Cerai Cukup Persetujuan Keluarga

Senin, 05 Desember 2011 – 08:42 WIB
Suasana sidang isbat nikah 31 Oktober 2011 lalu. Foto: DHIMAS GINANJAR/ JAWA POS

LEBIH dari 600 warga Desa Setu Patok, Cirebon, memilih nikah siri lantaran sudah menjadi kebiasaan turun-menurun.  Kini muncul persoalan garis keturunan.
  
Pernikahannya sudah berlangsung 17 tahun silamTetapi, Madrais, 48, masih ingat betul dia hanya butuh uang Rp 10 ribu untuk bisa  "resmi" menjadi suami Saniah, 36

BACA JUGA: Kepala Sekolah Pemulung ke Motivator Mahasiswa

"Caranya sama seperti orang tua saya menikah," kenang warga Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, itu


Yang dimaksud sama oleh Madrais adalah dia menikah tanpa mencatatkannya ke kantor urusan agama (KUA)

BACA JUGA: Ketua Baru KPK Abraham Samad di Mata Keluarga

Karena itulah, resmi di atas mesti diberi tanda kutip
Sebab, pernikahan yang sudah bertahan selama 20 tahun itu tidak dilengkapi dokumen sama sekali.   

Namun, Madrais dan orang tuanya sama sekali bukan fenomena singular di desa yang hanya berjarak 30 menit  perjalanan darat dari Stasiun Kota Cirebon itu

BACA JUGA: Marina Segedi, Mantan Juara Silat ASEAN yang Puluhan Tahun Terlupakan

Menurut MYusuf, kuwu atau kepala desa setempat, saat ini ada 675 kepala keluarga di desa yang dekat dengan Waduk Setu Patok tersebut yang tidak memiliki buku nikah dan hanya mengikat pernikahan secara siriEntah itu siri secara agama atau siri secara negara

"Tidak punya buku nikah, tidak ada KTP (kartu tanda penduduk)Ibarat motor, bodong," jelasnya.

Tidak ada KTP? Ya, secara umum warga desa yang memiliki enam dusun itu tergolong sangat rendah kepeduliannya terhedap dokumentasi kependudukanDari total 6.180 warga yang wajib berkartu identitas, 1.856 di antaranya tidak memiliki KTPJumlah itu pun sudah jauh berkurang ketimbang sepuluh tahun lalu.

Padahal, Setu Petok sama sekali bukan desa terbelakangSelain gampang diakses dari Kota Cirebon, kondisi perekonomiannya juga tergolong bagusTidak cuma bertani, warga setempat juga membuka toko atau menjadi buruh pabrik

Menurut Yusuf, sejak 2005 kehidupan warga semakin membaik lantaran mulai berani berdagang dalam partai besarTerutama impor rempah-rempah seperti jahe atau bawang"Di sini ada dua belas pengusaha besar," ujarnya

Tampilan fisik pun sudah menggambarkan tingkat perekonomian ituSejauh pengamatan Jawa Pos yang belum lama ini berkeliling di desa dengan 2.476 KK tersebut, mayoritas rumah sudah berada dalam kondisi "sehat"Artinya, tidak beralas tanah, memiliki ventilasi cukup, mendapat air bersih, dan terbagi dalam beberapa ruang di dalamnya

Hampir semua rumah juga dilengkapi peralatan elektronik dan kendaraan bermotorJalanan desa juga lebar dan beraspal yang memudahkan truk-truk pengangkut hasil pertanian atau barang impor lalu-lalangTruk seberat 70 ton pun biasa melintas di sana

Kalau kemudian desa tersebut bisa lekat dengan budaya nikah siri dan secara umum rendah kepedulian terhadap dokumen kependudukan, faktor tradisi yang diperparah dengan buruknya tingkat pendidikan sepertinya bisa ditunjuk sebagai penyebab

Warga tidak tertarik kepada pendidikan karena bagi mereka yang terpenting adalah mencari uangAnak-anak muda malas ke sekolah karena melihat sekeliling mereka yang buta huruf pun ternyata tetap bisa makmurOtomatis, mayoritas warga setempat pun buta huruf.

Jadilah, ketika menikah, mereka juga enggan mengurus ke KUABukan lantaran tidak memiliki materi untuk menyelesaikan segala biaya menikahTapi, karena mereka merasa, yang penting adalah memiliki suami atau istri yang "sah" secara tradisi untuk diajak tinggal seatap"Sedikit yang bisa bacaMereka pikir, buku nikah tidak penting," ujar Yusuf yang juga menjadi guru bimbingan konseling di Madrasah Aliyah Setu Patok itu

Sejak awal, nikah siri di desa tersebut memang sudah merupakan praktik umumBerdasar cerita turun-temurun,  sejak mulai dibangun pada 1918?1923, perkawinan sudah dilakukan secara mudah: yang penting warga sekitar tahu sepasang pria dan wanita telah menikah.

Sarkam, salah seorang warga, mengaku, dulu dia juga menikah hanya bermodal KTP sementaraOtomatis, dia juga tidak punya buku nikah dan dokumen lainBaru sekarang dia berniat mengurus kartu identitas karena bermaksud mengajukan kredit ke bank

Pasangan nikah siri termuda di kampung berpenduduk 9.564 jiwa itu adalah Akhmadi, 22, yang lahir 1989Dia mempersunting Buraisah, 20, yang usianya lebih mudah dua tahun, pada 2008Sama dengan pengakuan Madrais, keduanya menikah tanpa mencatatkan diri ke KUAPasangan siri tertua berdasar catatan Kuwu adalah Abbas bin Ilyas yang lahir 21 November 1947 dan istrinya, Masriyah, kelahiran 1951

Menurut Kepala Urusan Pemerintahan Desa Setu Patok Rudy, gara-gara banyaknya warga yang nikah siri tanpa tercatat di desa atau KUA, garis keturunan pun kerap menjadi masalahDitengarai, banyak anak atau pemuda di desa dengan 2.476 KK itu yang memiliki ayah sama"Masih dugaan, tetapi kemungkinan itu sangat besar," jelasnya.

Peliknya lagi, urusan cerai di Setu Petok pun dilakukan dengan asalBegitu kata cerai keluar dari suami atau istri dan mendapat persetujuan dari keluarga, pasangan tersebut bisa langsung pisah rumahSetelah itu, dengan mudah pula pasangan tersebut menikah lagi secara siri.

Hal itu membuat pekerjaan rumah perangkat Desa Setu Patok makin menumpukDi satu sisi, mereka harus bisa mengedukasi warga untuk tidak lagi melakukan nikah siriDi sisi lain, mereka juga mengkhawatirkan terjadinya pernikahan sedarah"Karena kami tidak pernah tahu siapa ayah merekaBisa saja sama," ujar Rudy.

Karena itu, perangkat desa mencoba menggulirkan program isbat nikahBukan menikahkan ulang dalam format nikah masalPerangkat desa yakin, isbat atau penetapan dirasa lebih tepat karena sifatnya yang lekang oleh waktuArtinya, meski mereka ditetapkan sebagai suami istri saat ini, pasangan tetap dicatat telah menikah sesuai dengan ikatan mereka.

Berbeda dengan menikah masal yang membuat mereka hanya tercatat telah menikah saat iniMelalui isbat, perangkat desa berencana untuk melakukan pencarian jejak keturunan.

Sebab, dalam prosesi isbat, pasangan dan para saksi akan dikumpulkan kembaliMereka Ditanyai berbagai hal, seperti apakah pernah menikah atau punya anak sebelumnya.

Isbat nikah sudah berlangsung sejak Senin (31/10)Saat itu ada 195 pasangan yang dinikahkanSelanjutnya, desa tersebut juga melakukan isbat lagi untuk 204 pasanganUntuk sisanya, belum diketahui dengan kapan bisa diisbatkan karena pemerintah desa kekurangan dana untuk membayar biaya administrasi.

Maklum, setiap pasangan dikenakan biaya Rp 196 ribu untuk biaya panjar perkara Rp 156 ribu dan alat tulis Rp 40 ribu dan seluruh biaya ditanggung desaBiaya itu didapatkan perangkat seperti kuwu dengan menyewakan tanah bengkok miliknya

Selain itu, sejak 2005 pemerintah desa secara resmi juga sudah tidak lagi "merestui" pernikahan siriNikah tanpa pecatatan ke KUA hanya boleh dilakukan bagi pasangan yang "musibah" sajaSeperti suami yang diketahui memiliki istri lain di Desa Setu Patok atau kasus hamil di luar nikah"Biasanya, untuk menghindari konflik," kata Yusuf kembali(dim/c1/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Suami-Istri dengan Tiga Anak, Korban Tewas Tragedi Kartanegara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler