jpnn.com - Pengakuan Setya Novanto tentang aliran uang terkait program kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) menjadi bola panas. Tak tanggung-tanggung, mantan ketua umum Partai Golkar itu menyebut dua figur elite PDI Perjuangan, Puan Maharani dan Pramono Anung ikut kecipratan duit e-KTP masing-masing USD 500 ribu.
Bola panas dari terdakwa kasus e-KTP itu pun menggelinding. PDIP pun sibuk melontarkan tangkisan untuk membela diri.
BACA JUGA: Dua Aliran Uang Haram Pengusik Beringin Hitam
Partai berlambang kepala banteng itu berupaya menjauhkan diri dari persoalan e-KTP. Jurusnya adalah menempatkan diri sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggulirkan e-KTP sebagai program nasional.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut partainya pada kurun waktu 2004-2014 berstatus sebagai oposisi sehingga tidak logis kalau bisa mendapat bagian dari proyek e-KTP. Hasto justru menyerang Partai Demokrat (PD) menggunakan bola panas dari Novanto yang menyeret nama Puan dan Pramono.
BACA JUGA: Waketum Gerindra Bela Puan Maharani dari Setya Novanto
Intinya, PDIP menggunakan posisinya sebagai pihak yang beroposisi terhadap pemerintahan Presiden SBY sebagai tameng dari tuduhan patgulipat e-KTP.
PD pun bereaksi. Partai pimpinan SBY itu mengaku sudah membuktikan ketegasan terhadap kader-kadernya yang terseret korupsi.
BACA JUGA: Setnov Sebut Nama Puan dan Pramono, Ini Respons Masinton
Sekretaris Jenderal PD Hinca Panjaitan justru menilai pernyataan Hasto yang menimpakan beban persoalan e-KTP ke pemerintahan Presiden SBY sebagai hal aneh dan menggelikan. Menurut Hinca, korupsi adalah perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan persoalan oposisi ataupun mendukung pihak yang sedang berkuasa.
Persoalan benar atau tidaknya pengakuan Novanto soal Puan dan Pramono menerima duit e-KTP biarlah menjadi wilayah hukum. Tapi ada baiknya melihat sistem politik dan ketatanegaraan kita.
Indonesia tidak mengenal pemisahan tegas partai pemerintah dan oposisi. UUD 1945 juga tidak mengatur oposisi. Yang ada sekarang adalah oposisi yang hanya sekadar label politik atau positioning yang diambil oleh parpol tertentu.
Sebagai contoh adalah Gerindra dan PKS yang saat ini menempatkan diri sebagai oposisi. Namun di saat yang sama, kedua partai itu bisa kapan saja masuk barisan pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Begitu juga dengan PDIP atau Golkar yang sekarang menjadi pendukung pemerintahan Jokowi. Secara konstitusi, partai pendukung pemerintah bisa berbalik sikap kapan pun berdasar pertimbangan dan kepentingan masing-masing.
Hal yang sama berlaku pada PDIP di era lalu. Poinnya, tindakan PDIP membuat garis demarkasi sebagai oposisi untuk membela kadernya jelas bukan langkah pas. Sebab, faktanya tidak ada oposisi formal di Indonesia.
Tidak logis juga membangun narasi bahwa oposisi tidak mungkin ikut-ikut menikmati ‘bancakan’ rasuah e-KTP sebagaimana tuduhan Novanto. Pasalnya, proses penyusunan undang-undang dan policy apa pun bukan hanya domain eksekutif.
Legislatif juga memiliki peran kuat sebagaimana diktum Trias Politica tentang pembagian kekuasaan. Bahkan bisa dikatakan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang dapat berjalan tanpa persetujuan DPR.
Posisi kuat DPR ini yang di kemudian hari berujung pada abuse of power. Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap banyak legislator dari berbagai partai, baik yang berstatus pendukung pemerintah ataupun yang menempatkan diri sebagai oposan.
Ini menunjukkan bahwa dalam pembahasan anggaran tidak ada lagi batas tegas antara fraksi pemerintah dan oposisi. Semua memiliki kewenangan yang sama sehingga berpotensi juga melakukan penyelewengan.
Data menunjukkan para tersangka korupsi dari DPR di setiap periode ternyata tersebar di fraksi pendukung pemerintahan ataupun oposan. Merujuk data Transparansi Internasional, dari DPR periode 2004-2014 terdapat 17 legislator PDIP yang berurusan dengan KPK.
Selanjutnya ada Golkar dengan 19 anggota, Partai Demokrat (4 anggota), serta PAN dan PPP masing-masing 3 anggota. Sedangkan PKB, PBR dan PKS masing-masing satu anggota yang menjadi tersangka.
Pada periode tersebut, PDIP sebagai oposisi. Kesimpulannya, fraksi pendukung pemerintahan ataupun oposan di DPR memiliki potensi sama untuk korupsi. Hal ini karena DPR memiliki hak bujet atau menyusun anggaran, tanpa membedakan fraksi pendukung pemerintahan ataupun oposan.(***)
*Penulis adalah direktur eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Asia/dosen di FISIP Universitas Al Azhar Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Omongan Setnov soal Puan Jangan Dibiarkan Menggantung
Redaktur : Tim Redaksi