jpnn.com - Gaya hidup tanpa anak atau childfree belakangan banyak diperbincangkan oleh netizen. Gara-garanya ialah seorang influencer bernama Gita Savitri mempromosikan hal itu.
Melalui fitur Instagram Story, Gita menyatakan bahwa ia menikah tetapi memutuskan untuk tidak memiliki anak. Keputusan itu diambil atas dasar kesepakatan dengan suaminya, Paul Andre.
BACA JUGA: Lahirnya Seorang Diktator
Childfree adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi tidak memiliki anak, terutama karena pilihan. Istilah ini banyak digunakan oleh para aktivis feminisme.
Mereka menganggap childfree sebagai bagian pilihan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya, sekaligus membebaskan diri dari beban domestik yang dianggap tidak adil.
BACA JUGA: Jokowi, Pak Harto, dan ASEAN
Gerakan childfree dalam feminisme bertujuan mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif dan kualitatif. Artinya, pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di dalam maupun di luar rumah.
Gaung feminisme menemukan momentumnya seiring dengan makin terbuknya ruang kebebasan berekspresi. Para aktivis perempuan ingin melakukan perubahan di segala bidang, termasuk dalam relasi gender.
BACA JUGA: Kaesang, dari Bisnis Pisang ke Politik
Muncullah istilah ketimpangan gender yang dikaitkan dengan kondisi perempuan yang terpinggirkan, tertinggal, dan tersubordinasi oleh kepentingan laki-kali. Kondisi tersebut memacu kaum feminisme untuk menciptakan sejumlah gerakan dan agenda yang dapat memberikan kebebasan pada perempuan, salah satunya childfree.
Keputusan ini digunakan perempuan untuk memilih kebebasannya menjadi ibu dan mengalami proses kehamilan serta melahirkan. Alasannya tentu beragam, mulai perkembangan karier hingga kondisi finansial yang tak mendukung.
Menurut laman The Atlantic, saat ini alasan terbesar orang-orang memilih childfree ialah karena kondisi pandemi yang tak kunjung membaik. Risiko PHK, masalah finansial, layanan kesehatan yang buruk, serta terbatasnya sarana dan fasilitas publik menjadi alasan pendukung bagi beberapa calon orang tua untuk mengambil keputusan childfree.
Sebagai sebuah pilihan hidup, childfree tentu memiliki dampak positif dan negatifnya. Salah satu yang paling mungkin terjadi adalah stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga sendiri.
Stigma tersebut membuka kesempatan timbulnya tekanan sosial bagi pasangan dengan keputusan childfree. Dari sisi psikologis, keputusan childfree juga bisa menimbulkan beberapa masalah dalam pernikahan.
Faktor kesepian yang mungkin terjadi di masa datang, bisa memicu konflik berkepanjangan dengan pasangan. Jika tidak diatasi, perceraian pun bisa saja terjadi.
Namun terlepas dari itu semua, childfree tetaplah pilihan yang bebas diambil oleh siapapun, tanpa terkecuali. Mempertimbangkan dampak dan risiko jangka panjang bisa menjadi pilihan yang tepat sebelum mengambil keputusan ini.
Kondisi ekonomi yang makin ketat serta dibarengi biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang kian mahal tidak memungkinkan pasangan muda untuk memunyai banyak anak. Banyak pasangan suami –istri sama-sama bekerja untuk memenuhi hajat hidup, dan itu pun hanya cukup untuk menghidupi dua anak.
Di negara-negara maju, banyak pasangan yang menikah dan sama-sama bekerja tapi memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Pasangan ini dikenal sebagai DINK atau double income no kids, yakni berpenghasilan ganda tetapi tidak punya anak.
Model ini menjadi tren di Eropa dan Amerika. Di negara-negara maju Asia seperti Jepang, Korea, dan Singapura hal yang sama juga menjadi tren.
Beberapa tahun terakhir muncul tren baru yang disebut sebagai ‘sex recession’ atau resesi seks. Sebagaimana resesi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan minus, resesi seks juga ditandai dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang minus.
Jepang menjadi salah satu negara yang menderita resesi seks, dan hal itu membawa pengaruh serius terhadap perekenomian negara. Resesi seks ditandai dengan gaya hidup childfree yang semakin meluas.
Pasangan muda memilih untuk menikah tetapi berkomitmen untuk tidak mempunyai anak. Banyak juga anak-anak muda yang memutuskan untuk tidak menikah dan lebih mengejar karir.
Banyak di antara mereka yang merasa bahwa beban hidup untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri sudah berat, apalagi kalau harus menanggung biaya anak dan istri. Jumlah orang tua menjadi lebih besar ketimbang angkatan kerja yang produktif.
Akibatnya, produktivitas nasional menurun karena satu angkatan kerja produktif harus menanggung sedikitnya dua orang pensiunan yang sudah tidak produktif. Itulah yang menyebabkan Jepang sekarang menjadi salah satu negara dengan defisit anggaran yang besar.
Defisit itu muncul karena pemerintah berutang untuk membayar tunjangan sosial bagi orang-orang tua pensiunan yang sudah tidak produktif. Rasio utang Jepang tinggi tetapi ekonomi masih aman karena kemampuan untuk membayar utang (debt to service ratio) masih terjaga.
Jepang banyak berutang ke publiknya sendiri dan tidak banyak berutang ke luar. Itulah yang membuat fundamental ekonomi Jepang masih kokoh.
Anak-anak muda Jepang enggan menikah dalam usia dini. Kalau kemudian menikah mereka memutuskan menjadi DINK.
Biaya hidup yang mahal menjadi salah satu alasan. Ancaman resesi ekonomi mungkin bisa diatasi dengan relatif mudah oleh pemerintah Jepang.
Akan tetapi, ancaman resesi seks ini bisa membuat pemerintah pusing tujuh keliling.
Hal yang sama sudah menjadi fenomena lama di Eropa dan Amerika. Negara lain di Asia yang sekarang dilanda resesi seks ialah Singapura dan Korea.
Sama dengan Jepang, dua negara itu pertumbuhan ekonominya paling stabil di Asia. Namun, biaya hidup makin mahal sehingga anak-anak mudanya enggan menikah dan tidak mau punya keturunan.
Tiongkok dahulu terkenal dengan kampanye satu keluarga satu anak karena jumlah penduduknya yang meledak sampai 1,4 miliar jiwa. Negara otoriter seperti Tiongkok sangat mudah menjalankan program keluarga berencana semacam itu karena kontrol pemerintah yang mutlak dan ketat.
Namun, belakangan pemerintah Tiongkok mengendorkan kampanye itu mendorong warganya mempunyai anak yang lebih banyak. Hal itu dilakukan sebagai respons terhadap fenomena resesi seks yang juga terjadi di Tiongkok.
Dalam urusan demografi, Indonesia lebih beruntung karena mendapatkan berkah bonus demografi. Ini berarti jumlah penduduk produktif lebih banyak dari penduduk berusia non-produktif.
Penduduk dalam rentang usia 15 sampai 64 tahun masuk dalam kategori produktif, sedangkan yang atas usia 64 masuk dalam kategori pensiunan. Bonus ini menjadi modal besar bagi Indonesia untuk meningkatkan produktifitas.
Bonus tersebut merupakan hasil kerja rezim Orde Baru yang menjalankan program keluarga berencana at all cost. Hasilnya bisa dinikmati oleh rezim Reformasi yang menggulingkan rezim Orde Baru. Thanks to Soeharto.
Bonus demografi menjadi semacam pisau bermata dua yang punya dampak negatif. Kalau tidak tersedia lapangan kerja yang memadai, angka pengangguran akan meningkat sehingga gangguan sosial dan kriminalitas bakal menjadi persoalan serius.
Bonus demografi ini secara tidak langsung juga memberi kekuatan ekstra kepada Indonesia untuk keluar dari pandemi relatif lebih cepat. Dalam beberapa minggu ini ada kecendrerungan penularan Covid-19 meningkat lagi, tetapi dibandingkan dengan negara lain kondisi Indonesia masih aman.
Jumlah penduduk usia muda yang besar membuat ketahanan tubuh rata-rata lebih kuat dan pada akhirnya herd immunity lebih cepat tercapai.
Di Indonesia, pribahasa ‘banya anak banyak rejeki’ mungkin sudah tidak banyak dipercaya oleh generasi milenial. Mereka tetap akan menikah, tetapi membatasi jumlah anak.
Adapun chlidfree masih dianggap sebagai gaya hidup yang tidak lazim karena berasal dari budaya impor.
Orang-orang yang mengadopsi childfree umumnya hanya sekadar cari perhatian alias caper atau panjat sosial (pansos) untuk menaikkan popularitas.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahfud MD Malu Jadi Orang Indonesia
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi