jpnn.com - Korban pertama dalam perang adalah kebenaran. Begitu kata sebuah adagium.
Sejak zaman dulu sampai sekarang, perang banyak membawa korban. Namun, korban pertamanya adalah kebenaran.
BACA JUGA: Perang Dunia III
Berita yang simpang siur berseliweran. Semua pihak mengeklaim sebagai yang paling benar sehingga kebenaran menjadi korban.
Perang Rusia melawan Ukraina sudah berlangsung lebih dari eminggu. Korban sudah berjatuhan dan ada kekhawatiran perang akan meluas menjadi full scale war atau perang skala penuh yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar, seperti Pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO).
BACA JUGA: Haruna Soemitro
Ada kekhawatiran akan terjadi Perang Dunia Ketiga karena Rusia juga akan dibantu sekutu-sekutunya. Perang berskala besar itu akan melibatkan nuklir yang destruktif karena Rusia punya senjata pemusnah massal itu.
Kabar yang berkembang menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sudah menyiapkan pasukan nuklirnya untuk bersiaga. Putin sendiri sudah bersiaga dengan password senjata nuklir yang setiap saat bisa dia perintahkan untuk diluncurkan.
BACA JUGA: Pandemi Komunis
Perang berskala global dalam bentuk perang terbuka belum terjadi. Banyak kalangan pengamat militer yang berpendapat perang terbuka semacam itu tidak akan terjadi.
Kedua pihak sama-sama menyadari bahwa perang nuklir tidak akan bisa dimenangkan oleh siapa pun. Sebaliknya, perang itu akan membawa kehancuran skala besar di kedua kubu.
Oleh karena itu, kedua pihak pasti sama-sama menahan diri. Ada kekuatan penahan, deterrence force, yang sama-sama membuat kedua kubu menahan diri.
Kedua kubu menyadari ada kekuatan 'mutual assured destruction' kepastian kehancuran kedua pihak, jika perang terbuka skala besar terjadi.
Korban sudah mulai berjatuhan. Bukan cuma di Rusia atau Ukraina, tetapi di seluruh dunia. Perang ini sudah menjadi perang global dan dampaknya sudah dirasakan oleh publik di seluruh dunia.
Di antara korban yang sudah mulai merasakan dampaknya adalah para penggemar sepak bola, terutama di Liga Premier Inggris yang mendukung klub Chelsea. Klub yang bermarkas di London ini menjadi klub sepak bola pertama yang menjadi korban perang.
Pemilik klub Chelsea, taipan Rusia Roman Abramovich, memutuskan melego klub ini karena takut kena sanksi yang bisa membuatnya kehilangan klub itu.
Sebagaimana cabang olahraga lainnya sepak bola seharusnya netral dan imun dari politik, tetapi terbukti tidak. Sepak bola erat kaitannya dengan politik lokal, regional, dan internasional.
Ketika terjadi krisis internasional seperti perang Rusia vs Ukraina ini sepak bola menjadi korban. Abramovich adalah sultan super crazy rich dari Rusia. Uangnya tidak berseri. Kekayaannya tidak habis tujuh turunan.
Namun, perang membuat dia terancam miskin dan dimiskinkan. Kalau otoritas Inggris membekukan aset-set Abramovich, Chelsea akan lepas dari kepemilikannya. Kalau langkah itu diikuti oleh sekutu-sekutu Inggris dan Amerika di Eropa maupun seluruh dunia, Abramovich bisa kehilangan semua kekayaannya yang dia simpan di Benua Biru.
Itulah sebabnya dia cepat-cepat melego Chelsea. Awalnya dia melepas kepemilikannya dan menyerahkannya kepada wali amanah -semacam yayasan- yang akan menjalankan manajemen Chelsea.
Gelagat itu sudah membuat suporter Chelsea panas dingin. Ternyata betul, Abramovich kemudian memutuskan menjual sahamnya di Chelsea.
Abramovich melepas Chelsea dengan harga GBP 3 miliar dan beberapa taipan kabarnya berminat membelinya. Ada taipan dari Switzerland, Amerika, dan seorang lagi dari Turki yang sudah melakukan kontak dan negosiasi dengan Abramovich.
Perang membawa akibat terhadap sepak bola. Itulah perang global yang terjadi di era globalisasi seperti sekarang.
Itulah sebabnya Franklin Foer menjelaskan teori globalisasi melalui sepak bola, "How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization".
Sepak bola bisa menjelaskan apa yang terjadi dunia sekarang ini. Sepak bola bisa menjadi teori globalisasi dan menjelaskan apa itu globalisasi.
Kasus penjualan Chelsea ini menjelaskan bahwa apa yang terjadi di sebuah ujung dunia, dampaknya akan dirasakan di ujung dunia lainnya. Perang di Rusia menyebabkan Chelsea dijual. Itulah globalisasi, itulah cara sepak bola menjelaskan dunia.
Pada 2003 Abramovich membeli Chelsea seharga GBP 140 juta. Sekarang Abramovoich menjualnya seharga GBP 3 miliar.
Selama hampir 20 tahun di bawah kepemilikan Abramovich, Chelsea menjadi salah satu klub paling digdaya di dunia, lima kali menjuarai Premier Leagu, dua kali jawara Liga Champions, dan sekali menjadi juara dunia.
Abramovich menjadi salah satu taipan terkaya di Rusia karena kedekatanya dengan rezim Vladimir Putin. Pada 1990, Uni Soviet sebagai induk Rusia ambruk. Negara-negara kecil yang disatukan di bawa rezim komunis Uni Soviet bubar dan memerdekakan diri.
Perusahaan-perusahaan milik negara dilego dengan harga murah kepada kroni-kroni rezim baru. Abramovich menjadi salah satu pengusaha yang kejatuhan durian dari rezeki swastanisasi itu.
Kedekatannya dengan rezim baru membuatnya menjadi salah satu sultan super crazy rich. Putin menjadi presiden Rusia sejak 2002 sampai sekarang.
Dengan undang-undang yang baru, Putin bisa berkuasa sampai sepuluh tahun ke depan, bahkan lebih. Dengan usianya yang sekarang 68 tahun, Putin bisa menjadi presiden seumur hidup.
Putin menyerang Ukraina karena negara tetangganya itu ingin bergabung dengan NATO yang notebene musuh Rusia. NATO dan Amerika enggan perang terbuka melawan Putin.
Sebagai gantinya, Rusia akan diisolasi dengan sanksi embargo ekonomi. Harta kekayaan Rusia dan pengusaha-pengusahany yang menjadi kroni rezim akan dibekukan di seluruh Eropa.
Di situlah Abramovich terkena getahnya. Mumpung Chelsea belum dibekukan dan disita, dia pun cepat-cepat melegonya.
Abramovich tidak mau menjalami nasib seperti Aisher Usmanov -pengusaha Rusia yang juga dekat dengan Putin- yang kekayaannya sudah dibekukan. Usmanov dikenal sebagai sponsor utama klub Inggris, Everton. Dengan sanksi itu, Everton diperkirakan akan goyah.
Nasib Chelsea akan penuh dengan tanda tanya sepeninggal Abramovich. Sangat mungkin kepergian Abramovih akan membuat klub itu mengalami krisis.
Beberapa klub besar mengalami krisis karena satu perubahan yang tidak terduga. Manchester United langsung melorot menjadi klub medioker begitu ditinggal oleh Alex Ferguson pada 2013.
Barcelona menjadi limbung setelah ditinggal Lionel Messi. Real Madrid juga guncang setelah ditinggalkan oleh Cristiano Ronaldo.
Pandemi Covid-19 membuat klub-klub raksasa itu kelimpungan dan butuh waktu sangat panjang untuk memulihkan kejayaannya. Globalisasi membuat klub-klub Inggris digdaya, dan kompetisi Premier League menjadi liga paling gemebyar di dunia.
Pemain-pemain terbaik dari seluruh penjuru dunia bermain di Premier League. Lima besar pelatih terbaik di dunia melatih di Inggris, dan tim-tim yang berlaga di Premier League menjadi klub terkaya di Eropa.
Tim empat besar Inggris semuanya dimiliki oleh orang asing. Manchester City dimiliki Syeikh Mansyur dari Uni Emirat Arab. Liverpool dikuasai oleh John W. Henry dari Amerika Serikat. Chelsea milik Abramovich, sedangkan Manchester United milik keluarga Glazer dari Amerika.
Globalisasi membuat sepak bola Inggris gemebyar dan kaya raya. Namun, globalisasi juga akan membawa akibat yang serius bagi klub-klub sepak bola Inggris.
Perang Rusia melawan Ukraina pasti akan dikutuk dan disumpahi oleh suporter Chelsea di seluruh dunia.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Boxing Day
Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror