Birokrasi Rusak karena Pilkada

Kamis, 01 September 2011 – 12:21 WIB

TEMUAN menarik lain yang berhasil diungkap JPIP terkait dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsungPerhelatan demokrasi langsung yang diharapkan menjadi tonggak perbaikan kualitas hidup masyarakat di daerah ternyata menimbulkan sejumlah persoalan

BACA JUGA: Golkar Bentuk Tim Khusus Pembahas Threshold

Bahkan menimbulkan hambatan terhadap kinerja pemerintah daerah (pemda)

   
Pertama, terjadinya politisasi birokrasi oleh kepala daerah dan calon kepala daerah

BACA JUGA: Megawati Sindir Pemerintah lewat Boediono

Birokrasi yang semestinya bersifat netral dipaksa untuk terlibat saling dukung dalam pilkada guna mempertahankan jabatan dalam birokrasi
Kondisi ini diyakini berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan oleh birokrasi, termasuk dalam pelayanan publik.

Kedua, tidak harmonisnya hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah

BACA JUGA: Tjahjo Kumolo, Penghuni Senayan sejak Era Orba hingga Reformasi

Perbedaan partai politik yang mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menimbulkan perbedaan kepentingan tatkala keduanya berhasil memimpin daerah.  Kurang baiknya hubungan itu berimplikasi pada jalannya pemerintahan dan kepemimpinan pemerintahan daerah.

Ketiga, perbedaan asal partai politik antara kepala daerah dan mayoritas anggota DPRD menimbulkan perbedaan kepentingan dalam pengambilan kebijakanBahkan tidak jarang menimbulkan ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif yang sebenarnya merupakan mitra penyelenggara pemerintahan daerah.

Terakhir, penggunaan APBD oleh calon incumbent saat pilkadaPolitisasi alokasi APBD tidak terhindarkanImplikasi paling berat adalah mengakibatkan alokasi APBD yang kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah

Hambatan berikutnya menyangkut eksistensi provinsiSatu hal yang dipersoalkan dari pemerintah provinsi adalah posisinya yang kurang jelasInforman mempersoalkan kejelasan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah atau kepala daerah otonom

Kemudian, keluhan lainnya berhubungan dengan biaya penyelenggaraan pilkada provinsi yang mahalPesta demokrasi yang bisa menyedot biaya ratusan miliar itu dinilai sebuah langkah pemborosan.

Selanjutnya, keterbatasan kualitas sumber daya manusia (PNS daerah)Rendahnya kapasitas dan kompetensi PNS daerah menimbulkan persoalan tersendiri dalam pelaksanaan otonomi daerahDaerah menilai urusan pemerintah yang didelegasikan kepada daerah tidak dapat diikuti oleh kompetensi SDM yang menjalankan kebijakan tersebut. 

Kondisi itu ironis dengan data jumlah PNS di Jawa TimurBerdasar data resmi, jumlah PNS di Jawa Timur mengalami peningkatan rata-rata 0,23 persen per tahun dalam kurun 2007"2010Apalagi bila dilihat komposisi golongan PNS yang didominasi PNS golongan III dan IV hingga mencapai 71 persen pada 2010Dengan kata lain, struktur tersebut mencerminkan  komposisi ideal karena PNS setidaknya dihuni oleh pegawai yang memiliki tingkat pendidikan setara sarjana atau telah berpengalaman.

Hambatan terakhir, lambatnya pembangunan infrastruktur di daerahKondisi ini terutama dihadapi daerah-daerah dengan kondisi geografis yang tidak menguntungkan, seperti Magetan, Pacitan, dan BondowosoDi satu sisi kondisi alam yang berat membutuhkan biaya pembangunan infrastruktur yang mahal dan komitmen pembangunan infrastruktur yang intensifDi sisi lain, daerah menghadapi kendala keterbatasan anggaran untuk membangun infrastruktur

Akibatnya, kesulitan pembangunan infrastruktur mengakibatkan laju percepatan pembangunan tidak sesuai dengan perubahan ekonomi dan sosial di tingkat nasional dan provinsiDaerah mengeluhkan kesulitan meningkatkan nilai investasi swasta di daerahnya karena sulitnya merealiasikan pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan harapan pelaku usaha.  (wawan/c1/jpip)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Tetap Anggap Penting Setgab


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler