Bu Sri Mulyani, Pengamat Sudah Ingatkan Lho, Kenaikan PPN Berbahaya

Jumat, 25 Maret 2022 – 20:04 WIB
Berbagai kalangan menyuarakan keberatan terkait kenaikan PPN yang berlaku 1 April 2022. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Berbagai kalangan menyuarakan keberatan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku 1 April 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif PNN 11 persen di Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata tarif PPN di dunia.

BACA JUGA: Pengusaha Ini Tak Bayar Pajak 35 Tahun, Akhirnya...

Dia menjelaskan kenaikan tarif PPN itu tertuang dalam amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar Prof Abdul Hamid Paddu menyatakan kenaikan PPN yang semula 10 persen ke 11 persen akan berpengaruh pada daya beli masyarakat.

BACA JUGA: Bu Sri Mulyani Akan Naikkan Tarif PPN Bulan Depan, Hotman Paris: Aduh

"Sebenarnya ada dua sisi kalau pajak. Satu sisi kita lihat dalam bentuk pembangunan, itu dari sisi pemerintah, di sisi lain ada kemampuan membeli masyarakat," ujarnya seperti dikutip di Jakarta, Jumat (25/3).

Menurut dia, di sisi pemerintah selama dua tahun pandemi Covid-19, terjadi defisit anggaran.

BACA JUGA: Catat Ya! Ini Daftar Barang dan Jasa Bebas PPN

Hal itu membuat negara membutuhkan pembiayaan pembangunan termasuk infrastruktur serta kesehatan.

"Karena situasinya pandemi dan ekonomi tidak jalan, terpaksa substitusinya adalah menggunakan utang," papar Guru Besar Unhas itu.

Namun, kata Hamid, situasi ekonomi sudah mulai membaik, sehingga pemerintah mulai bergerak untuk membiayai pembangunan.

"Pilihan mengutang tidak dilakukan, tetapi menyesuaikan pajak dengan cara menaikkannya," ujar Abdul Hamid.

Hamid mengakui memang sudah seharusnya pemerintah melakukan penyesuaian PPN untuk mengimbangi insentif pajak yang sudah diberikan selama dua tahun.

"Tetapi bila tetap memberi insentif, maka akan menambah utang lagi," ungkapnya.

Selain itu, kenaikan tarif PPN satu persen atas pertimbangan harus menutupi defisit yang ada. Di sisi lain, menutup defisit dengan cara berutang, sudah tidak bisa, sebab Undang-undang mengatur hanya memperbolehkan dua tahun setelah defisit di atas tiga persen dari APBN.

"Saya kira pemerintah sudah melihat, ini masuk kuartal pertama, (tiga bulan) bahwa ekonomi sudah mulai tergerak secara baik. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama saya kira positif baik. Maka pertimbangan PPN naik satu persen dan pajak lain termasuk cukai rokok dianggap sudah bisa memikul ekonomi masyarakat," tuturnya.

Kendati demikian, dari sisi masyarakat kenaikan pajak tersebut tentu berdampak.

Menurutnya, PPN sifatnya elastis dan sensitif karena berkaitan dengan barang-barang baik itu dipakai konsumsi maupun hasil produksi.

"Apalagi di saat bersamaan sedang dilakukan pemulihan ekonomi," ucap Hamid.

Hamid melanjutkan kenaikan PPN dari dapat dipandang dari dua sudut. Konsumen membeli barang untuk dipakai langsung, berarti biaya dikeluarkan bertambah, daya beli masyarakat serta permintaan juga ikut menurun.

Kemudian, pada sisi produsen, pengusaha, tentu barang produksi lebih mahal, meskipun pajak itu didorong ke pembeli.

"Imbasnya, inflasi bisa naik. Saat inflasi, harga barang termasuk minyak goreng kini di atas Rp 50 ribu, itu bisa naik lagi, karena dikenakan PPN, kan masih mahal. Ini juga dikhawatirkan bisa mengerem ekonomi yang bisa menyebabkan gangguan penyerapan lapangan pekerjaan," ujarnya. (antara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bu Sri Mulyani, Sekarang Bukan Waktu yang Tepat Menaikkan PPN


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler