jpnn.com, CIBINONG - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui tim penyuluh hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memberi perhatian serius pada kasus kekerasan di lingkungan pendidikan terutama oleh guru terhadap anak didik yang belakangan ini marak. Oleh karena itu BPHN perlu menyosialisasikan peraturan perundang-undangan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar makin menghormati hukum.
Menurut Penyuluh Hukum Ahli Madya Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham Kusnandir, sosialisasi itu juga didasari intimidasi yang dialami para guru. “Karena bagaimanapun guru dalam mendidik tidak boleh diintimidasi,” ujarnya dalam kegiatan penyuluhan hukum di Cibinong, Bogor, Jumat (4/8).
BACA JUGA: Cegah Pelanggaran Keimigrasian di Sulawesi Utara, Imigrasi Gencarkan Timpora
Guru, kata Kusnandir, harus paham tentang perbedaan antara mendisiplinkan dengan memberi hukuman. Sebab, guru tidak boleh terjebak pada tindakan kekerasan yang bertolak belakang dengan kaidah pendidikan.
“Siklus kekerasan di sekolah itu harus diputus. Sejatinya sekolah bertujuan untuk mendisiplinkan anak yang melanggar disiplin menurut guru. Bukan untuk menghukum,” ujarnya
BACA JUGA: Beginilah Cara Lapas Perempuan Malang Memeriahkan HUT Kemerdekaan RI
Menurutnya, masyarakat atau siapa pun yang membenarkan tindakan pendisiplinan murid menggunakan kekerasan lupa bahwa tindakan semacam itu sudah tidak dibenarkan lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Arus digitalisasi juga mengubah dunia dalam memandang pendidikan karena menjadi lebih terbuka dan demokratis.
“Perubahan-perubahan semacam ini menjadikan kita tidak mungkin lagi untuk terus menggunakan cara-cara lama, termasuk metode untuk mendisplinkan anak dengan menggunakan kekerasan,” Kusnandir menegaskan.
BACA JUGA: Ditjen Imigrasi Gandeng Filipina Tangkal Teroris di Wilayah Perbatasan
Memang, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru memang memberikan kewenangan kepada pengajar untuk mendisiplinkan anak. Dalam Pasal 39 ayat 1 peraturan itu disebutkan, guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan oleh guru, peraturan pada tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan.
Namun, lanjut Kusnandir, bentuk sanksi telah diatur dalam ayat 2. Sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
“Jadi guru mempunyai acuan dan tidak sembarangan melakukan tindak kekerasan kepada muridnya di sekolah,” imbuhnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Layanan Paspor Online Dihapus, Diganti Antrean Online
Redaktur & Reporter : Antoni