jpnn.com - SEHAT itu mahal. Istilah itu begitu populer di masyarakat. Namun sekarang, ada tambahan satu istilah lagi yakni mau sembuh harus sabar. Kalimat ini sering didengar saat berada di puskesms ataupun rumah sakit, tempat layanan BPJS.
Mesya Mohammad – Jakarta
BACA JUGA: Mengenal Pegiat Film Indie Berlatar Sejarah Ternate
AZAN Subuh belum berkumandang, namun Rosita, 38, sudah beranjak meninggalkan rumahnya. Jam di rumah kontrakannya saat itu baru menunjukkan pukul 04.00. Rosita terburu-buru pergi seakan-akan ada yang dikejarnya.
Tidak sampai 15 menit, Rosita sudah sampai di RSUD Depok. Rupanya Rosita mau berobat dan ini bukan kali pertamanya. Karena ini kunjungannya yang keempat, perempuan berkulit hitam ini tidak banyak tanya dan langsung menuju loket pertama, tempat pengambilan nomor antrian.
BACA JUGA: Bangun Masjid Bambu di Malaysia, Nama Jajang Langsung Moncer
Begitu dipencet, keluar kertas nomor empat. Mukanya tidak terlalu ceria, karena dia berpikir akan mendapatkan nomor urut satu.
"Ini tadi saya pilih pagi sebelum Subuh karena ingin cari nomor mudah. Eh, nggak tahunya dapat nomor empat, berarti ada yang datang lebih pagi dari saya," ujar Rosita kepada JPNN, Senin (15/8).
BACA JUGA: Kisah Penjaja Kue Keliling, Menyesal tak Bisa Dampingi Anak Wisuda
Di tangannya terlihat tas berukuran agak besar. Rupanya di tas itu ada bekal yang ditata dalam rantang alumunium. Di dalam tas itu juga lengkap dengan berkas-berkas BPJS. Ada juga bantal kecil yang sengaja dibawanya.
"Ini untuk dipakai tidur. Kan pelayanannya nanti jam 7 pagi. Daripada pulang nanggung ongkosnya sudah bisa dibelikan jajan anak-anak," ujarnya tertawa cekikikan.
Rosita mengaku, sembari menunggu loket pelayanan dibuka, dia tiduran di ruang tunggu pasien. Rosita yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh cuci ini tidak perduli, karena rumah sakit masih sepi jam segitu.
Dia menuturkan, sudah lama menderita penyakit kekurangan sel darah putih. Namun, perempuan yang mengaku punya kakak bekerja di salah satu stasiun televisi swasta ini tidak mau berobat lantaran tidak mempunyai kartu BPJS. Alhasil bertahun-tahun dia menahan rasa sakitnya.
Baru setelah dia mendapatkan BPJS gratis, ibu dua putra ini pun rutin berobat. Terhitung sudah empat kali dia berobat. Selama menggunakan kartu BPJS, Rosita mengaku enjoy-enjoy saja.
Meski antrinya lama dan seharian, perempuan berhijab ini selalu senyum dan bahkan memberi semangat ke pasien lainnya.
"Mau sehat kan? Ya sabar. Kan gratis juga, nggak bayar kan? Yang penting sehat," ujarnya kepada beberapa pasien di sampingnya.
Rosita menunjukkan nomor urutnya. Katanya, meski dapat nomor relative awal, tetap pulang sore. Lantaran banyak loket yang harus dilintasi. Baginya, pindah loket sana-sini hal biasa.
"Cuma pindah-pindah loket tidak masalah. Tiap loket harus antri, tidak masalah juga. Yang penting saya sehat saja. Sekarang saya sudah kelihatan sehat kan, karena saya sabar. Sabar antri paling utama," ucapnya.
Penuturan serupa diungkapkan Mpok Ning, 58. Ibu empat anak ini mengaku pengguna BPJS yang setia. Namun dia tidak menggunakan BPJS gratis. Padahal suami Mpok Ning tidak punya pekerjaan tetap.
"Suami saya pengangguran, tapi saya nggak dapat BPJS gratis. Saya bayar BPJS kelas tiga untuk enam orang per bulan," ujar Mpok Ning.
Dia mengaku sudah menggunakan fasilitas BPJS untuk operasi mata dan sakit lainnya. Baginya antri di setiap loket hal biasa lantaran pengguna kartu BPJS sangat banyak.
Dari sisi pelayanan dokter, baik Rosita maupun Mpok Ning menilai sangat baik. Kendati dari pengamatan JPNN, setiap pasien hanya diperiksa tidak sampai lima menit. Begitu datang, ditanya sakit apa dan langsung dikasi resep.
Rosita dan Mpok Ning memang belum pernah ke dokter umum apalagi spesialis di rumah sakit besar. Sehingga keduanya mengganggap layanan yang diberikan dokter sangat baik. Meski cara dokter memeriksa dalam posisi duduk, bagi mereka itu hal wajar.
"Baik-baik saja tuh, buktinya kami sembuh. Kalau harus tiduran mah lama nunggunya," celetuk Mpok Ning.
Berbeda dengan pendapat Abdullah Kadir, Karyawan di salah satu perusahaan swasta ini mengaku kurang puas. Karena standar pemeriksaannya tidak terpenuhi. Pasien hanya diberikan waktu konsultasi lima menit.
"Bagaimana bisa deteksinya bagus kalau cuma kop sana-kop sini, tekan perut kanan perut kiri dalam posisi duduk lagi. Untungnya saya tinggal berobat lanjutan, jadi dokternya tingga lihat hasil pemeriksaan laboratorium dari rumah sakit sebelumnya," tutur Abdullah yang tiap bulan membayar iuran BPJS kelas satu.
Sementara Dewi Fatimah, staf RSUD Depok mengatakan, pemeriksaan berlangsung cepat karena pasiennya bejibun. Seharusnya standar jam kerja dokter hanya dua sampai tiga jam. Namun di RSUD, seorang dokter bisa bekerja seharian.
"Jadi bukan cuma pasien yang menunggu seharian, dokter juga. Mulai jam sembilan sampai habis pasiennya. Kalau pasiennya banyak bisa sampai sore loh. Intinya di sini, pasien dan dokter harus sama-sama sabarlah," tandasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumur Tua Peninggalan Portugis Masih Mengalirkan Sumber Kehidupan
Redaktur : Tim Redaksi