BNP2TKI Gagal Terjemahkan Komitmen SBY

Rabu, 22 Juni 2011 – 07:34 WIB

JAKARTA - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) diminta bertanggungjawab atas terjadinya kasus hukum pancung atas tenaga kerja Ruyati di Arab Saudi  baru-baru iniBNP2TKI juga dinilai gagal mengimplementasikan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk  memberi perlindungan maksimal kepada para tenaga kerja yang bekerja di luar  negeri

BACA JUGA: Nurpati Kian Tersudut, Hakim Arsyad dan Putrinya Terseret

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR-RI Saan Mustopa mengatakan, Presiden SBY sebenarnya sudah secara tegas menginginkan agar proses penempatan  dan perlindungan pekerja migran Indonesia dijamin
Itu juga yang menjadi dasar bagi dibentuknya BNP2TKI sebagai pelaksana  komitmen tersebut.

“Kita tidak bisa menyalahkan Presiden SBY karena dia memang berkomitmen dalam membantu dan  memperbaiki nasib para TKI

BACA JUGA: Mendagri Siap Coret Qanun Pemilukada Aceh

Komitmen Presiden SBY sangat tinggi bahkan sampai membentuk  BNP2TKI untuk membantu para TKI
Tidak ada pemerintahan sebelumnya yang  berkomitmen seperti ini,” kata Saan.

Kebijakan presiden tersebut seharusnya bisa diikuti oleh bawahannya di tingkat operasional khususnya  oleh BNP2TKI, tambah Saan.Namun, peristiwa Ruyati menjadi bukti bahwa BNP2TKI sama sekali tidak bekerja dengan maksimal, dan  bahkan hukuman Pancung Ruyati dieksekusi tanpa sepengetahuan keluarga dan  pemerintah.

"BNP2TKI harus dievaluasi sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas kejadian ini

BACA JUGA: Kursi Ketum PPP Bukan untuk Politisi Kutu Loncat

Kalau sampai hal  ini mendorong evaluasi jajaran pimpinan di lembaga itu, itu konsekuensi dan  kami menyerahkan sepenuhnya kepada presiden untuk memutuskan," kata Saan di sela-sela Rapat Paripurna DPR, Selasa (21/6).

Saan mengaku sudah mengonfirmasi masalah Ruyati ini kepada pihak keluarganya langsungBerdasarkan penjelasan pihak  keluarga, kasusnya sudah terjadi sejak tahun 2010 laluMereka sudah beberapa kali mendatangi BNP2TKI dan Departemen Luar Negeri untuk meminta bantuan  hukum untuk Ruyati.

Bukannya memberi bantuan riil,  pihak BNP2TKI justru hanya memberi pernyataan standar bahwa kasusnya sedang  berproses dan diusahakanProses seperti itu berulang terus hingga  eksekusi terhadap Ruyati dilaksanakan"Jadi ini murni kelalaian BNP2TKILaporan tidak ditanggapi dengan respons yang serius," tegas  Saan.

Dia melanjutkan Fraksi Demokrat menilai BNP2TKI cenderung hanya serius dan sensitif melaksanakan  tugasnya apabila kasus sudah besar dan mendapat perhatian publik"Kalau tidak seperti itu, mereka tak pernah serius," ungkapnya.

Anggota DPR dari Fraksi Demokrat Ramadhan Pohan mengkritik sejumlah pihak, khususnya partai politik, yang cenderung mempolitisasi kasus Ruyati untuk memojokkan pemerintahPadahal apabila dilihat secara objektif, kesalahan bukan ada di Presiden SBY sebagai pembuat kebijakan,  namun di aparat negara yang tak bisa menerjemahkan kebijakan presiden dengan  benar“Janganlah reaksi terlalu  berlebihan dan memojokkan pemerintah terus, kita harus melihat permasalahan secara obyektif,” kata Ramadhan.

Anggota Komisi I dari Fraksi  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tubagus Hasanuddin mengatakan  kinerja BNP2TKI memang harus dievaluasi.DPR sendiri mendukung  dibentuknya pembentukan BNP2TKI dengan alasan bahwa TKI memang harus dilindungi"Jadi tugas lembaga itu memang untuk melindungi TKIKenapa justru tak dilaksanakan? Kenapa BNP2TKI tak  ambil alih untuk membayar ganti rugi atas Ruyati untuk menhindari hukum  pancung? Ini harus ada penjelasan," kata Tubagus.

Dia merujuk pada hukum di Arab Saudi, dimana hukuman pancung bisa diubah asalkan pelaku bisa membayar  ganti rugi materil yang diminta keluarga korbanContoh terbaru adalah Darsem, seorang TKI, yang akhirnya ditebus oleh pemerintah sebesar Rp 4,2 milliar  agar tak dihukum pancung"Trus apa yang dilakukan oleh BNP2TKI selama ini? Janganlah mereka hanya kejar target mengekspor TKI  tapi tak memikirkan bagaimana melindunginya," ujar Tubagus

Lebih jauh, kinerja BNP2TKI  dalam menempatkan tenaga migran Indonesia di luar negeri juga harus menjadi  perhatian mengingat pemerintah dan DPR sebenarnya sudah sepakat untuk melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja.

Selama ini, ujar Tubagus,  BNP2TKI selalu beralasan bahwa banyak yang pekerja migran yang berangkat secara  ilegal dan tak bisa dilarang karena pemerintah akan dianggap melanggar hak  asasi manusia bila tetap menahan mereka tak bisa keluar"Trus apa tugas mereka sebagai lembaga yang mengatur penempatan TKI? Pemerintah harus benar-benar  mengevaluasi BNP2TKI," kata Tubagus(awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jumat, MK Sidang Putusan Pemilukada Tapteng


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler