JAKARTA - Golkar termasuk kubu pendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur JogjakartaNamun, Golkar tak mau bila dukungannya tersebut dikaitkan dengan fakta politik bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X merupakan kader senior beringin
BACA JUGA: Polisi Waspadai Upaya Pembebasan Teroris
Bahkan, sempat menjadi anggota Dewan Penasehat DPP Golkar di era Jusuf Kalla."Sultan di Golkar, nggak ada urusannya," kata politisi Golkar Agun Gunandjar Sudarsa dalam diskusi RUU Keistimewaan Jogjakarta : Antara Monarki dan Demokrasi di Gedung DPR, kemarin (3/12)
BACA JUGA: Dubes Belanda Kunjungi Jawa Pos
"Nggak ada urusannya, karena kuning (Golkar, Red) terus dipakai kepentingan politik kita," imbuh Agun.Menurut dia, seluruh fraksi di DPR sebenarnya setuju dengan penetapan, termasuk Partai Demokrat
BACA JUGA: PPP Beri Dukungan Referendum
Agun menduga ada motif politik pribadi dari sikap presiden."Ada apa dengan SBY, kok ngotot amat sihApa memang karena Sultan sudah di Nasdem (Nasional Demokrat, Red), juga berkeinginan menjadi presiden dan tidak mungkin pakai baju DemokratApa ada pesan "pesan lain, misalnya tuntutan demokrasi dari luar (asing, Red) bahwa itulah yang terbaik," sindir anggota Komisi II DPR, itu.
Saat ini, Sultan memang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan NasdemDalam berbagai kesempatan, ormas yang mengusung jargon restorasi Indonesia itu kerap mengkritik keras pemerintahan SBYAgun menegaskan inti dari keistimewaan Jogjakarta adalah Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur"Boleh dipilih langsung, tapi tanya dulu ke SultanSepanjang sultan bilang ogah ya nggak bisa," tegasnya.
Pengamat otonomi daerah dari LIPI Siti Zuhro berpandangan Sultan dan Paku Alam sebaiknya menjadi simbol budayaDalam konteks itu, Sultan dan Paku Alam ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur JogjakartaNamun, wewenangnya dibatasiPelaksanaan pemerintahan sehari "hari dilakukan oleh semacam perdana menteri yang dipilih secara demokratis.
"Melihat background sejarah, seharusnya kesultanan itu untouchableKalau day to day pemerintahan dilakukan kesultanan, bagaimana kalau ada korupsiSementara kedaulatan Jogjakarta itu ada di tangan Sultan," kata Zuhro.
Dalam konteks Sultan mendapat hak istimewa, lanjut Zuhro, Sultan sseharusnya tidak menjadi partisan partai politikApalagi, berkeinginan menjadi capresKarena itu, membuat posisi Sultan above politics"Sekarang saatnya Sultan untuk memilih," tegasnyaKonsekuensinya akan berbeda bila Sultan memang memilih untuk berpolitik"Sampai jadi presiden pun why not," kata Zuhro.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan draf RUU Keistimewaan Jogjakarta akan segera diserahkan ke DPR dalam bulan Desember iniSehingga, tahun depan bisa dibahas dan segera disahkan DPRDjohermansyah menjelaskan dalam draf tersebut Sultan tetap menjadi nomor satu sebagai simbol budayaTapi, urusan pemerintahan sehari-hari dilakukan kepala pemerintah daerah yang dipilih rakyat secara demokratis"Tidak akan ada dualismeMasing-masing ada porsinya sendiri-sendiri," ujar Djohermansyah.
Dia menyebut dalam model monarki konstitusional itu, Sultan dan Paku Alam menjadi simbolDi tingkat negara umumnya terbukti berhasil, misalnya Inggris, Belanda, Thailand, dan Malaysia"Mereka terhindar dari dirty politics, tidak perlu berpartai, dan kerajaan dibantu pembiayaannya," kata Djohermansyah.
Dalam konteks keistimewaan Jogjakarta, lanjut dia, peluang Sultan menjadi Gubernur tetap dibukaAsalkan Sultan masuk ke kontes pencalonanNamun, Sultan diberi keistimewaan dari aspek persyaratan yang lebih dipermudah"Sultan otomatis bisa menjadi calon, tidak perlu syarat dukungan atau diusung parpol," katanya.
Kalau tidak ada kandidat calon yang berani berkompetisi dalam pilkada, Sultan otomatis ditetapkan DPRD menjadi gubernur"Itu test "nya," ujar DjohermansyahDia menambahkan Sultan juga bisa masuk partai politik"Tidak ada persoalan," tegasnya.
Bagaimana kalau Sultan kalah dalam pilkada? "Berarti memang tidak didukung rakyat JogjakartaTapi, Sultan tetap menjadi parardhya, pengageng, belum kami tentukan namanya," sebut Djohermansyah.
Secara terpisah, Pengamat Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengkritisi sikap Presiden SBY yang mempolitisasi kebijakanDalam konteks keistimewaan Jogja, Presiden memilih untuk terlebih dahulu menyampaikan kebijakannyaHal itu berdampak munculnya berbagai argumen yang memperdebatkan pandangan SBY"Seharusnya Presiden melakukan komunikasi legislasi dulu," kata Irman.
Menurut Irman, sistem ketatanegaraan tidak bisa dibebankan pada satu tanganPresiden, meski menyampaikan kebijakan, tidak bisa menentukan hitam putih kenegaraanPatut diingat, bahwa pembahasan sebuah RUU nantinya berada di tangan DPR."Kalau melihat pembahasan, sebagian besar fraksi masih menginginkan gudeg (Sultan, red) menjadi pemimpin Jogja, bukan salad (pemilihan, red)," ujarnya memberi ilustrasi.
Anggota DPD yang juga Tim Pokja DPD Pembahasan RUU Jogjakarta Denty Eka Widi Pratiwi menambahkan, jika demokrasi dipandang secara fleksibel, seharusnya posisi Sultan Jogja saat ini tidak perlu dipersoalkanJika Sultan mangkat, sudah terdapat tata kelola proses internal keraton yang mengatur suksesi kepemimpinan"Meski suksesi diatur internal, selama ini juga Sultan sebagai gubernur juga bertanggung jawab kepada Presiden," kata Denty.
Menurut Denty, permasalahan kepemimpinan Sultan seharusnya cukup dibahas di ranah legislatifDenty menyayangkan polemik elit ini justru menyebar luas, sehingga menimbulkan keresahan terutama masyarakat Jogja"Masyarakat sekarang dipaksa untuk memikirkan masalah ketatanegaraan, padahal ini ranah legislatif," ujarnya kecewa(pri/bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Massa Kembali Serang Masjid Ahmadiyah
Redaktur : Tim Redaksi