Bung Karno dan Kesunyian di ‘Penjara Kecil’ Itu

Rabu, 01 Juni 2016 – 06:30 WIB
Bung Karno dan Soeharto. Foto: Public Domain

jpnn.com - Rachmawati Soekarnoputri adalah salah satu saksi saat-saat terakhir ayahnya sekaligus Presiden pertama Indonesia, Soekarno menjalani masa hidupnya setelah meninggalkan kejayaan di Istana Negara. Saat itu, Bung Karno, sapaan Soekarno mengatakan ingin menghabiskan waktu di rumahnya di Batu Tulis.

“Bapak menyampaikan itu pada saya saat berada di paviliun Istana Bogor awal 1968, usai makan sate,” kata Rachmawati seperti yang dikutip dari buku ‘Hari-hari Terakhir Bung Karno’ terbitan Vision3.

BACA JUGA: Sebaiknya Anggaran RRI dan TVRI Lepas dari Kemenkominfo

Seminggu kemudian, Bung Karno betul pindah dari ‘karantina’ paviliun Istana Bogor ke peristirahatan di Jalan Batu Tulis yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Rachmawati menggambarkan, karantina yang satu itu memang beda. Indah panoramanya. Terletak di atas dataran tinggi dengan panorama gunung. Di kejauhan bisa melihat sungai. Tapi pemandangan itu ternyata tidak benar-benar bisa menghibur hati sang Proklamator.

“Karena selama itu, Bapak memang tidak diizinkan keluar dari pekarangan gedung. Betul-betul dikarantina penjaga,” imbuh Rachmawati.

BACA JUGA: Komisi II Siap Bawa Revisi UU Pilkada ke Sidang Paripurna

Kondisi kesehatan Bung Karno ternyata memprihatinkan di Batu Tulis. Udara di daerah itu tidak banyak memengaruhi kesehatannya. Justru, menurut Rachmawati, makin parah. Terkena rematik,dan kelumpuhan pada kedua kaki. Rachmawati pun sedih karena media massa justru memberitakan keadaan ayahnya baik-baik saja. Berbeda dengan kenyataannya. Dia lalu berusaha memindahkan Bung Karno ke tempat yang lebih baik untuk kondisinya. Karena rematik, Bung Karno tidak mungkin dirawat di tempat dingin seperti Batu Tulis.

“Saya harus minta langsung pada Jenderal Soeharto yang waktu itu menjadi Pejabat Presiden RI menurut Supersemar. Saya akhirnya mendatangi Jalan Cendana,” imbuhnya.

BACA JUGA: Pensiun Dini PNS di Atas 50 Tahun

Beruntung Soeharto menyetujui permintaan anak ketiga Bung Karno dan Fatmawati itu. Soekarno lalu dipindahkan ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di wisma itu tidak ada perawat atau housekeeper yang merawat Soekarno. Sedihnya. Perawatnya, Ibu Dewi tidak diizinkan penjaga untuk menangani pekerjaan rumah di wisma itu. Paling hanya ada bujang dan seorang pembantu wanita yang tentunya tidak setelaten Bu Dewi.

Hari-hari berikutnya, Bung Karno ditemani secara bergantian oleh keluarga. Rachmawati yang paling banyak bolak balik dari rumahnya di Kebayoran Baru untuk mengantar keperluan ayahnya. Bung Karno tidak tega melihat anaknya demikian. Dia pun menulis surat pada Soeharto. Isinya, meminta orang-orang yang bekerja dengannya bisa didatangkan kembali untuk mengurusi keperluannya. Tapi surat itu bahkan belum sampai ke tangan Soeharto.

“Ada peringatan saat itu, tidak seorang pun anggota keluarga boleh menemani. Sejak saat itu tempat Bapak dijaga ketat, sunyi, sepi sekali. Bisa dibayangkan betapa kesunyian mencekam di gedung besar itu,” keluh perempuan kelahiran 27 September 1950 itu.

Putri mana yang tega membayangkan sang ayah sekarat, sakit dan sendirian di balik gedung sunyi itu. Rachmawati dan keluarga akhirnya harus pasrah bersabar hingga 1969. Saat itu, Bung Karno diperbolehkan lagi bertemu keluarga. Lalu apa yang terlihat saat itu? Keluarga hanya bisa menelan kepahitan melihat kondisi Bung Karno yang tampak tidak terurus dengan baik.

“Mengapa sampai separah itu keadaan Bapak. Saya tidak habis pikir, sedih bercampur gemas waktu itu. Ketika saya menanyakan pada Bapak, hanya berkata itu untuk interogasi,” beber Rachmawati.

Sejak itu kondisi Bung Karno memang tidak lebih. Dia hanya bisa berbaring karena jalan pun sudah tak sanggup. Harus dipapah. Terkadang tidur di atas sofa. Tapi Bung Karno tetap membaca majalah. Kebiasaan itu tidak ditinggalkannya. Salat dilakukannya sambil berbaring. Pemeriksaan kesehatan, kata dia, ala kadarnya saja. Padahal Bung Karno butuh perawatan khusus. Namun, keluarga tetap menyaksikan Bung Karno dengan kegigihan di saat lemahnya itu.

“Kesedihan itu  ditutupi dengan perasaan Bapak adalah seorang pejuang besar hingga kepedihan dan kesedihan ini adalah hanya konsekuensi dari perjuangannya,” tutur Rachmawati. Keluarga dengan segala kondisi yang ada tetap menguatkan sang Bapak Bangsa hingga akhir hayatnya. (flo/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ruhut: Ada Kodok Minta Aku Dipecat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler