jpnn.com, JAKARTA - Perhutanan sosial merupakan program prioritas pemerintah yang memiliki tujuan utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Selain itu untuk mengurangi konflik permasalahan lahan di masyarakat dan ke depannya bisa membantu mengatasi kemiskinan.
BACA JUGA: KLHK Serius Menyelesaikan Konflik Agraria di Kawasan Hutan
Hal ini sebagaimana nomenklatur pada PermenLHK No.83/2016, bahwa Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK).
Menurut Dirjen PSKL KLHK Bambang Supriyanto pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan melalui program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha, serta penetapan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi III seluas 13,8 juta Ha.
BACA JUGA: Menteri Siti: Saatnya Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia
"Dengan harapan program ini dapat mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, serta menimbulkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber daya hutan," ujar Bambang.
Pemberian akses kelola hutan kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial sudah mencapai seluas 3,09 juta ha, dengan melibatkan lebih dari 679 ribu KK atau telah memberi manfaat kepada kurang lebih 2,7 juta jiwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
BACA JUGA: KLHK: Bioprospecting Adalah Masa Depan Kita
Untuk wilayah Kalimantan mencapai 846.164,14 Ha dengan jumlah unit SK sebanyak 521 unit SK untuk 83.821 KK. Khusus wilayah Provinsi Kalimantan Barat akses kelola Perhutanan Sosial telah mencapai 378.305,05 Ha dengan jumlah unit SK sebanyak 131 unit SK untuk 38.847 KK.
"Pemerintah dan stakeholder lain juga memberikan fasilitasi kepada masyarakat untuk pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bantuan alat ekonomi, akses modal dan akses pasar agar mereka menjadi mandiri dan bisa terbentuk klaster-klaster usaha berbasis desa," tambahnya.
Terkait Hutan Adat, kata Bambang, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia memberikan pengakuan resmi tentang masyarakat hukum adat dan hutan adat sebagai pengejawantahan UUD 1945 Pasal 18B.
Itu dilakukan dengan penyerahan SK pengakuan dan pencantuman hutan adat yang pertama kali diserahkan langsung oleh Presiden pada 30 Desember 2016 sampai dengan 2018 di Istana Negara sebanyak 33 unit seluas ± 17.323 Ha.
"Penetapan/pencantuman hutan adat tahun 2019 (hingga April 2019) telah ditetapkan 16 unit seluas ± 4.870 Ha, sehingga totalnya menjadi 49 unit seluas ± 22.193 Ha dan pencadangan hutan adat seluas ± 5.172 Ha," sambungnya.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012 bahwa Hutan Adat bukan lagi bagian Hutan Negara, oleh karena itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan pengganti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 tanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Selain substansi tersebut peraturan pengganti ini mengatur tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I.
Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I yang dimaksudkan untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat dapat ditetapkan/dicantumkan hutan adat dimasa yang akan datang. Hal tersebut didasari pertimbangan bahwa:
1. Terdapat usulan Hutan Adat seluas ± 9,3 juta Ha dari para pihak yang telah dianalisis dengan peta kawasan hutan, hanya seluas ± 6.551.305 Ha berada dalam kawasan hutan;
2. Dari ± 6.551.305 Ha yang tidak mempunyai produk hukum seluas ± 2.890.492 Ha sedangkan yang mempunyai produk hukum seluas ± 3.660.813 Ha;
3. Dari ± 3.660.813 Ha yang mempunyai produk hukum :
a) Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Seluas ± 6.495 Ha;
b) Perda Pengaturan dan SK Pengakuan Seluas ± 185.622 Ha;
c) SK pengakuan MHA seluas ± 226.896 Ha;
d) Perda Pengaturan seluas ± 3.067.819 Ha,
e) Produk Hukum Lainnya seluas ± 274.771 Ha.
Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan telah menetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I yang ditetapkan pada tanggal 29 April 2019.
Dengan keputusan ini Pemerintah menetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I dengan skala 1: 2.000.000 secara berkala dan kumulatif setiap tiga bulan.
Dalam Keputusan ini, untuk pertama kalinya Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas ± 472.981 Ha, yang terdiri dari: Hutan Negara seluas ± 384.896 Ha, Areal Penggunaa Lain seluas ± 68.935 Ha dan Hutan Adat seluas ± 19.150 Ha.
Pada Regional Wilayah Kalimantan jumlah total luas areal Hutan Adat yang telah ditetapkan dan Wilayah Indikatif Hutan Adat sebesar 54.978,9 Ha, sedangkan khusus di wilayah Provinsi Kalimantan Barat untuk Hutan Adat yang telah ditetapkan sebesar: 4.257,5 Ha, dan Wilayah Indikatif Hutan Adat sebesar 27.689, 14 Ha.
Dengan penetapan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat fase I memastikan jaminan dan upaya percepatan/pencantuman hutan adat dari Pemerintah melalui proses verifikasi subjek dan objek ditingkat lapangan dan fasilitasi penyelesaian konflik ruang dengan para pihak (pemegang ijin, klaim pihak ketiga) serta fasilitasi percepatan penerbitan Perda. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KLHK: Komodo Aset Wisata BesarÂ
Redaktur & Reporter : Natalia