Kaylee dengan senyum lebar berdiri di antara gambar bintang bola basket Michael Jordan dan Kobe Bryant. Padahal sebelumnya ia menderita apa yang disebut "fobia sekolah".

"Tidak seorang pun yang memahami seperti apa mengalaminya berlarut-larut," katanya.

BACA JUGA: Di Tengah Meningkatnya Biaya Hidup di Australia, Program Bertukar Pakaian Semakin Populer

"Jumlah kehadiran saya di sekolah rendah sekali, sekitar 30 persen. Ini membuat saya merasa kesepian."

Namun sekarang, di sekolahnya yang baru, pelajar berusia 17 tahun tersebut menjadi rajin datang ke kelas.

BACA JUGA: Australia Bikin UU Baru demi Jegal Upaya Rusia Bangun Kantor Kedubes

"Kehadiran saya sekitar 80-90 persen," katanya.

"Saya ingin masuk sekolah di sana."

BACA JUGA: Polisi Hentikan Kasus Penganiayaan WN Australia kepada Warga Indonesia

Kaylee sedang mencoba Hester Hornbook Academy di Melbourne, sebuah sekolah yang dikhususkan bagi murid-murid yang sebelumnya menolak atau tidak bersedia pergi ke sekolah tradisional.

"Murid-murid di sini adalah mereka yang sebelumnya tidak cocok di sekolah biasa, yang memiliki pola sekolah tradisional," kata  Sally Lasslett, kepala sekolah.

"Kami sudah berubah dari sekolah yang tadinya hanya 90 murid datang ke sekolah, menjadi 450 orang di tahun 2019 dan jumlah yang ada dalam daftar tunggu semakin meningkat."Jumlah fobia sekolah meningkat

Jumlah murid yang mengalami "fobia sekolah" di Australia semakin meningkat, bahkan menjadi masalah nasional.

Mereka yang disebut mengalami fobia terjadi di hampir semua jenis sekolah yang ada, baik di sekolah negeri, swasta, maupun sekolah berlatar belakang agama.

Sampai Parlemen Australia membentuk sebuah komite khusus untuk menyelidikinya di tahun 2022 karena begitu seriusnya masalah ini.

Menurut salah seorang guru di Hester Hornbrook , Milton Henriquez, masalahnya bukan sekadar anak-anak tidak suka dengan sekolah.

"Bagi masing-masing murid, masalahnya berbeda-beda," katanya.

"Ada murid di sekolah yang sebelumnya tidak pernah keluar kamar selama berbulan-bulan."

"Ada yang hanya pernah sekolah selama dua hari dalam setahun. Satu mengalami masalah perilaku yang ekstrim dan yang lainnya tidak cocok dengan pola sekolah tradisional."

Sally mengatakan sekolahnya memiliki formula yang tepat untuk membuat para murid tersebut betah belajar.

"Lebih dari 76 persen murid kami yang selesai di tahun 2022 kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi, kerja atau magang," katanya.Rasa cemas salah satu penyebab

Menurut direktur program pendidikan Grattan Institute Jordana Hunter, pandemi COVID-19 memperbesar berbagai masalah yang sudah ada sebelumnya dalam sistem pendidikan, juga di komunitas dan dalam kehidupan sehari-hari.

"Banyak terjadi gangguan dalam kehidupan kita, khususnya di negara bagian Victoria dan New South Wales yang mengalami lockdown paling lama," katanya.

"Salah satu masalah utama yang ada adalah murid-murid  tertinggal dalam pelajaran sekolah, terutama di bidang pelajaran matematika dan bahasa. Murid-murid menyadari hal tersebut."

"Ketika mereka tertinggal, mereka akan merasa tidak lagi menjadi bagian dari sekolah dan merasa sendirian."

Itulah yang dialami oleh Kaylee. 

"Saya memiliki autisme [ADHD] dan saya perlu konsentrasi besar untuk belajar di kelas dan saya sangat mengalami kesusahan," katanya.

"Saya punya banyak teman, mereka tidak mengalami masalah. Nilai mereka bagus dan bisa menyelesaikan tugas segera dan tidak memerlukan banyak bantuan."

"Saya merasa banyak orang tidak mengerti keadaan saya dan masalah ini makin menumpuk dari bulan ke bulan."

Sam sering masuk di sekolah yang lama, tapi ia tidak suka dengan keadaan yang membuatnya tertekan.

"Banyak sekali rasa cemas di sekolah," katanya.

"Terlalu banyak pekerjaan sekolah yang harus dilakukan, belum lagi masalah pribadi."

"Saya harus bangun pagi karena saya tidak mau dihukum, juga tidak mau dikritik guru dan teman-teman lain."

"Di sini [Hester Hornbrook] semuanya bagus, rasanya seperti mereka menerima kehadiran saya."Gunting rambut, makan siang dan bantuan hukum

Hester Hornbrook Academy adalah sekolah independen yang tidak berbayar digagas oleh gereja Melbourne City Mission, dengan dana dari pemerintah dan sumbangan lainnya.

Fokusnya adalah menghilangkan semua potensi yang menghalangi anak-anak masuk sekolah.

Makanan panas dimasak di sekolah oleh koki untuk makan pagi dan makan siang, sorenya tersedia makanan yang bisa dibawa pulang oleh siswa yang memerlukan.

Transportasi publik juga dibayar sekolah, selain ada juga ada pengacara di kampus untuk membantu siswa yang memerlukan bantuan hukum.

Kelas untuk orang tua muda juga tersedia, sehingga murid-murid yang sudah memiliki bayi berusia 18 bulan ke bawah bisa membawanya ke sekolah.

Lalu ada juga fasilitas gunting rambut gratis di sekolah.

"Kami semaksimal mungkin mengatasi masalah yang ada," kata Sally.

"Bila ada murid yang tidak bisa datang ke sekolah karena masalah gigi, kami akan menyelesaikannya sehingga mereka bisa belajar."

Hal yang paling membuat bangga Sally adalah perbandingan antara jumlah guru dan murid.

Rata-rata satu guru di Australia mengajar 13,1 murid.

Tapi di sekolah ini jumlah murid dalam satu kelas dibatasi 22 orang dan setiap kelas memiliki tiga orang pengajar.

"Ini resep rahasia kami," katanya.

"Setiap murid berbeda. Keperluan setiap murid juga berbeda."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenko Perekonomian Dukung Australia untuk Keanggotaan Financial Action Task Force

Berita Terkait