Cermin dari De Soto dan Yunus (2)

Selasa, 02 Februari 2010 – 02:57 WIB
PEMENANG Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, Muhammad Yunus, pun pernah datang ke JakartaDekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong, Bangladesh itu, menyampaikan kuliah umum di depan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di Istana Negara, pada Selasa 7 Agustus 2007 silam.

Prestasi Yunus sudah tersohor

BACA JUGA: Cermin dari De Soto dan Yunus (1)

Sekedar updating saja, hati Muhammad Yunus, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong, Bangladesh itu pedih
Di pelupuk matanya, ia saksikan bencana kelaparan yang mendera kaum miskin

BACA JUGA: Orang-orang yang Revolusioner

Orang-orang lapar, tua-muda, perempuan-lelaki yang bergelimpangan di jalanan, sukar menandainya, entah masih hidup atau sudah mati.

Tapi seperti dituturkan oleh peraih Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia, Desember 2006 itu, dalam buku Bank Kaum Miskin yang ditulisnya bersama Allan Jolis, kaum duafa tak bisa meneriakkan slogan dan petisi apapun terhadap orang-orang kaya yang hidup enak di perkotaan.

Mendadak sontak, Yunus muak kepada dirinya
Sebal kepada kuliah dan teori ekonomi yang tak kuasa menjawab masalah kemiskinan warganya

BACA JUGA: Sleeping Money, Bangunkan Saja

Kuliahnya di Chittagong dirasakannya bagaikan film Amerika yang melukiskan seorang hero (seperti Rambo-nya Sylvester Stallone) yang selalu menang secara fantastis, tapi tak bia memberi inspirasi dan solusi bagi orang puak miskin di dunia ketiga.

Kita terperanjat ketika Yunus memutuskan berhenti sebagai dekan, serta memilih belajar kepada orang-orang miskin di Jobra, sebuah desa miskinIa menyamar seraya mengenali persoalan orang miskin, langsung dari sumber pertamaPada suatu hari, Yunus berang besar kepada seorang manajer bank yang meminta agunan kepada seorang miskin yang memohon kreditTentu saja, tidak ada!

Si miskin yang bekerja nyaris lebih 12 jam sehari hanya punya agunan berupa nyawanyaJika diberi kredit, pasti ia berjuang mengembalikannya agar bisa hidup terusJika ia dikucuri kredit, pastilah ia tak menggunakannya secara menyimpang, misalnya memboroskan kredit itu untuk kebutuhan yang tidak perlu.

Dari situlah, kemudian Yunus mendirikan lembaga finansial bagi kaum miskin yang beralih menjadi Grameen BankSejak itu, orang miskin bertelanjang kaki pun masuk ke bankMereka berhutang, memutarkan uang, bisa hidup dan membayarnya kembali ke bankBelakangan, 93 persen dari pemilik saham bank itu adalah mantan orang miskin yang dibela oleh Yunus.

Apa resep Yunus bagi Indonesia? Ia menawarkan dekonstruksiYakni, diperlukannya regulasi yang memperluas sistem keuangan sehingga dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakatArtinya, sistem itu sampai kepada orang miskinSifatnya pun inklusif, terbuka, sehingga tidak ada orang yang ditolak untuk mendapatkan pelayanan kredit, termasuk orang miskin.

Kedua, perbankan-lah yang aktif menjelajahi komunitas orang miskinDan mengenali orang miskin secara utuh, mulai dari etos dan etik mereka, kehidupan, cara mempertahankan hidup, hingga beban hidup merekaHanya dengan cara itu, kredit perbankan yang disalurkan kepada orang miskin akan membangkitkan kreatifitas, bahkan kehidupan yang penuh vitalitas.

Namun faktanya, kita memelas jika sumber pinjaman petani menempatkan perbankan di ranking kelima, hanya sebesar 12,1 persenRanking pertama hingga kempat adalah famili/saudara, tetangga/teman, toke/ majikan dan rentenirKoperasi malah ada di tempat ketujuh.

Alangkah eloknya jika kalangan perbankan menempatkan orang-orangnya di lapangan untuk mengenal lingkungannya dengan baik, sehingga dengan mudah mengenali karakter calon nasabahPetugas bank-lah yang mendatangi calon nasabah, bukan sebaliknyaBukankah nasabah yang memberi margin kepada perbankan?

Konon, ada sebuah bank swasta di negeri ini yang melakoni pengenalan klien secara mendalamMereka berkantor dekat calon nasabah, misalnya para pedagang sayur yang butuh kredit Rp 100 ribu atau Rp 200.000Cicilan lancar, karena di komunitas kecil sangat memalukan jika (mereka) terkabar menunggakModal terbesar mereka adalah harga diri, serta keinginan untuk hidup lebih layak.

Bahkan, di Grameen Bank, pengemis pun mendapatkan pinjaman sepanjang tak mempunyai catatan kriminal dengan bunga nol persenKredit rumah berbunga 8 persen dan 5 persen untuk kredit mahasiswaPadahal, tingkat suku bunga kredit mikro di Bangladesh rata-rata sekitar 11 persen.

***
Marilah menoleh kepada petani karet di zaman Belanda yang lumayan makmurKala itu, pemerintah kolonial Belanda mensubsidi petani dengan 10 kupon saban satu hektare kebun karetKupon ini ditukar dengan duit setiap akhir bulanProduksinya ditampung dan pasarnya jelas.

Stimulus dari pemerintah kolonial itu dinikmati Indonesia setelah kemerdekaanKita menjadi produsen karet terbesar di dunia pada 1950-anBayangkan, 43,2 persen karet alam dunia datang dari IndonesiaMalaysia cuma 32,2 persen dan Thailand 5,8 persen.

Tapi setelah Orde Baru, produk kita tinggal 26,9 persen pada 1970, digantikan Malaysia dengan 42,1 persenDua dasawarsa berselang, giliran Thailand berada di puncak pada 1990-an.

Rupanya "zaman kupon" itu diteruskan oleh kedua negeri jiran ituPemerintah menyuntik modal kepada petani secara hibahBukan kreditDari mana sumber dananya?

Ternyata mengucur dari Kantor Bantuan Dana Penanaman Kembali Karet ThailandInstitusi inilah yang mengeluarkan izin ekspor dan memetik pungutan ekspor (PE)Nah, 85 persen dari PE itu, kemudian menetes kepada petani yang mau meremajakan kebun karetnya.

Kita terbayang masa depan petani karet Thailand akan cerahLogikanya, jika kini produksi karet alam dunia sebesar 9,9 juta ton dan karet sintetis sekitar 12, 9 juta ton, bisa diprediksi bahwa karet sintetis akan menyusut karena stok minyak bumi yang menipis dan kian mahal pula.

Tragisnya, Indonesia punya PE karet (dan CPO), tapi duitnya tidak mengalir kepada petaniBarangkali, "zaman kupon karet" di masa silam itu menarik dimodifikasi(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Matahari Tak Bertanya Kepadamu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler