Catatan Ketua MPR RI: Urgensi PPHN versus Hoaks Amendemen

Rabu, 20 Oktober 2021 – 21:51 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - Menjadi destruktif ketika membenturkan urgensi Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN) dengan isu-isu politik praktis.

PPHN sebagai visi negara-bangsa memastikan terwujudnya pemerataan pembangunan berkelanjutan, yang proses perencanaannya melibatkan dan menyerap aspirasi semua elemen bangsa.

BACA JUGA: Irwan Soroti Pembebasan Lahan Menuju Jembatan Penghubung Balikpapan - IKN

Maka, patut untuk dilihat sebagai proses pembodohan jika upaya menghadirkan PPHN dibenturkan atau ditangkal dengan isu-isu politik praktis, seperti perubahan periodisasi jabatan presiden menjadi tiga kali atau merubah sistem pemilihan presiden.

PPHN menjadi kebutuhan negara-bangsa yang bersifat mendesak. Dia diperlukan untuk menanggapi perubahan zaman yang terasa begitu cepat.

Beberapa negara-bangsa yang saat ini demikian kompetitif, seperti Tiongkok atau Korea Selatan, bisa mencapai posisi itu karena kedua negara itu menjaga konsistensi pembangunan mereka dengan cetak biru rencana pembangunan jangka panjang plus program-program berkelanjutan.

BACA JUGA: Selain Tangkap Direktur TV Lokal, Polisi Juga Amankan 2 Orang Terkait Penyebaran Hoaks

Dalam konteks Indonesia terkini, PPHN harus dihadirkan untuk menghantarkan sekaligus memampukan generasi anak-cucu menanggapi tantangan negara-bangsa di masa depan.

PPHN sejatinya menetapkan cita-cita, target dan program-program pembangunan negara-bangsa untuk jangka waktu puluhan tahun ke depan.

BACA JUGA: Gus Udin: Banyak Ulama Termakan Hoaks Mengenai Vaksin Covid-19

Cita-cita, target dan program-program pembangunan negara-bangsa itu harus lahir dari kesepakatan semua elemen bangsa.

Oleh karena itu, rumusan PPHN harus bisa menyerap aspirasi semua elemen masyarakat di seantero nusantara, tanpa terkecuali.

Demi terjaganya konsistensi program pembangunan jangka panjang yang harus berkelanjutan itu, PPHN tak cukup hanya dipayungi kesepakatan politik pembangunan.

PPHN, mau tak mau, harus dipayungi oleh konstitusi agar presiden, gubernur, bupati hingga wali kota taat dan konsisten melaksanakan PPHN dan secara berkelanjutan terus merealisasikan program-program pembangunan yang cetak birunya sudah ditetapkan dalam PPHN.

Berpijak pada semangat seperti itulah dimunculkan inisiatif untuk melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945.

Inisiatif ini tidak tiba-tiba, tetapi sudah mengemuka di ruang publik sejak direkomendasikan MPR RI periode 2009-2014 dan ditindaklanjuti MPR RI periode 2014-2019.

Ditetapkan terbatas karena amendemen hanya menargetkan adanya PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan, agar negara-bangsa ini tidak terus menerus berganti haluan manakala terjadi pergantian kepemimpinan dari tingkat pusat hingga daerah.

Namun, sangat memprihatinkan karena sebagian orang justru ‘memelintir dan menggoreng’ serta membenturkan urgensi PPHN itu dengan isu-isu yang berkaitan dengan politik praktis.

Baru-baru ini, ada publikasi atas hasil survei yang menyebutkan mayoritas responden menolak amendemen UUD 1945.

Hanya menanyakan setuju-tidak setuju jika UUD 1945 diamendemen, tetapi tidak mengedepankan tujuan dari amendemen UUD 1945.

Jika dimunculkan argumen bahwa amendemen bertujuan menghadirkan PPHN untuk menjaga konsistensi pembangunan dan mewujudkan pemerataan, hasilnya pasti beda.

Hasil survei lain bertajuk ‘Sikap Publik Nasional terhadap amendemen UUD 1945' yang juga dipublikasikan belum lama ini memberi gambaran bahwa mayoritas warga atau 82,1 persen responden menilai presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat karena presiden dipilih oleh rakyat.

Mayoritas warga dan elit kurang atau tidak setuju dengan pendapat yang mengusulkan pemilihan presiden dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Menggunakan bahasa gaul orang muda masa kini, survei ini layak disebut ‘nggak nyambung’ dengan wacana amendemen terbatas UUD 1945 yang berproses di MPR RI.

Sudah berulangkali MPR RI periode sekarang menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN.

Tidak pernah sekali pun FGD yang diselenggarakan MPR RI membahas atau menargetkan perubahan sistem pemilihan presiden.

Sebaliknya, MPR RI bahkan sudah berulangkali menegaskan bahwa pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat bersifat final.

Jadi, sangat bijaksana jika wacana amendemen terbatas untuk melahirkan PPHN itu tidak ‘dipelintir’ menjadi hoaks.

Sangat penting dan strategis mendorong semua elemen masyarakat memahami urgensi PPHN.

Dalam konteks ini, cukup relevan mengaitkan hakekat wacana PPHN dengan suasana kebatinan masyarakat di banyak daerah yang mengapresiasi kesungguhan pemerintah mewujudkan pemerataan pembangunan era sekarang ini.

Dari apresiasi itu, mulai muncul pertanyaan masyarakat; apakah semangat pemerataan pembangunan sekarang akan bisa berlanjut jika pemerintahan sekarang sampai pada akhir masa bhaktinya di tahun 2024 nanti?

Tidak ada yang bisa memberi jawaban pasti, karena upaya pemerataan pembangunan sekarang belum ditetapkan dalam PPHN, melainkan buah dari visi-misi Presiden Joko Widodo.

Apa yang akan terjadi nanti setelah Presiden Jokowi mengakhir masa bhaktinya, belum ada yang tahu.

Selain realisasi infrastruktur di berbagai daerah, ada program atau proyek yang penyelesaiannya butuh konsistensi dan kerja berkelanjutan.

Sebutlah penyelesaian program pembangunan ibu kota negara (IKN) yang baru di Penajam Paser Utara, Kalimatan Timur.

Dari rancangan rencana induk-nya, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan penyelesaian pembangunan IKN butuh waktu tak kurang dari 20 tahun.

IKN di Penajam pasti terwujud jika program pembangunan ini ditetapkan dalam PPHN.

Selain proyek IKN, negara sudah berketetapan untuk memulai hilirisasi industri guna memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam (SDM).

Hilirisasi sudah dimulai ketika Presiden Jokowi berkeputusan menghentikan ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah atau raw material.

Akan diproses di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah lebih besar, nikel akan diolah menjadi katoda baterai, stainless steel atau litium baterai untuk selanjutnya diintegrasikan dengan industri otomotif.

Untuk tujuan strategis seperti itulah direalisasikan proyek fasilitas pengolahan hasil tambang (smelter) milik PT Freeport Indonesia, di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dari pada sekadar diekspor dalam bentuk bahan mentah, pengolahan nikel akan membuka kesempatan bagi Indonesia mengembangkan industri mobil listrik, yang pada gilirannya akan menyumbangkan pendapatan dalam negeri yang jauh lebih besar.

Strategi yang nyaris sama akan diterapkan untuk komoditas lain, seperti bauksit atau biji aluminium hingga sawit.

Pemerintah akan mendorong BUMN dan investor swasta untuk mendirikan industrinya di dalam negeri.

Apakah hilirisasi industri untuk memaksimalkan pemanfaatan SDA akan berlanjut setelah Presiden Jokowi mengakhiri masa bhaktinya?

Tidak mudah menjawab pertanyaan seperti ini. Namun, strategi hilirisasi industri yang sudah dimulai sekarang akan berantakan jika pemimpin baru pengganti Jokowi gampang berubah sikap karena lobi-lobi pihak asing.

Agar pembangunan IKN bisa diselesaikan, program ini harus ditetapkan dalam PPHN.

Dan, agar hilirisasi industri untuk memaksimalkan pemanfaatan SDA terlaksana dengan konsisten sehingga targetnya tercapai, hilirisasi industri itu harus pula ditetapkan dalam PPHN.

PPHN yang dipayungi konstitusi mewajibkan presiden, gubernur, bupati hingga walikota untuk melanjutkan semua program pembangunan yang telah ditetapkan dalam PPHN.

Jadi, PPHN tidak berfokus pada politik praktis atau kekuasaan, melainkan lebih pada pemerataan pembangunan negara-bangsa yang berkelanjutan, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (***)

*) Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Universitas Terbuka

BACA ARTIKEL LAINNYA... AJI Kecam Tindakan Polisi yang Mudah Mengecap Hoaks Produk Jurnalistik


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MPR RI   Amendemen   Amendemen UUD 1945   hoaks   PPHN   IKN  

Terpopuler