Hari terberat program sepeda di Colorado terjadi Selasa lalu (20/8, Rabu kemarin WIB). Menanjak sampai ketinggian 3.700 meter, lalu terus turun-naik di kisaran 3.000 meter.
AZRUL ANANDA, Aspen
Sekali lagi perlu ditegaskan: Bersepeda di dataran setinggi Aspen dan sekitarnya di Colorado bukanlah bersepeda biasa. Dimulai di ketinggian 2.400 meter, lalu naik hingga 3.700 meter. Udara tipis, oksigen tipis. Apalagi, udara juga sangat kering. Kekuatan kita bisa turun hingga 25"30 persen.
Bahkan, para pembalap kelas dunia pun bisa tersiksa atau berguguran. Itu terlihat jelas dalam ajang USA Pro Challenge 2013, yang berlangsung 19"25 Agustus ini di Colorado.
BACA JUGA: Usai Etape Pertama, Team Sky Jualan Mesin Kopi
Joe Dombrowski, bintang muda Team Sky, harus balapan dengan hidung terus mengucurkan darah di etape pertama, Senin lalu (19/8).
Di etape kedua, Peter Kennaugh, pembalap Team Sky yang lain, harus mundur karena sakit. Mathias Frank, pembalap BMC yang memenangi etape kedua, juga menegaskan betapa sulitnya menaklukkan ketinggian ini. Menurut dia, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan adalah kunci utama sukses di Colorado.
BACA JUGA: Mengajar Demi Pendidikan Anak Indonesia di Malaysia
"Ini bukan cycling normal. Ini sesuatu yang berbeda. Segalanya bisa terjadi di lomba ini," ucap Frank.
Kalau pembalap saja suffering (tersiksa), apalagi kita-kita yang amatir. Apalagi kita-kita yang datang dari negara tropis, yang panas, lembap, dan dari kawasan yang ketinggiannya setara dengan permukaan laut.
BACA JUGA: Gowes Pertama, Jantung Berdebar seperti saat Jatuh Cinta
Setelah beberapa hari di Aspen, sebenarnya kami mulai terbiasa dengan ketinggian ini. Pada hari pertama, 16 Agustus lalu, naik tangga saja sudah ngos-ngosan. Pada hari kedua, bersepeda 50 km rasanya sangat menyiksa.
Hari ketiga, bersepeda 90 km dan mendaki dua tanjakan tinggi di kisaran 3.000 meter membuat kami makin biasa. Hari keempat, kami ambil santai, hanya sekitar 35 km mengikuti sirkuit Aspen"Snowmass yang dijadikan rute etape pertama USA Pro Challenge.
Nah, pada hari keempat, Selasa 20 Agustus, kami dijadwalkan oleh Rapha "penyelenggara tur bersama Team Sky ini" melakukan rute paling menyiksa. Mendaki Independence Pass, yang tingginya mencapai 3.700 meter, dan merupakan titik tertinggi ajang balap sepeda apa pun di dunia.
Setelah itu, kami akan terus bersepeda menuju Breckenridge, sebuah kota wisata keluarga yang sangat indah. Total jarak yang rencananya kami tempuh: 100 mil atau sekitar 160 km.
Sejak awal, mengingat jarak dan tantangan tanjakan yang harus ditempuh, saya pribadi sudah agak pesimistis. Jangan salah, tahun ini saya dan teman-teman sudah berkali-kali ikut event bersepeda yang menempuh jarak lebih dari 200 km dalam sehari. Tapi, baru kali ini harus melakukannya di ketinggian se-ekstrem ini.
Tapi, saya, Sun Hin Tjendra, Cipto S. Kurniawan, dan Prajna Murdaya akan bertekad berusaha menyelesaikannya. Selasa itu, kami harus mulai sangat pagi. Pukul 07.30 sudah harus meninggalkan rumah penginapan di Aspen. Sebab, kami sudah harus sampai puncak Independence Pass sebelum pukul 12 siang. Jam itu, jalan akan ditutup karena para pembalap USA Pro Challenge dijadwalkan melintasinya.
Suhu pagi itu dingin. Sekitar 15 derajat. Jadi, kami mengenakan jersey lengan panjang, lapis jaket angin, leg warmer (ekstensi celana), topi di bawah helm, dan kebutuhan anti-dingin lainnya. Itu juga untuk mengantisipasi suhu yang makin dingin di atas, apalagi kalau hujan sampai turun.
Dari Aspen, sedikit keluar, memang sudah mencapai jalan menuju puncak Independence Pass. Bahkan, tanjakan sudah dimulai sekitar 8 km dari batas kota. Dan tanjakan itu jaraknya lebih dari 22 km. Total dari titik start kami adalah 32 km, dan hampir semuanya menanjak.
Tanjakan bermula langsung relatif berat. Konstan memiliki gradient (kemiringan) 6 persen sampai sekitar tengah tanjakan. Sebenarnya, itu bukan kemiringan ekstrem. Tapi, karena oksigen tipis, rasanya jadi jauh lebih berat.
Untungnya, tanjakan melandai saat menuju puncak. Di kisaran 3"4 persen, sesekali 5"6 persen. Tanjakan baru "menendang" di puncak, ketika kemiringan mencapai 9 persen.
Mengingat panjangnya tanjakan ini, saya dan Wawan (sapaan Cipto S. Kurniawan) memilih untuk menghemat diri sejak awal. Apalagi, setelah Independence Pass, kami masih harus mengayuh pedal lebih dari 100 km.
Saya terus memperhatikan layar Garmin (komputer sepeda), memastikan detak jantung saya tidak melonjak di atas 150 per menit, dan putaran kaki saya di kisaran RPM yang konstan moderate (tidak terlalu cepat untuk menjaga detak jantung).
Sun Hin Tjendra, yang memang dikenal sebagai orang terkuat di komunitas saya di Surabaya, dengan mantap melaju mengikuti bule-bule Rapha mendaki dengan cepat.
Prajna Murdaya perlu diacungi dua jempol. Kaki dan pinggul cedera dan luka karena sempat terjatuh dua hari sebelumnya, dia tetap bertekad menyelesaikan etape hari itu.
Di tengah-tengah tanjakan, saya dan Wawan (kami terus berdua) sempat berhenti untuk foto-foto sekaligus mengisi "bahan bakar". Pagi itu, kami tidak makan banyak, supaya perut tidak berat di tanjakan awal. Triknya adalah ngemil sedikit-sedikit.
Kami diberi sangu rice cake (ketan) berisi cokelat atau yang lain, yang dibungkus kecil-kecil dengan aluminium foil. Makanan itu disiapkan Skratch Labs, yang merupakan supplier makanan para pembalap.
Pemandangan memang luar biasa indah. Perlahan, semakin terlihat puncak perbukitan tinggi di sekeliling semakin gundul. Di ketinggian itu, memang muncul "tree lines". Maksudnya, garis ketinggian di mana pohon tidak bisa lagi tumbuh.
Ada begitu banyak cyclist yang menanjak hari itu. Semua ingin mencapai puncak untuk menonton para pembalap USA Pro Challenge melintas. Suasana sangat meriah. Mereka yang sudah camping di pinggir jalan terus membunyikan lonceng sapi mini, atau meneriakkan ucapan semangat kepada kami. Rasanya seperti ketika menjajal rute Tour de France tahun lalu!
Ketika akhirnya sampai puncak, rasanya bangga luar biasa. Kami mencapai titik tertinggi ajang balapan dunia! Dan karena hemat tenaga sejak awal, kondisi saya tidak "hancur" ketika sampai di puncak itu.
Personel Rapha, yang memiliki trailer kafe di puncak, langsung membantu memarkir sepeda kami dan memberikan supply makanan Burrito vegetarian (supaya tidak berat di perut), juga buatan Skratch Labs.
Saya dan Wawan butuh sekitar 2,5 jam mencapai puncak. Sun Hin sudah jauh lebih cepat. Brad Sauber, manajer tur dari Rapha, menyarankan kami ke arah sebuah papan besar untuk mengabadikan momen itu.
Ada tulisan besar "Independence Pass" dengan ketinggian setara 3.700 meter, plus tulisan "Continental Divide". Ya, titik tertinggi ini merupakan bagian dari garis penanda aliran air. Dari atas, di jalur itu, air akan terpisah. Satu ke arah lautan Pasifik, satu lagi ke Atlantik.
Suasana di puncak pun begitu meriah. Sudah ada banyak fans dengan dandanan seru yang "berpesta" di sana. Bermain-main, saling menggoda, dan lain sebagainya.
Begitu semua peserta program sampai di puncak, kami disarankan langsung melaju menuruni puncak tersebut. Sebab, dalam waktu dekat, para pembalap akan lewat dan jalan ditutup. Menunda perjalanan kami yang masih sangat jauh.
Descent (turunan) tidak kalah dengan menanjaknya. Beberapa switchback (lekukan-lekukan tajam) membuat turunan itu menantang. Apalagi, kecepatan sangat tinggi, dengan mudah lebih dari 60 km/jam.
Sayang, kami tak sempat menyelesaikan seluruh turunan sebelum dihentikan oleh marshall lomba dan polisi pengawal. Di belakang kami, para pembalap sudah siap lewat. Kami pun memarkir sepeda di sisi jalan, dan menunggu para pembalap lewat.
Dan seru sekali. Para pembalap itu melaju begitu cepat! Tidak heran bila mereka mencapai lebih dari 100 km/jam saat turun! Yang lebih seru lagi: Para pembalap Team Sky mengenali kami di sisi jalan (karena memang hanya kami di situ). Christopher Froome, sang juara Tour de France 2013, melambaikan tangannya ke arah kami sambil tersenyum! Kanstantsin Siutsou, rekan setimnya, menunjukkan tanda "metal" ke arah kami.
"Mereka mengenali kalian. Luar biasa," kata Brad Sauber.
Tertolong Chinese Food
Begitu peloton dan rombongan mobil pengiring lewat, kami pun bisa melanjutkan perjalanan. Tujuannya adalah Leadville, sebuah kota kecil, untuk makan siang di sana. Dari Aspen, jaraknya hampir 100 km. Jadi, kami saat itu masih harus menempuh lagi 40-an km.
Melintasi Twin Lakes, kawasan danau indah, kami berhenti untuk foto-foto. Lalu, kami bergantian saling "menarik" di depan, menjaga kecepatan menuju tujuan.
Mercedes Sprinter (van) Rapha yang disopiri Sauber berhenti di beberapa titik, siap memberi kami supply snack dan minuman kalau dibutuhkan.
Kami juga harus beberapa kali berhenti pasang-lepas jaket, karena cahaya matahari (atau tanjakan) bikin kepanasan, sedangkan angin dan hujan (serta turunan) bikin kedinginan.
Suhu sempat di 30-an derajat Celsius, sempat drop juga ke 18-an. Selama bersepeda itu, kami terus berada di kisaran ketinggian 3.000 meter. Sempat turun ke 2.800-an, lalu naik lagi ke atas 3.100 meter. Sun Hin Tjendra mengaku merasakan sekali bedanya.
"Kalau di bawah 3.000, napas lebih enak. Begitu napas berat, saya tahu ini sudah di atas 3.000 meter lagi," katanya.
Akhirnya, kami sampai Leadville. Garmin menunjukkan kami sudah mengayuh sepeda sejauh 94 km. Jadwalnya, kami makan sandwich di sebuah kafe di situ. Tapi, kami melihat ada sebuah Chinese restaurant di sebelahnya. Szechuan Taste namanya. Karena sudah bosan makan roti dan tidak nafsu lagi menu bule, kami memutuskan untuk makan di sana.
Lega rasanya bisa makan nasi goreng, sup wonton, dan menu-menu lain yang familier!
Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Sauber mengingatkan kami untuk kembali jalan. Saat itu, spirit kami masih tinggi. Tetap berniat mencoba menyelesaikan rute.
Prajna, yang cedera, sempat disarankan untuk loading naik mobil. Apalagi, ada peserta lain yang juga memilih naik mobil. Tapi, dia tetap bertekad melanjutkan perjalanan.
Suhu dingin kembali kami rasakan. Hujan gerimis kembali turun, bikin makin dingin. Hanya sekitar 5 kilometer dari Leadville, Sun Hin tiba-tiba bilang akan berhenti dan naik mobil. Dia bilang, kepalanya pusing-pusing (normal di ketinggian ini).
Bahwa "Komandan" kami loading, sempat membuat saya down. Tapi, saya dan Wawan memutuskan untuk terus mengayuh pedal. Sampai 5 kilometer kemudian, giliran saya yang minta berhenti. Badan sudah terasa tidak nyaman. Mungkin, kalau dipaksakan, masih bisa meneruskan. Minimal 20 km lagi. Tapi, saya juga berpikir bahwa aktivitas kami masih banyak dalam beberapa hari ke depan. Kalau dipaksakan sekarang, nanti saya bisa "hancur".
Saya pun berhenti di kilometer 105. Wawan sebenarnya masih kuat, tapi dia ikut loading sebagai bentuk solidaritas. "Tidak akan menyesal kok," ucapnya.
Menurut data komputer, saya sudah mengayuh pedal selama 4 jam 45 menit, kebanyakan menanjak, membakar lebih dari 3.200 kalori.
Hebatnya, Prajna terus berusaha meneruskan rute. Walau dengan kecepatan yang sudah tertatih-tatih. Makin lama, dia makin terlihat nyaman, dan Brad Sauber membiarkannya terus mengayuh sampai puncak tanjakan selanjutnya di Copper Mountain (di kisaran kilometer 120). Baru Prajna diminta naik mobil, karena kami harus segera sampai di Breckenridge sebelum terlalu malam.
Tapi, apa yang dilakukan Prajna itu layak diacungi jempol. Secara kemampuan, dia tidak sekuat yang lain, tapi mentalnya paling kuat tidak mau menyerah. "Hari ini juaranya Prajna," puji Sun Hin.
Kami pun sampai di Breckenridge. Sebuah kota yang tampak meriah karena menyambut datangnya USA Pro Challenge. Ada pesta jalanan, konser, dan lain sebagainya.
Malamnya, kami makan malam bareng peserta lain dan kru Rapha. Karena itu dinner bareng terakhir, Rapha memberikan award untuk beberapa peserta. Prajna mendapatkan topi merah limited edition (tidak dijual) bertema Lanterne Rouge. Tanda keberanian dan kekuatan mental, yang di Tour de France biasanya diberikan kepada pembalap yang finis terakhir (tidak menyerah walau terakhir).
Sun Hin juga dapat penghargaan sebagai orang yang bikin Paul Whiting paling kagum. Whiting, seorang pro masseuse (tukang pijat atlet kelas dunia) yang setiap hari merawat kami, menyatakan kagum atas kekuatan otot Sun Hin. Dia menyebut "Komandan" kami itu dengan julukan "Popeye"!
Rabu (21/8) adalah hari terakhir kami bersepeda. Masih ada tanjakan menantang, dengan jarak lebih dari 70 km. (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Adelana, si Gadis Pemalu itu Ingin jadi Polisi
Redaktur : Tim Redaksi