Lahirnya Seorang Diktator

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 08 Februari 2023 – 19:49 WIB
Kanselir Jerman Adolf Hitler. Foto: Jupiterimages/Britannica

jpnn.com - Seorang diktator bisa lahir dari situasi yang unik. Bisa saja seorang pemimpin dianggap baik hati, lembut, merakyat, tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun bahwa dia bisa menjadi diktator yang kejam.

Namun, karena sebuah kejadian sejarah yang tidak sengaja, seseorang bisa menjadi diktator yang kejam.

BACA JUGA: Jokowi, Pak Harto, dan ASEAN

Ahli sejarah dan antropolgi Amerika Serikat Prof. Jared Diamond merekam kisah-kisah munculnya krisis di beberapa negara yang kemudian melahirkan seorang pemimpin diktator yang membawa akibat buruk bagi negara dan juga dunia.

Diamond merangkai pengalaman dan penelitiannya itu ke dalam buku Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis terbitan 2019 yang kini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku ini merupakan rangkaian perjalanan dan pengalaman pribadi Prof. Diamond ke 7 negara yang kebetulan mengalami krisis dengan berbagai bentuk dan dimensinya.

BACA JUGA: Cak Nun dan Firaun

Negara yang dibahas Diamond ialah Indonesia bersama enam negara lain yaitu, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Chile, Finlandia, dan Australia. Negara-negara itu mengalami krisis dengan dimensi yang berbeda-beda, tetapi kemudian bangkit dengan caranya masing-masing.

Diamond hanya memilih 7 negara itu berdasarkan pengalaman subjektifnya. Ia pernah lama tinggal di 7 negara itu, atau mempunyai kerabat dan sahabat dekat yang tinggal di negara itu.

BACA JUGA: Intelektual Stempel

Diamond memahami budaya dan karakteristik masyarakat lokal dan terlihat jatuh cinta terhadap beberapa di antara negara itu.

Ulasan Diamond tentang Indonesia tak lepas dari pengalaman subjektifnya sebagai peneliti. Diamond datang ke Indonesia pertama kali pada 1979.

Ia bertahun-tahun tinggal di Papua Nugini dan mengenal dengan baik budaya lokal. Pengalamannya itu ia tuangkan ke dalam buku ‘Guns, Germs, and Steels’ yang mendedahkan bagaimana pola makan modern telah membuat banyak orang-orang Papua menjadi gemuk.

Pada kunjungan pertama, Diamond melihat orang-orang yang langsing di bandara. Namun, pada kunjungan berikutnya kira-kira 10 tahun berselang, Diamon melihat sudah banyak orang-orang bertubuh gendut.

Masuknya sebuah perusahaan multinasional di wilayah itu memunculkan pola makan ala barat yang dianggap modern, tetapi penuh penyakit, seperti konsumsi terhadap gula dan garam.

Pada suatu kunjungan Diamond menginap di sebuah hotel yang dinding lobinya dihiasi lukisan kisah sejarah peristiwa 35 tahun sebelumnya, yaitu pemberontakan Komunis 1965.

Mural pada dinding itu menggambarkan kisah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi tidak menggambarkan apa yang terjadi setelahnya.

Demikian pula, lukisan itu tidak cukup menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya sampai terjadi pemberontakan.

Lukisan itu tidak menyebutkan apa yang terjadi setelahnya, yakni tragedi hilangnya nyawa setengah juta orang Indonesia karena dorongan Angkatan Bersenjata.

Diamond membahas khusus krisis politik Indonesia pada masa-masa terakhir kekuasaan Soekarno sebelum pemberontakan komunis yang membuat Proklamator RI itu jatuh.

Soekarno yang flamboyan dan high profile kemudian digantikan oleh Soeharto yang seolah-olah menjadi antitesis Sukarno.

Soeharto seorang jenderal yang tenang, banyak senyum, tidak menunjukkan emosi, dan mengambil keputusan dengan hati-hati.

Ada sebuah tanda tanya besar mengapa Soeharto yang muncul sebagai pemenang dalam krisis persaingan politik yang mencekam itu.

Mengapa kemudian Soeharto yang pendiam dan banyak senyum bisa menjadi eksekutor ratusan ribu orang anggota dan simpatisan PKI. Mengapa Soeharto bisa bertahan menjadi penguasa otoriter sampai 32 tahun tanpa ada yang bisa menghalangi.

Ada benang biru sejarah mengenai kemunculan pemimpin-pemimpin kuat di dunia. Ada ketidaksengajaan sejarah yang tetap menjadi misteri.

Adolf Hitler dan Partai NAZI pimpinannya tidak bisa memenangi pemilu. Rakyat Jerman menolak NAZI.

Akan tetapi, presiden Jerman kemudian memberi mandat kepada Hitler untuk menjadi kanselir. Itulah titik balik sejarah yang melahirkan bencana di Eropa yang dampaknya terasa di seluruh dunia.

Kemunculan Suharto ada banyak unsur kemiripan dengan naiknya Jenderal Augusto Pinochet di Chile pada 1970-an. Ia didapuk menjadi presiden setelah Salvador Allende -presiden berpaham kiri yang terpilih secara demokratis- digulingkan oleh kudeta militer.

Allende dikepung di istana kepresidenan, tetapi menolak untuk menyerah. Ketika tentara menguasai istana dan masuk ke dalamnya, Allende sudah mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.

Tantara Chile sama dengan ABRI yang sangat antikomunis. Allende populer di mata rakyat dan berhasil memenangi pemilihan dengan selisih besar.

Ia kemudian membawa Chile ke arah sosialisme dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Hal ini membuat militer khawatir.

Amerika Serikat, yang mempunyai banyak perusahaan multinasional di Chile, kemudian menyusun kekuatan bersama tentara. Sebuah kudeta pengambilalihan kekuasaan disusun, dan Allende pun terguling.

Sebenarnya Chile punya tradisi demokrasi yang bagus. Namun, kemunculan Allende yang mengubah arah kebijakan ekonomi ke kiri membuat tentara khawatir.

Kudeta pun terjadi. Kemudian, di antara para jenderal dipilihlah satu orang yang tidak terlalu berbahaya untuk menjadi presiden.

Pilihan jatuh kepada Pinochet yang sudah sepuh dan dianggap tidak berbahaya. Ternyata pilihan itu keliru.

Begitu memegang kekuasaan, Pinochet berubah menjadi pemimpin yang kejam yang kemudian menjadi diktator yang tega membunuh lawan-lawan politiknya.

Ada beberapa unsur kesamaan antara Pinochet dan Soeharto. Keduanya dianggap tidak berbahaya, tetapi ternyata sama-sama menunjukkan kecanggihan mengelola kekuasaan selama jangka waktu yang panjang secara otoriter.

Dibandingkan dengan Chile, kedua negara mengalami gangguan kompromi politik. Upaya kelompok kiri mendapatkan kendali pemerintahan, diakhiri kudeta militer yang lantas memasang kediktatoran bertahan lama. 

Namun, dalam mencapai rekonsiliasi nasional, pengalaman Indonesia berbeda dengan dengan Chile yang relatif sukses menghilangkan trauma masa lalu.

Kendati mengkritisi rezim Soeharto, Diamond mencatat adanya warisan positifnya, antara lain, menciptakan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi, meskipun digerogoti oleh korupsi.

Soeharto lebih memusatkan energinya pada masalah-masalah domestik, mempromosikan keluarga berencana, serta memimpin revolusi hijau yang meningkatkan hasil padi dan tanaman lainnya.

Indonesia berada di bawah tekanan besar sebelum 1965. Namun, kini Indonesia tidak menunjukkan risiko keruntuhan sebagaimana negara-negara Eropa dan Uni Soviet.

Jared Diamond pernah meramal Indonesia bakal runtuh seperti Yugoslavia. Akan tetapi dia seperti merevisi ramalannya.

Keterpisahan pulau-pulau, luas wilayah ribuan mil, ratusan bahasa asli, koeksistensi agama yang bermacam-macam, bisa menjadi potensi perpecahan. Delapan puluh tahun yang lalu, sebelum merdeka, sebagian besar orang Indonesia tidak menganggap diri mereka orang Indonesia.

Sekarang, orang Indonesia mengambil identitas nasional mereka dengan lebih kuat. Indonesia adalah negara termuda dibanding 7 negara yang dibahas Diamond.

Namun, Indonesia bergerak dengan cukup sigap untuk memperkuat identitas yang yang menjadi perekat kesatuan. Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia mulai dengan identitas nasional yang terbatas.

Sebagai kepulauan, Indonesia menikmati kebebasan dari kendala ancaman eksternal sejak kepergian Belanda. Pada awalnya Indonesia berisiko serius atas teritorinya, tetapi tidak hancur berantakan.

Rasa identitas nasionalnya kuat, tumbuh secara spontan dan diperkuat oleh upaya sadar pemerintah. Kekuatan penting identitas nasional Indonesia ialah Bahasa Indonesia yang mudah dipelajari dan luwes sebagai bahasa nasional, hidup berdampingan dengan 700 bahasa lokal.

Satu ganjalan yang dicatat oleh Diamond terhadap Indonesia ialah belum adanya rekonsiliasi nasional yang tuntas. Jerman mengalami krisis identitas yang dahsyat akibat kediktatoran Hitler yang membawa kematian massal orang-orang Yahudi.

Namun, trauma masa lalu Jerman selesai karena Willy Brandt, pemimpin Jerman pascaperang, meminta maaf secara tulus kepada para korban Holocaust. Brandt mendatangi bekas kamp-kamp pembantaian, berlutut dan menyatakan permintaan maaf.

Momen itu dianggap sebagai titik balik atau ’moment of truth’ yang menghapus trauma masa lalu Jerman. Itulah yang membawa Jerman kepada kondisi stabil dan menjadikan negara itu kekuatan ekonomi yang sangat diperhitungkan sekarang.

Ada upaya rekonsiliasi yang tulus dengan peristiwa masa lalu dan mengakui kesalahan secara proporsional. Diamond tidak membahas secara khusus kasus itu dalam konteks Indonesia.

Secara tersirat ia menyatakan bahwa beban sejarah masa lalu akan menjadi halangan bagi rekonsiliasi nasional yang tulus dan bersungguh-sungguh.

Diamond mengingatkan bahwa di Amerika sedang terjadi kemerosotan demokrasi karena budaya toleransi dan kompromi politik yang sudah terkikis. Di negara demokrasi setua Amerika pun bisa lahir presiden otoriter seperti Donald Trump.

Hal itu bisa terjadi di mana pun. Di Indonesia kecenderungan menipisnya toleransi politik sekarang juga sedang terjadi.

Ada upaya untuk menyingkirkan perbedaan pendapat melalui cara-cara yang tidak demokratis. Ada upaya untuk menguasai parlemen supaya tidak menjadi ancaman terhadap kekuasaan.

Menipisnya budaya toleransi dan kompromi politik ini bisa melahirkan penguasa otoriter, atau bahkan memunculkan seorang diktator. Indonesia pun menghadapi kemungkinan yang sama.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Raja Kodok


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Cak Abror   Diktator   Indonesia   Balkan   Hitler   Soeharto  

Terpopuler