “Jarang sekali penelitian ilmiah itu bisa rampung dalam satu tahun, apalagi penelitian yang bersifat tahunan itu sulit sekali dilakukan karena jaminan kelanjutan pendanaannya di APBN tidak ada,” tegasnya. Anggaran belanja riset Indonesia memang sangat minim. Menurut data 2013, total belanja penelitian dan pengembangan (litbang) pada tingkat nasional hanya 0,09 persen dari produk domestik bruto (PDB).  Dengan angka ini Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga Malaysia,  yang total belanja litbangnya mencapai 0,6 persen dari PDB. Indonesia juga masih kalah jauh jika dibandingkan dengan negara yang memiliki tingkat ekonomi yang sama seperti India, Brazil dan Tiongkok Namun menurut Prof. Sjamsuhidajat, masalah pendanaan ini sudah memiliki solusi dengan berdirinya Badan otonom Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia atau Indonesian Science Fund (ISF) pada Mei 2015 lalu. ISF yang digagas AIPI ini didukung oleh pemerintah Indonesia, Australia dan AS. ISF merupakan akan berperan menyediakan pendanaan kompetitif bagi ilmuwan dan insinyur Indonesia untuk melakukan penelitian kelas dunia serta mendukung daya saing bangsa. “Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, akan menampung dana untuk keperluan penelitian ilmiah yang tidak lagi bersumber dari APBN negara. Sehingga diharapkan dapat memberikan jaminan pendanaan yang lebih pasti,” “Dana ISF juga akan menampung dana hibah untuk riset ilmiah dari negara lain, salah satu negara yang sudah berkomitmen memberikan hibah adalah Australia,” “Dengan adanya wadah ini, ilmuan dari berbagai disiplin ilmu dapat mengajukan proposal risetnya dan meminta pendanaan dari ISF. Dengan demikian diharapkan kegiatan riset ilmiah Indonesia dapat lebih marak dan mencakup beragam disiplin ilmu,” Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia memang masih tertinggal jauh. Selama kurun waktu 1996-2010 saja, Indonesia hanya berada di peringkat ke-64 dunia dalam jumlah artikel ilmiah yang terbit di jurnal internasional. Jumlah ilmuwan di Indonesia juga dianggap masih jauh dari memadai untuk bisa mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang bisa menjadi ujung tombak pembangunan.

BACA JUGA: Kurang Bukti, Pemerintah New South Wales Cabut Tuntutan terhadap Uber

BACA JUGA: Pengakuan Transgender Australia Hidup Sebagai Pria Puluhan Tahun

BACA ARTIKEL LAINNYA... Benda Misterius Itu Hampir Dipastikan Puing MH370

Berita Terkait