jpnn.com, JAKARTA - Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sedang mengelaborasi sejumlah pasal dalam perundang-undangan yang mengatur masalah kerukunan. Untuk itu pula BPHN hadir pada Rapat Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Pembangunan Masyarakat Toleran, Selasa (1/8).
Ketua Pokja dari BPHN Eko Suparmiyati mengatakan, pihaknya sudah menginventarisasi sejumlah pasal terkait kerukunan. “Kami berharap tercipta suatu regulasi yang menuju masyarakat toleran di Indonesia. Tujuannya untuk menciptakan kepastian hukum untuk terciptanya masyarakat toleran,” ujarnya, Sabtu (5/8).
BACA JUGA: Tim Saber Pungli Kemenkumham Fokus Sentuh Lapas dan Imigrasi
Eko menjelaskan, langkah itu berangkat dari analisis dan evaluasi hukum bidang sosial budaya terutama terkait fenomena intoleran akhir-akhir ini. Pokja BPHN juga melibatkan lintas kementerian untuk menyinkronkan produk perundang-undangan di masing-masing kementerian.
Alhasil, BPHN membentuk pokja khusus untuk menganalisis sejumlah produk hukum terkait dengan pembangunan masyarakat yang toleran. “Ada banyak ahli yang dihadirkan BPHN di sejumlah rapat membahas perundangan yang mengatur masalah kerukunan,” ucapnya.
BACA JUGA: BPHN Gelar Penyuluhan Hukum demi Cegah Kekerasan Anak oleh Guru di Sekolah
Ahli yang dihadirkan salah satunya adalah Henry Simarmata, tenaga ahli utama di Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Dia menyoroti beberapa hal yang kerap bersinggungan dengan isu-isu kerukunan.
Pertama, katanya, budaya klasik di luar hukum tertulis. Kedua, menyangkut sisi keadilan seperti persoalan isu tambang dan tanah yang menjadi fasilitas publik,
BACA JUGA: Cegah Pelanggaran Keimigrasian di Sulawesi Utara, Imigrasi Gencarkan Timpora
“Yang ketiga aspek hukum dan keempat masalah leadership. Misalnya Gus Dur yang muruahnya lebih dari presiden. Pada saat yang sama, ada masyarakat yang tidak punya tokoh itu tetapi mereka kuat secara adat,” ucapnya.
Henry lantas mengutip pendapat ahli tata negara Jimly Asshiddiqie bahwa pembentukan undang-undang di Indonesia harus menjamin terbukanya akses peradilan. Menurutnya, gagasan Jimly mungkin masih sulit tercapai karena hukum adat menuntut kriteria tersendiri.
“Mungkin peraturan perundangan- undangan kita tidak banyak, tapi sesungguhnya yang banyak itu yurisprudensi,” katanya.
Henry menambahkan, jika hal ini diterapkan dalam semua konteks maka diperkirakan ada dua kemungkinan. Pertama, masyarakat kurang resisten atau menuntut adanya undang-undang baru. Hal itu juga akan menjadi persoalan dalam pemerintahan daerah.??“Ini bagaimana kepala daerah? Peran kepala daerah yang harus di-back up oleh peraturan perundang-undangan. Apakah kita bisa membandingkan perkembangan yang di Pulau Jawa atau di luar Jawa?” ungkapnya.
Padahal, saat ini ada empat provinsi di Indonesia yang memiliki status khusus. Yakni DKI Jakarta, Nagroe Aceh Darussalam, DI Yogyakarta dan Papua.
Secara garis besar, yang diperlukan adalah bagaimana membangun politik hukumnya. Yang juga jadi pertanyaan besar, sambung Henry, adalah bagaimana mengatasi kasus-kasus khusus yang bisa memberikan perkembangan di Indonesia.
“Apakah perlu membuat undang-undang terhadap mereka yang khusus. Badui, masyarakat Sunda Wiwitan, dan lain-lain,” tuturnya.
Sementar Aliefosra Nur dari Pokja Kementerian Agama mengaku beberapa kali memberikan rangsangan kepada kepala daerah agar sadar dengan isu-isu kerukunan. Tapi, tambahnya, juga ada beberapa daerah yang kurang tertarik dengan masalah kerukunan.
“Memang seperti di Manado berbeda, mereka lebih rukun. Barangkali di suatu daerah berkembang yang ekonominya baik maka akan banyak pendatang yang datang. Oleh sebab itu nanti kalau membuat masjid atau pura maka perlu izin dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama, red) setempat”, ujarnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beginilah Cara Lapas Perempuan Malang Memeriahkan HUT Kemerdekaan RI
Redaktur : Tim Redaksi