jpnn.com - POLITIKUS senior Golkar Sarwono Kusumaatmadja meninggal dunia dalam usia 80 tahun, Jumat (26/5).
Masyarakat politik Indonesia mengenang Sarwono sebagai salah satu politikus garis lurus yang konsisten dengan idealismenya.
BACA JUGA: Jokowi, Memang Sakti atau Bebek Lumpuh?
Sepanjang berkarier di politik, Sarwono membaktikan diri kepada Golkar sampai dua kali menjadi menteri di era Presiden Soeharto.
Namun, pada akhirnya ketika pemerintahan Pak Harto sudah tidak bisa bertahan lagi menghadapi krisis, Sarwono berani menyuarakan tuntutan penguasa Orde Baru itu mengundurkan diri atau dilengserkan.
BACA JUGA: Kaesang dan Politik Dinasti Jokowi
Sarwono meninggal dunia ketika para aktivis politik memperingati 25 tahun perjalanan reformasi. Para pelaku sejarah merefleksikan pandangannya mengenai perjalanan reformasi selama seperempat abad ini.
Banyak yang merefleksikan kekecewaan terhadap arah perjuangan reformasi yang makin melenceng, tetapi banyak juga yang menganggap reformasi masih berada pada rel yang benar.
BACA JUGA: Politik 2 Kaki Ala Aldi Taher
Momen ikonis yang menjadi trade mark Sarwono terjadi ketika dia diwawancarai stasiun televisi SCTV untuk program Liputan 6 Siang pada 17 Mei 1998. Saat itu, Sarwono mengenakan blazer cokelat muda dan polo shirt biru tua, sedangkan di lengan kirinya terlilit pita hitam sebagai tanda berkabung.
Saat dihubungi untuk menjadi narasumber, Sarwono bersedia menghadiri wawancara itu dengan syarat boleh memakai ban hitam di lengan dan SCTV harus berani mengibarkan bendera setengah tiang di halaman studio sebagai simbol berkabung nasional atas tewasnya mahasiswa Trisakti.
Permintaan ini terasa berat bagi SCTV yang notabene televisi swasta yang sahamnya dikuasi oleh keluarga Cendana melalui tangan pengusaha Peter Gontha. SCTV tidak mengibarkan bendera setengah tiang, tetapi Sarwono boleh memakai ban hitam di lengannya.
Saat itu Sarwono baru saja menyelesaikan jabatannya sebagai menteri negara lingkungan hidup. Ia menjadi salah satu menteri yang terkena reshuffle menjelang akhir pemerintahan Presiden Soeharto.
Situasi sudah memuncak karena krisis ekonomi tidak bisa dikendalikan lagi. Demonstrasi mahasiswa makin meluas. Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR RI di Senayan.
Kerusuhan massal terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Pembakaran dan penjarahan terjadi di pusat-pusat perbelanjaan.
Kerusuhan anti-China meledak di Jakarta. Rumah-rumah elite milik warga Tionghoa dibakar, bahkan dikabarkan ada sejumlah perkosaan terhadap perempuan Tionghoa.
Dalam kondisi demikian terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang menyebabkan beberapa orang tewas. Penembakan itu misterius karena pelakunya tidak diketahui dan tidak ada yang mengaku bertanggung jawab.
Para mahasiswa Trisakti itu menjadi tumbal gerakan reformasi sekaligus menjadi ikon puncak gerakan. Presiden Soeharto menghadapi tekanan yang makin kuat dan berusaha bertahan dengan melakukan reshuffle kabinet.
Akan tetapi langkah itu sia-sia karena sejumlah menteri senior yang selama ini menjadi orang-orang kepercayaan Soeharto tidak bersedia masuk ke dalam kabinet.
Dalam kondisi semacam itu, Sarwono muncul mendesak Pak Harto untuk mengundurkan diri. Sarwono tidak secara terbuka menyatakan hal itu, tetapi dia membuat analogi cabut gigi.
Ibarat orang yang sakit gigi parah, reshuffle cuma seperti menambal lubang gigi. Hal itu tidak akan menyembuhkan penyakit.
Satu-satunya jalan ialah dengan mencabut gigi. Gigi lama harus dicabut karena sudah membusuk dan menjadi sumber penyakit yang menjalar ke seluruh tubuh.
Gigi lama harus dicabut supaya tumbuh gigi baru yang sehat dan bisa membuat seluruh tubuh sehat kembali.
Dalam pandangan Sarwono, reshuffle adalah penyelesaian politik, padahal yang dibutuhkan penyelesaian moral. Secara tersirat Sarwono mengatakan bahwa penyelesaian politik tidak lagi mencukupi dan dibutuhkan penyelesaian moral karena pemerintahan Soeharto sudah kehilangan legitimasi moral.
Pernyataan tersebut dianggap terlalu berani dan terlalu keras untuk standar saat itu. Ira Koesno sebagai pewawancara terlihat gelagapan karena tidak menduga Sarwono akan membuat pernyataan selugas itu.
Ira Koesno berkali-kali berusaha mengalihkan topik supaya Sarwono fokus pada masalah reshuffle sekaligus untuk meredam emosinya.
Namun, Sarwono terus-menerus mengelak dan tetap menyuarakan seruannya tentang cabut gigi. Ira Koesno tidak bisa mengendalikan wawancara dan akhirnya memotong sesi wawancara dari semula tiga segmen menjadi dua segmen saja.
Momen cabut gigi itu terbukti menjadi salah satu momen paling ikonis dalam sejarah reformasi. Setelah pernyataan itu makin banyak politisi yang berani mengungkapkan tuntutan agar Soeharto mundur.
Pada akhirnya, Harmoko yang menjadi ketua DPR-MPR saat itu pun ikut menyuarakan tuntutan agar Soeharto mundur. Harmoko menjadi salah satu menteri yang dianggap setia kepada Soeharto.
Ketika Harmoko ikut menyerukan tuntutan itu, Soeharto pun menyadari waktunya sudah habis. Empat hari setelah wawancara Sarwono tentangcabut gigi, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Pada masa itu Sarwono mewakili genre baru politisi sipil Golkar yang mengambil jalan lurus dan sederhana dalam kiprah politiknya. Ia menjadi contoh pejabat yang tidak bergelimang harta.
Di masa senjanya ia hidup sederhana. Kabarnya Sarwono tidak punya rumah pribadi sampai akhir hayatnya.
Sarwono adalah suara moral. Meskipun menjadi bagian dari rezim, Sarwono tetap berani menjadi pelopor untuk menyuarakan tuntutan agar Soeharto mengundurkan diri. Tidak banyak politisi yang hidup konsisten dengan idealisme seperti Sarwono.
Saat ini, ketika bangsa Indonesia memperingati 25 tahun reformasi, muncul banyak refleksi mengenai arah perjuangan reformasi yang sudah melenceng. Tujuan utama reformasi ialah menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN yang menggerogoti tubuh pemerintahan seolah penyakit kanker stadium empat yang sulit disembuhkan.
Penyakit itulah yang sekarang ditengarai tengah kambuh dengan stadium yang lebih buruk. Meminjam analogi Sarwono, saat ini yang diperlukan bukan menambal gigi, tetapi mencabut gigi supaya tumbuh gigi baru yang sehat.
Presiden Jokowi sudah memimpin Indonesia selama 10 tahun dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Sudah saatnya Jokowi lengser keprabon dan madeg pandito menjadi bapak bangsa tanpa harus melibatkan diri dalam proses suksesi.
Cawe-cawe Jokowi dalam suksesi kepresidenan adalah langkah politik yang bisa dicarikan alasan pembenar. Namun, secara moral dan etika langkah itu tidak bisa dibenarkan.
Jokowi bisa kehilangan legitimasi moral dan etika jika memaksa melibatkan diri dalam proses suksesi. Jokowi tentu sudah mempelajari peristiwa reformasi yang membawa kejatuhan Soeharto.
Jokowi tentu tidak ingin terjadi peristiwa cabut gigi part two yang akan menimpa dirinya.(***)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Antara Politikus Mengaku Jujur dan Pelacur Mengaku Perawan
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi