Pandemi global virus corona memaksa hampir setiap negara menutup pintu masuknya dan memfokuskan diri pada urusan dalam negeri, baik dalam menangani penyakit maupun menjaga kondisi ekonomi.

Kekuatan dan ketahanan domestik negara diuji, di saat berbagai bantuan kerjasama internasional tidak bisa diandalkan.

BACA JUGA: Tegas, Wako Solo Ingatkan Presiden Jokowi Tak Usah Mudik daripada Dikarantina

Alih-alih kerja sama internasional, konsep survival of the fittest (siapa yang kuat, dia yang menang) malah dipertontonkan dalam situasi pandemi ini. Pembajakan modern

Negara adidaya Amerika Serikat, misalnya, dituduh oleh beberapa negara Uni Eropa telah membajak pembelian masker dan pasokan medis untuk menangani wabah COVID-19 dengan cara menawarkan harga yang lebih mahal.

BACA JUGA: Pastor Nekat Gelar Kebaktian saat Pandemi Corona, Langsung Dibubarkan

Tuduhan-tuduhan ini dilatarbelakangi tingginya permintaan alat pelindung diri seperti masker dan penutup wajah di Amerika Serikat.

Pada awal April, beberapa pejabat Pemerintah Jerman menuduh Amerika Serikat telah mencegat kiriman peralatan medis dari Thailand di bawah bendera perusahaan pemasok medis 3M, dan mengalihkan pengiriman tersebut ke Amerika Serikat.

BACA JUGA: Kementan Sigap Antisipasi Dampak Covid 19

Dugaan intersepsi peralatan medis oleh AS ini disebut Mendagri Jerman sebagai bentuk 'pembajakan modern', seperti yang dikutip koran Der Tagesspiegel (03/04).

Tuduhan senada juga dilontarkan Perancis. Menurut salah seorang pejabatnya, AS telah mengalihkan pengiriman masker medis dari Shanghai yang awalnya dialamatkan ke Perancis.

"Mereka [Amerika Serikat] menawarkan harga tiga kali lipat dan mereka sanggup untuk membayar di muka. Saya tidak bisa melakukan itu," kata Valérie Pécresse, pemimpin wilayah Île-de-France, yang mencakup Paris, seperti yang dilansir The Guardian (04/04).

"Saya membelanjakan uang rakyat dan saya hanya dapat membayar pengiriman setelah memeriksa kualitasnya," tambahnya. Saling balas dan adu kuat External Link: Twitter Trump

 

Meski membantah tuduhan mengalihkan pasokan dari negara lain, Presiden AS Donald Trump telah menggunakan UU Produksi Pertahanan untuk mendorong perusahaan-perusahaan milik AS untuk memprioritaskan pesanan negaranya.

Pada Kamis (02/04), melalui akun Twitternya, Trump juga memerintahkan 3M untuk menghentikan ekspor masker bedah jenis N95 ke Kanada dan Amerika Latin.

"Kami telah memberikan 3M peringatan keras hari ini setelah melihat apa yang mereka lakukan dengan masker mereka," kicau Trump.

Perusahaan 3M menilai, permintaan Trump memiliki implikasi kemanusiaan yang signifikan, mengingat 3M adalah pemasok peralatan medis yang vital bagi Kanada dan Amerika Latin.

Selain itu, 3M juga memperingatkan bahwa penghentian tersebut bisa menjadi bumerang yang memicu pembalasan dari negara lain.

Keesokan harinya, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menuding langkah AS menghentikan ekspor peralatan medis ke Kanada sebagai sebuah kesalahan.

Ia juga memperingatkan bahwa negeri Paman Sam itu juga masih mengimpor peralatan medis dari Kanada.

"Ini sebuah kesalahan (yang dilakukan AS) dengan menghambat atau mengurangi perdagangan dua arah barang dan jasa yang esensial, termasuk peralatan medis," kecam Trudeau seperti yang dikutip npr.org (03/04). Analogi 'berburu rusa atau kelinci' saat pandemi

Contoh kasus tadi bisa menjadi gambaran bagaimana negara berperilaku dalam kondisi pandemi. Photo: A/Prof Randy Wirasta Nandyatama memakai analogi 'berburu rusa' dalam menganalisis hubungan antarnegara dalam mengatasi pandemi. (Supplied: Randy Wirasta Nandyatama)

 

Assisten professor dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Randy Wirasta Nandyatama menilai, respon terhadap pandemic COVID-19 memang masih cenderung negara-sentris, 'mencari selamat sendiri', dan didominasi pendekatan keamanan ketimbang kemanusiaan.

Padahal, menurutnya, jika negara-negara di dunia menyadari pentingnya kolaborasi internasional, penanganan COVID-19 dapat terjadi lebih cepat dan akan terjadi reformasi tatanan global.

Randy meminjam analogi 'berburu rusa' atau 'stag hunt' milik Jean-Jacques Rousseau, untuk menjelaskan model problem koordinasi pandemi saat ini.

Dalam analogi ini - ada dua jenis pemburu, yaitu pemburu rusa yang tingkat kesulitannya lebih tinggi serta memerlukan kerjasama, serta pemburu kelinci yang berburu sendiri-sendiri. Model Problem Koordinasi "stag hunt" Dalam bukunya yang berjudul Discourse on Inequality, filsuf Eropa Jean-Jacques Rousseau, pada 1754 bercerita tentang dua pemburu yang memiliki pilihan untuk berburu rusa atau kelinci. Keduanya harus pulang dengan membawa hasil. Masalahnya, walau bernilai lebih besar, pilihan berburu rusa berisiko tinggi dan mengharuskan para pemburu untuk berkolaborasi, bahkan tanpa saling tahu langkah apa yang diambil pihak lainnya. Ini membuat si pemburu cenderung mengambil pilhan kedua: berburu kelinci sendiri-sendiri, dibanding percaya bahwa pemburu lain bersedia bekerja sama untuk berburu rusa.

 

"Saat ini, banyak aktor, baik perorangan, komunitas, maupun negara yang berlaku seperti pemburu kelinci dalam analogi itu," ujar Randy kepada Hellena Souisa dari ABC News.

"Kita cenderung merespon pandemi sendiri-sendiri," tambahnya.

Namun, Randy memaklumi keputusan banyak negara saat ini yang memilih bekerja sendiri dibanding bekerja sama.

"Saya melihat [tindakan] ini muncul karena informasi yang terbatas dan horizon kalkulasi strategis yang pendek," kata Randy.

Namun apakah aksi berburu kelinci ini akan berlanjut setelah pandemi usai sehingga mengubah secara drastis tatanan hubungan internasional, Randy juga tidak terlalu yakin.

"Pandemi ini adalah critical juncture. COVID-19 ini sebenarnya hadir dalam memberikan ruang perubahan dalam tatanan liberal yang selama ini didominasi Barat."

"Jadi [kondisi hubungan internasional] nanti sangat bergantung pada kekuatan siapa yang dominan di akhir masa pandemi ini," imbuhnya. Masa depan hubungan Australia-Indonesia

Pandemi COVID-19 juga tanpa kecuali mempengaruhi hubungan bilateral Australia-Indonesia.

Jika Amerika Serikat sempat bersitegang dengan Jerman, Perancis, dan Kanada soal pasokan peralatan medis, penarikan sementara Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, diwarnai masalah kepercayaan antara dua negara. Photo: Duta Besar Australia, Gary Quinlan, berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Jakarta. (Supplied: Australian Embassy, Jakarta)

 

Penarikan sementara tersebut diumumkan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) pada 9 April 2020 sebagai bentuk pencegahan penularan virus corona.

"Berdasarkan saran medis, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan AO, untuk sementara dipindahkan ke Australia. Duta Besar Quinlan akan terus mengawasi kegiatan kedutaan besar dari Australia," tulis Deplu Australia di laman resminya.

"Ini murni tindakan pencegahan," kata Australia menjelaskan alasan penarikan sementara Dubes Quinlan.

Namun, di saat yang sama, Kedutaan dan Deplu juga mengeluarkan peringatan kepada warga Australia untuk meninggalkan Indonesia 'selagi masih bisa' karena alasan standar layanan kesehatan setempat.

Dalam konteks itu, keputusan untuk menarik duta besar dimaknai sebagai kurangnya kepercayaan pada kesiapan Indonesia dalam penanganan COVID-19 yang diperkirakan bisa memakan korban hingga 120.000 orang.

Keprihatinan Australia terhadap situasi di Indonesia sekaligus uluran dukungan juga dikemukakan Perdana Menteri Scott Morrison dalam wawancara dengan stasiun TV SBS (15/04).

"Apa yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan," kata Scott Morrison. "Besarnya tantangan yang mereka hadapi jauh melampaui apa pun yang dapat dibayangkan oleh Australia."

"Kita perlu berada bersama mereka dan memberikan dukungan yang dapat kita lakukan. Tetapi besarnya tantangan di Indonesia memang tidak pernah kita saksikan sebelumnya di zaman ini," tambahnya. Photo: Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, menyampaikan kekecewaan Jakarta pada Canberra. (Supplied: ANTARA)

 

Tetapi Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah telanjur kecewa pada Canberra yang dianggap tidak melakukan apapun untuk memperbaiki pelintiran media yang menyebut alasan ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi pandemi corona sebagai alasan penarikan Gary Quinlan.

"Dari sudut pandang kementerian luar negeri, kami memahami situasinya dan bahwa [penarikan] itu karena alasan kesehatan, tetapi tentu saja kami tidak senang melihat perkembangan seputar berita tersebut. Semua orang diam di Canberra," kata Mahendra Siregar, Wakil Menteri Luar Negeri RI kepada harian The Australian (16/04).

"Ini adalah pandemi global dan saya pikir kita semua paham bahwa kita seharusnya berada dalam situasi ini bersama-sama dan saling mendukung. Tidak kurang," sambung Mahendra. Masalah klasik negara tetangga

Randy menilai yang terjadi antara Indonesia dan Australia saat ini adalah gambaran klasik karakter hubungan antarnegara tetangga.

Ia mengatakan, isu klasik Indonesia-Australia dapat dilihat dari dua perspektif.

Menurutnya, pandangan Australia cenderung mengedepankan aspek utilitarian secara sempit dan dalam banyak kasus mengabaikan komunikasi yang efektif dengan negara dengan perbedaan kultur.

"Sementara pandangan Indonesia cenderung berpikir bahwa Australia, yang meskipun lebih membutuhkan Indonesia dari pada Indonesia membutuhkan Australia, selalu bersikap seperti negara asing yang berada di kelas yang lebih tinggi dan memiliki niatan negatif dalam urusan domestik Indonesia," jelas Randy.

Pada saat performa kedua negara sedang lemah, komunikasi efektif dan kolaborasi mutual yang serius dianggap Randy bisa menjadi kunci perbaikan hubungan Indonesia – Australia.

Keberadaan Indonesia sebagai salah satu gerbang pertahanan ketahanan finansial di Asia, menurut sekelompok akademisi di Australia National University (ANU), membuat Australia harus memberikan bantuan kepada negara-negara di Asia kalau tidak mau krisis merembet ke Australia.

Sejumlah krisis keuangan mulai dari krisis Asia tahun 1997 dan krisis global 2008, menurut pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne, Tim Lindsey, juga bisa "mengingatkan Australia mengapa Indonesia begitu penting".

"Setelah [pandemi corona] ini selesai, Australia perlu melihat dengan sangat serius program bantuan yang belum pernah ada sebelumnya dan menjadikan kesehatan serta sistem pemerintahan Indonesia sebagai prioritas," kata Tim Lindsey kepada The Australian (11/04). China, Indonesia, Australia

Dalam level yang lebih luas, pandemi COVID-19 kini mengalami perkembangan terbaru dalam konteks hubungan internasional.

Beberapa negara, termasuk Australia, kini menggugat China agar terbuka menjelaskan asal-usul virus corona yang kini menjadi wabah global.

Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa bahkan menuding China sengaja menyembunyikan virus ini sehingga harus bertanggung jawab atas wabah corona.

Pemeritah China disebut-sebut Inggris telah menutupi permasalahan ini selama periode Desember 2019 - Januari 2020. Photo: Menlu Australia Senator Marise Payne mendorong perlunya digelar penyelidikan global untuk mengungkap asal-usul COVID-19. (ABC News: Matt Roberts)

 

Menlu Australia Senator Marise Payne juga telah mendorong perlunya dilakukan penyelidikan asal-usul virus corona.

Desakan yang sama disampaikan Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, agar China lebih transparan mengenai pandemi COVID-19, sebagai jawaban untuk keluarga dari puluhan warga Australia yang meninggal akibat virus ini.

"Tentu saja kita pun akan dituntut jika Australia yang menjadi epicentrum virus ini yang kemudian menyebar ke masyarakat," kata Menteri Dutton.

"China harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan memberi informasi sehingga masyarakat mendapatkan kejelasan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, karena kita tidak ingin hal itu terulang," katanya.

Menteri Dutton sendiri positif terinfeksi virus corona dan terpaksa menjalani perawatan rumah sakit pada Maret lalu.

Sikap Australia terhadap China, dan sebaliknya, atas isu ini sedikit banyak akan mempengaruhi dinamika hubungan keduanya setelah pandemi. Photo: Presiden Joko Widodo dan Presiden China, Xi Jinping pada pertemuan di Beijing in 2017. (Supplied: REUTERS)

 

Tetapi di Indonesia, gugatan yang serupa tidak terjadi.

Meski laten, sentimen anti-China sebagai kambing hitam COVID-19 belum mengemuka.

Randy malah melihat, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap produksi dan pasar China tidak akan berubah banyak setelah pandemi, karena pada kenyataanya agak sulit bagi Indonesia untuk mengalihkan pasar atau mencari sumber produsen baru.

"Dengan banyaknya dana yang harus reaalokasikan untuk jaring pengaman sosial selama pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia akan cenderung semakin bergantung kepada kerjasama pendanaan asing bagi proyek-proyek pembangunan pasca pandemi COVID-19," kata Randy.

"Ini termasuk kerjasama pendanaan pembangunan dari China," pungkasnya.

Ikuti ulasan menarik lainnya dari ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berita Duka, Bos Pabrik Kecap Meninggal Karena Corona

Berita Terkait