Catat Cerita Para Eksil yang Ingin Mati di Tanah Kelahiran

Ari Junaedi, Raih Doktor berkat Teliti Pelarian Politik Tragedi 1965

Sabtu, 07 Agustus 2010 – 08:08 WIB
KORBAN 1965: Ari Junaedi (kanan) bersama keluarga Imam Soedjono di Biljmer, Belanda pada pertengahan 2007. Imam adalah seorang tokoh pelarian politik (eksil). Foto : Dokuken Pribadi for Jawa Pos

Para pelarian politik (eksil) tragedi G 30 S PKI 1965 menarik untuk ditelitiItulah yang dilakukan Ari Junaedi, dosen FISIP UI, untuk meraih gelar doktor

BACA JUGA: Asyiknya Menikmati Program Wisata Homestay di Kampung Malaysia

Dia berkeliling dunia untuk memburu jejak "orang-orang tidak berdosa" tersebut.
 
 
PRIYO HANDOKO, Jakarta
 
 
MANTAN staf khusus Presiden Megawati Soekarnoputri, Ari Junaedi, Selasa lalu (3/8) sukses meraih gelar doktor ilmu komunikasi di FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
Menariknya, gelar itu diraih dengan tidak mudah karena dia harus mencari sumber-sumber penelitiannya yang tersebar di berbagai belahan dunia.
 
Ya, disertasi Ari memang secara khusus menguliti para pelarian politik (eksil) tragedi G 30 S PKI 1965

BACA JUGA: Mencairkan Pasang Surut Diplomasi dengan Budaya

Disertasi itu diberi judul Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik Tragedi 1965 di Swedia, Perancis, Jerman, dan Belanda
Berkat kegigihan serta kerja keras, dosen FISIP UI tersebut meraih predikat cum laude.
 
Ari menyatakan tertarik meneliti kiprah eksil karena pertimbangan kemanusiaan

BACA JUGA: Anny R. Goeltom, Pemenang Gugatan Kasus Mobil Hilang di Parkiran

"Saya merasa, banyak ketidakadilan yang dituduhkan kepada orang-orang yang distigma PKI," katanya saat ditemui di rumahnya sehari setelah ujian disertasi
 
Ide untuk meneliti para eksil tersebut sebenarnya muncul saat Ari masih kuliah di Universitas IndonesiaDia kuliah di dua fakultas sekaligusYakni, Jurusan Kimia FMIPA (1986?1990) dan Hukum Kekhususan Ekonomi FH (1988?1994)"Sejak mahasiswa, saya tertarik mencari referensi tentang eksil," ungkapnya
 
Dia semakin intens bergaul dengan orang-orang yang dituduh PKI saat terjun ke persAri pernah terlibat di Pusat Data dan Analisis Majalah Tempo (1994), redaktur majalah Sinar (1995), reporter "Derap Hukum" Liputan 6 SCTV (1995), asisten produser Fokus-Indosiar (1996?2001), dan asistant manager gathering Program Berita Lativi (2002?2004).
 
"Dari berbagai liputan, wawasan saya semakin terbuka atas berbagai ketidakadilan yang diciptakan penguasa pemerintah kita terhadap para eksil," katanya"Karena itu, begitu masuk program doktor, saya terobsesi untuk menulis disertasi soal eksil tersebut," terang pria kelahiran Malang, 19 November 1967, itu.
 
Berdasar studi yang dilakukan Ari, para pelarian politik tragedi 1965 berasal dari beberapa golonganAda diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri
 
Pada umumnya "sesuai angin politik saat itu" mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT)"Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke tanah air," jelas anggota dewan redaksi tabloid Suluh Perjuangan PDIP ituPadahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI.
 
Dalam usaha untuk bertahan hidup, para eksil menyebar ke berbagai negara EropaDi antaranya, Prancis, Jerman, Swedia, dan BelandaDi negara-negara itulah Ari harus mencari para eskil
 
Dia menjelaskan, karena tidak bisa kembali ke tanah air, para eksil berusaha agar bisa diterima di negara jujukan, menetap, dan bisa bekerja meski ilegalAda juga yang terpaksa memanipulasi identitas dengan identitas palsu untuk survive.
 
Mereka juga terpaksa menjalani pekerjaan kasar meski berpendidikan tinggiAri mencontohkan, ada seorang PhD ilmu sejarah di Lomonosov University, Moskow, yang terpaksa menjadi sopir perusahaan pengiriman barang saat hijrah ke Belanda pada 1980"Banyak kisah pedih mereka yang saya catat," tuturnya.
 
Yang membuat Ari trenyuh, meski sudah puluhan tahun terasing di negeri orang, rasa kebangsaan (Indonesia) para eksil tersebut hingga kini belum lunturWalaupun sudah menjadi orang Belanda atau Jerman, beristri wanita Rusia atau beranak cucu campuran, jiwa raga mereka masih Indonesia"Bahkan, mereka bercita-cita, bila memungkinkan, saat mati nanti dikubur di tanah kelahiran, Indonesia," papar Ari"Kerinduan mereka terhadap kampung halaman di Solo, Jogja, Bengkulu, atau Padang tidak pernah hilang," tambahnya.
 
Dia mencontohkan mantan Duta Besar Indonesia untuk Rumania Sukresno yang hingga akhir hayatnya menetap dan meninggal di Belanda pada 1990Juga, mantan Duta Besar Indonesia untuk Sri Lanka Muhammad Ali Chanafiah yang wafat di Stockholm, Swedia, 2006Dua eksil itu sampai akhir hayatnya memendam keinginan besar untuk bisa "pulang" di tanah kelahirannya
 
Menurut Ari, para eksil tragedi 1965 generasi pertama yang masih hidup saat ini memasuki usia 68 hingga 78 tahunBanyak yang sampai akhir hayatnya masih hidup amat sederhana dan sendirian tanpa keluargaNamun, ada juga yang sukses seperti Bambang Soeharto, satu-satunya orang non-Jerman yang berhasil menduduki posisi direktur di Deutche Welle TV, TV pemerintah Jerman.
 
Bambang adalah lulusan jurusan broadcasting di Praha, CekoslovakiaKepergiannya ke Cekoslovakia semula hanya meneruskan cita-cita untuk berkarir di bidang pertelevisianTapi, ternyata karirnya amat bagus, sehingga mampu meraih posisi puncak di TV nasional Jerman.
 
Saat ini, Bambang menghabiskan sisa umurnya di sebuah rumah besar di kawasan elite Lohmar, sebuah pedesaaan yang terletak kira-kira 35 kilometer dari Bonn, bekas ibu kota Jerman BaratBambang beristri wanita MinangMereka berjodoh ketika bertemu di Jerman BaratIstri Bambang bukan eksilDia ke Jerman karena bekerja di Bandara Koeln"Berkat perkawinannya dengan perempuan Minang itu, kini hampir setiap tahun Bambang bisa menjenguk tanah airnya," jelasnya.
 
Atas "prestasi"-nya tersebut, Bambang hampir bisa kembali ke IndonesiaItu terjadi saat Presiden Megawati meminta Bambang pulang dan menjabat direktur TVRINamun, sayang, keinginan Mega itu mentah di tengah jalanPengangkatan Bambang terganjal di kantor Menko Polkam yang waktu itu dijabat Soesilo Bambang Yudhoyono"Bambang mengira kegagalannya pulang ke tanah air karena statusnya yang dianggap pelarian politik tragedi 1965," kata Ari.
 
Ada juga Tom Ilyas, mantan jajaran eksekutif di perusahaan otomotif Swedia yang memproduksi kendaraan angkut berat, ScaniaTom merupakan mahasiswa ikatan dinas Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang dikirim tugas belajar ke Peking Institute of Agricultural Mechanization pada 1960 hingga lulus 1965.
 
Saat ini, Tom memiliki rumah asri nan besar di kawasan Nordtalijje, Stockholm, Swedia"Rumahnya yang beratap merah terletak di pinggir danau dan membelakangi bukit pinus," tutur Ari.
 
Istri tercintanya wafat akhir 2007 setelah terbaring karena stroke selama beberapa tahunTom memiliki dua anak dan tiga cucu yang menetap di SwediaBambang Soeharto dan Tom Ilyas adalah dua di antara 27 eksil yang menjadi subjek penelitian disertasi AriMeski, dalam prosesnya, dia memilih fokus kepada 13 eksil saja, termasuk Bambang dan Tom.
 
Menurut Ari, pengumpulan data penelitiannya berjalan dalam waktu relatif panjangBahkan, dia memulainya sejak menjadi staf khusus Megawati yang masih menjabat WapresSaat mendampingi putri Bung Karno itu berkeliling ke berbagai negara, seperti Korea Utara, RRT, atau Eropa, Ari sering mencuri waktu untuk mencari informasi para eksil di negara tersebut"Kadang banyak orang KBRI yang menutupi keberadaan mereka," ungkapnya.
 
Penelusuran lebih intens terhadap para eksil dilakukan Ari pada 2007Dengan biaya sendiri, dia pun rajin mendatangi Tiongkok, Swedia, Prancis, Jerman, dan BelandaDi negara-negara itulah Ari meneliti para eksil"Saya agak lupa, mungkin 12?15 kali ke negara-negara itu untuk menelusuri eksilTiongkok paling banyak," ujar Ari yang menghabiskan ongkos hampir Rp 1 miliar untuk penelitian tersebut"Dari tabungan sekitar Rp 500 juta, ditambah bantuan dari teman-teman," jawabnya lantas tersenyum.
 
Mengapa mau mengeluarkan uang sebanyak itu dan apakah tidak takut ikut distigma prokomunis" "Saya ini anak tentara yang klir dari tragedi 1965Saya sendiri lahir pasca-1965Saya hanya gelisah bangsa kita tidak pernah menyelesaikan pekerjaan rumahMulai 1965, 27 Juli (Kudatuli, Red), maupun pelanggaran HAM 1998Kalau kita terbiasa menumpuk masalah, bangsa ini tidak akan pernah maju," tegas Ari dengan ekspresi wajah yang sangat serius.
 
Berdasar penelitiannya, hingga kini tersebar lebih dari 1.500 eksil di berbagai negaraAri berharap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau menuntaskan status politik para eksil tragedi 1965 yang selama ini distigma pembangkang atau dissident dan dihapus kewarganegaraannya tersebut.
 
Dengan niat tulus semangat rekonsiliasi dan kemanusiaan, dia menyarankan agar pemerintah menghapus stigma komunis dan memberikan kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru bagi para eksil tragedi 1965 bersama keluarganya"Kita telanjur membuang sebuah generasi terdidik karena kebijakan pemerintah masa lalu," sesal Ari(*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Filsafat Hujan dalam Promosi Pariwisata


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler