jpnn.com - JAKARTA - Keinginan DPP Partai Golkar untuk kembali mendudukkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR masih menjadi perdebatan, bahkan termasuk dari fungsionaris partai berlambang Beringin itu sendiri.
Novanto diminta berpikir ulang jika ingin menuruti hasil pleno DPP Partai Golongan Karya yang memintanya kembali menjadi Ketua DPR. Secara etis, Novanto memiliki sejumlah hal yang membuatnya tidak layak lagi menjadi Ketua DPR.
BACA JUGA: Pergantian Ketua DPR Harus Patuh pada AD/ART Partai
Penilaian itu diungkapkan fungsionaris Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia. Menurut Doli, spekulasi pergantian posisi ketua DPR dari Ade Komarudin kepada Setnov bergulir sejak dua bulan lalu.
Karena tanggapan tidak terlalu baik, akhirnya isu itu di-pending. ”Tapi, di tengah dinamika politik yang tinggi, termasuk rencana aksi 212 nanti, muncul keputusan pleno terkait pergantian,” kata Doli.
BACA JUGA: NGERI! Sudah 3.679 kasus kematian AIDS di Sini
Menurut dia, berbagai spekulasi muncul terkait keputusan pleno DPP Golkar yang mengangkat kembali Setnov (panggilan lain Novanto). Penyebabnya adalah pertemuan Setnov dengan Megawati sebelum pleno DPP Golkar, ditambah pertemuan Setnov dengan Presiden Jokowi.
Situasi itu dinilai Doli justru menyedot energi Partai Golkar yang tengah berjuang memulihkan diri. ”Saya termasuk yang tidak setuju dengan keputusan ini,” kata Doli.
BACA JUGA: Pengacara Wawan Yakin Rano Sedang Diincar KPK
Menurut Doli, posisi Setnov maupun Akom saat ini sejatinya sudah sesuai jalur. Setnov sebagai ketua umum Golkar berkeliling daerah, sementara Akom menjalankan tugas sebagai pimpinan dewan. Situasi yang sudah berjalan semacam itu seharusnya tidak perlu diganggu.
”Untuk apa lagi diinterupsi. Partai Golkar selama ini sudah kehilangan narasi besar dari persoalan kebangsaan. Kini malah kembali ke urusan kursi dan proyek,” sorot Doli.
Dia menilai, secara etis, ada tiga alasan yang membuat Setnov tidak layak menjadi ketua DPR lagi. Alasan pertama adalah keputusan Setnov untuk mundur saat diproses di Mahkamah Kehormatan Dewan dalam kasus ”Papa Minta Saham”. Memang betul pada akhirnya MKD tidak memutuskan apa-apa.
Namun, dalam konteks perbuatan etik, sejumlah fraksi saat itu menyatakan ada pelanggaran etik berat. ”Kalau mau dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada relevansinya dengan (pelanggaran) etika,” ujar Doli.
Pertimbangan kedua adalah janji Setnov saat mencalonkan diri sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Menurut Doli, saat nanti terpilih, Setnov berjanji akan mundur sebagai anggota DPR dan berkonsentrasi penuh membesarkan partai.
Pertimbangan ketiga adalah saat masih bersaing dengan Akom di proses pemilihan calon ketua umum. ”Di hadapan Pak Ical (Aburizal Bakrie, Red), ada perjanjian Novanto tidak akan mengganggu posisi Ade sebagai ketua DPR,” ujarnya mengingatkan.
Doli menilai, indikasi dukungan istana atas naiknya kembali Setnov sebagai ketua DPR juga terlihat. Selama ini, pemerintah selalu mengagung-agungkan larangan rangkap jabatan kepada tokoh partai pendukung pemerintahan. Kini pernyataan yang muncul dari pemerintah sekadar bantahan.
”Seharusnya, tidak cukup hanya bantahan. Pak Jokowi seharusnya kasih saran sebaiknya Setnov tidak mengajukan diri,” kata Doli.
Di tempat yang sama, anggota Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi menyerukan kepada Setnov untuk tidak terpengaruh. Menurut dia, jangan hanya karena keputusan pleno, lalu Setnov memutuskan untuk masuk kembali sebagai pimpinan DPR. Taufiq juga berharap presiden bisa menyampaikan pernyataan tegas atas polemik itu.
”Saya berharap Presiden jangan terpengaruh pada langkah-langkah yang dikesankan langkah istana. Saya juga berharap Pak Setnov itu wise, jangan dikesankan DPR itu greedy (tamak, Red),” kata Taufiq. (fat/bay/c6/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... "Saya Imbau Warga NU Tidak Ikut Berdemo"
Redaktur : Tim Redaksi