BACA JUGA: Partai Islam di Simpang Jalan
Walaupun belum ada penelitian, tetapi publik rupanya masih dihinggapi trauma masa silam ketika tentara berpolitik di era Orde BaruBanyak yang masih mengingat betapa anggota TNI dengan dwifungsinya diberikan hak-hak istimewa atas nama undang-undang
BACA JUGA: Surat untuk Mahkamah Konstitusi
Misalnya, menjadi angota DPR-MPR walau tak dipilih melainkan diangkat sesuai jatah yang difasilitasi oleh perundang-undangan yang sah dan legitimate.Demikianlah hebatnya, Presiden Soeharto
BACA JUGA: Biarkan Tumbuh, Lalu Berguguran?
Transformasi politik Orde Baru melalui perundang-undangan berjalan dengan pasti dan mulusSiapa yang mencoba melawan dianggap tindakan subversi yang melawan undang-undang.Kita ingat penguatan Golkar yang “memaksa” PNS harus loyal tunggal kepada partai Beringin iniSemua partai politik, walau hanya dua, PPP dan PDI harus berasas tunggal Pancasila, setelah sebelumnya 10 partai dipaksa fusi, dan semuanya melalui UU.
Semua organisasi profesi juga diwadah-tunggalkan, juga melalui UUMisalnya, OSIS, KNPI, BKK-NKK di kampus, HNSI, SPSI, PGRI, Kadin, Ikadin, PWI, HKTI dan lainnya dan umumnya dihegemoni oleh pemerintah yang berorientasi ke Golkar.
Tak ayal, melalui jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar), tak hanya DPR-MPR yang dikuasai, bahkan petinggi TNI juga bercokol di kementerian, BUMN, gubernur, bupati hingga walikota sebagai akibatnya.
Kondisi politik yang monolit itu berlangsung selama 30 tahun lebihTak ayal, ia menjadi berurat berakar dan mendarah daging dalam postur dan anatomi politik nasional.
Untunglah era reformasi memangkas semua UU yang menganak-emaskan TNI ituBahkan, sejak 1999 lalu diniscayakan kembali ke barakDwifungsi tamatEh, kini 12 tahun kemudian, wacana TNI boleh berpolitik dikumandangkanMereka boleh memilih dan dipilih.
Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengungkit soal hak pilih bagi TNI ketika berbicara kepada wartawan di Istana Cipanas, Jawa Barat pekan laluSBY sengaja mengingatkan bahwa larangan memilih dan dipilih bagi anggota TNI bukan sesuatu yang lumrah bagi demokrasi
Dari perspektif demokrasi, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap warga negara, termasuk anggota TNIDus, larangan memilih dan dipilih bagi kelompok ini dalam pemilu patut dianggap sebagai tidak demokratis
Tapi tak berarti selama 12 tahun ini, TNI, walau yang sudah purnawirawan mundur dari pentas politikCukup banyak jenderal yang terjun ke dunia politik, misalnya, menjadi kandidat presiden, gubenur, anggota DPR dan DPRD hingga mendirikan partai politik.
Sejak Pemilu 2004, setidaknya ada 3 pensiunan jenderal menjadi calon presidenYakni, Wiranto sebagai capres Partai Golkar,Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) capres Partai Demokrat, PBB dan PKPI, dan Agum Gumelar sebagai cawapres PPP yang bergandengan dengan Hamzah Haz.
Jenderal Purnawirawan SBY tampil sebagai pemenang yang bergandeng tangan dengan politikus sipil Partai Golkar M Jusuf Kalla (JK)SBY adalah tokoh militer kedua yang menduduki kursi RI-1 setelah mantan Presiden Soeharto terjatuh pada tahun 1998.
Belum lagi yang terpilih di arena Pilkada, seperti Bibit Waluyo dan sebagainyaBahkan pada Pemilu 2009 lalu, Prabowo Soebianto membidani lahirnya Partai Gerindra, sekaligus menjadi Cawapres mendampingi Megawati.
Uniknya, arus resistensi terhadap ketampilan mantan jenderal di pentas politik itu tidak menderasBahkan cenderung lemahApalagi UU pun membenarkannya. Di berbagai daerah kerap terdengar suara yang menyebut figur militer sebagai pilihan alternatif kepemimpinan bagi bangsa, termasuk untuk pemimpin daerah.
Tampaknya, ketampilan mantan militer di panggung politik akan terus berlangsung, bagaikan patah tumbuh hilang bergantiDiprediksi satu persatu jenderal yang pensiun akan mengikuti jejak langkah pendahulunya.
Peluang itu terbuka karena kalangan partai politik pun tak segan-segan merekrut kandidat mereka dari kalangan mantan petinggi TNIBahkan, UU pun memungkinkan mereka tampil melalui jalur calon independen atau perseorangan.
Tampilnya SBY sebagai pemenang Pilpres 2004 dan 2009 adalah fakta politik yang penting telah kembalinya kepercayaan rakyat terhadap tokoh militer di kepemimpinan ranah sipilRakyat sudah berpaling kembali ke tokoh militer, mungkin, karena belum ada tokoh sipil yang memiliki kemampuan kepemimpinan setegas dan secermat tokoh militer.
Fakta ini harus merupakan otokritik bagi pemimpin sipilEuphoria 12 tahun reformasi mesti disetopJangan karena peluang selama Orde Baru tertutup bagi pemimpin sipil, lalu merayakannya semasa reformasi tetapi tanpa sikap matang yang berkarakter.
Tapi apa boleh buat, akibat ketaksiapan pemimpin sipil itu pulalah, maka perlahan tapi pasti ternyata traumatik terhadap kepemimpinan militer mulai mengendur.
Dalam suasana itu pulalah muncul wacana TNI kembali berpolitikTak ayal, wacana ini menjadi favourable dengan kian menipisnya resistensi dan trauma kepada kepemimpinan figur mantan militer.
Masalahnya, seperti euphoria yang dialami pemimpin dan kaum sipil selama 12 tahun reformasi, tak mustahil euphoria yang sama hinggap di tubuh militerSelusin tahun tak “berkuasa” dan tiba-tiba ada peluang yang dibenarkan oleh UU – jika disahkan – berbagai ekses negative bisa saja terjadi.
Tampaknya masih dibutuhkan masa transisi yang lebih panjang sehingga reformasi di tubuh TNI benar-benar mewujud. Kalangan sipil seperti PNS saja terkesan belum matang dengan peranan sipilnyaTerbukti masih saja ada PNS, bahkan pejabat yang tak netral dalam Pilkada ketika sang incumbent kembali ikut mencalonkan diri.
Pendekatan historis diperlukan dalam mengukur kapan sebaiknya anggota TNI boleh berpolitikJika dipatok pada Pemilu 2019, terus terang terlalu cepatDoktrin komando TNI di wilayah tugas kemiliteran belum mungkin terkikis hingga ke wilayah pribadi di pentas politikPerlu waktu yang cukup agar hasilnya dipastikan lebih matang.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hibah Kekuasaan itu Mustahil
Redaktur : Tim Redaksi