Seperti diketahui, Gubernur NTB KHM Zainul Majdi mewakili Pemerintah Provinsi NTB telah mengajukan judicial review Pasal 66A ayat (1) UU Cukai ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji.
Pasal 66A ayat (1) itu menyatakan: "Penerimaan Negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal."
NTB, sebagai provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, merasa sangat dirugikan atas berlakunya Pasal 66A ayat (1) UU Cukai tersebut
BACA JUGA: Elektronik Indonesia Mulai Dilirik Pasar Internasional
Karena, berdasarkan kenyataan, cukai hasil tembakau hanya diberikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau, dalam hal ini provinsi yang memiliki pabrik rokok, sedangkan Provinsi NTB tidak mendapatkan apa-apa.Ditanya terkait masalah itu, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa harus ada pembedaan provinsi sebagai penghasil cukai tembakau dan penghasil tembakau
Tidak hanya masalah cukai, Sri Mulyani pun menjelaskan bahwa daerah-daerah seringkali meminta dana untuk kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan dari pemerintah pusat
BACA JUGA: Pemerintah dan DPD Tolak Penetapan KEK di Daerah Baru
Jaminan dana untuk kesejahteraan tersebut sebenarnya telah dialokasikan seluruhnya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan telah sesuai konteks menurut standar nasional.''Apabila pasal tersebut dibatalkan oleh MK, maka yang rugi justru adalah daerah,'' ungkap Sri Mulyani.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pemohon, Andy Hadiyanto, saat dikonfirmasi JPNN di Jakarta, Rabu (25/2), menyatakan bahwa Provinsi NTB hanya ingin mendapatkan haknya, yakni 2% dari hasil cukai tembakau itu
BACA JUGA: Ekspor Indonesia ke Australia Ditarget Naik 5 Persen
Jadi, wajar saja kalau NTB menginginkannya demi kesejahteraan petani tembakau,'' katanya.Kelanjutan sidang pengujian UU Cukai di MK sejatinya sudah digelar Selasa (24/2), dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak pemerintah, dalam hal ini Menkeu Sri MulyaniNamun demikian, MK sendiri tidak bisa membuat pasal baru, hanya bisa menegaskan pasal dalam undang-undang tersebutJadi, apakah Pasal 66A ayat (1) tersebut akan mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak, itu tergantung dari amar putusan Hakim Konstitusi yang nantinya akan disampaikan pada sidang yang bakal digelar sepekan kemudian(sid/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sektor Pertanian Siap Masuki Pasar ASEAN
Redaktur : Tim Redaksi