Dampak Aturan Baru BPJS: Pasien Turun 40 Persen

Minggu, 16 September 2018 – 06:27 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: Idham Ama/Fajar/dok.JPNN.com

jpnn.com, MALANG - Pihak manajemen rumah sakit dan pasien mulai merasakan dampak aturan baru BPJS Kesehatan.

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 4 Tahun 2018 yang baru diterima pihak RS pada pertengahan Agustus 2018 lalu ini, menyebabkan pasien tidak lagi bisa membuat rujukan ke rumah sakit pilihan yang dia kehendaki dari sisi kualitas layanan.

BACA JUGA: Rupiah Melemah, Minta Harga Obat Naik 5 Persen

Di aturan tersebut, BPJS telah mengatur secara sistematis, pasien wajib mendapat tindakan kali pertama dari fasilitas kesehatan tingkat pertama atau dikenal faskes pertama sebelum lanjut ke RS rujukan.

Pasien wajib mendaftarkan ulang rujukan mereka melalui online terlebih dulu. Rujukan yang diberi istilah rujukan berjenjang ini, apabila sudah terdaftar melalui online otomatis BPJS sudah akan menentukan RS atau faskes pertama dengan sistem radius.

BACA JUGA: Rumah Sakit Bisa Pakai Dana Talangan dari Perbankan

Nah, sistem radius ini mengatur RS atau faskes pertama terdekat sejauh 15 kilometer dari rumah pasien. Jika tidak ada pelayanan kesehatan dalam radius 15 kilometer, akan ditingkatkan ke radius 30 kilometer jauhnya. Kalau tidak ada lagi RS yang bisa ditemui, maka radius jauhnya naik menjadi 45 kilometer.

Sementara itu, Kepala Bidang Pelayanan Medik BPJS Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang dr Syaifullah Asmiragani SPOT (K) menjelaskan, sistem radius ini mengutamakan pasien tertangani dulu di tingkat faskes pertama.

BACA JUGA: BPJS Menunggak Bayar Klaim, RSU Fauziah Krisis Parah

Di tingkat faskes pertama, ada puskesmas dan klinik kesehatan serta dokter keluarga yang menangani para pasien. Barulah jika kondisi pasien tidak memungkinkan ditangani faskes pertama, pasien akan dirujuk ke RS maupun fasilitas kesehatan di tingkat lanjut atau fakes lanjutan.

”Tapi, pasien tidak boleh langsung daftar di rumah sakit tertentu. Ada empat tipe rumah sakit yang disesuaikan dengan kondisi pasien,” ujar dokter spesialis ortopedi ini. Ada empat tipe rumah sakit mulai dari tipe terkecil, yakni D menuju tipe C, tipe B, hingga tipe A.

Pasien yang dirujuk ke RS akan diobservasi lagi keadaan kesehatannya. Jika kondisi pasien bisa ditangani di RS tipe D, tidak perlu loncat ke tipe di atasnya. Kecuali, jika pasien memang memerlukan tindakan darurat yang layanannya hanya ada di RS tipe tertentu, bisa loncat tipe RS. Asalkan, memang sudah dipastikan kondisi pasiennya segawat apa oleh dokter yang bertugas di fakes pertama.

Aturan ini, Syaifullah menjelaskan, dimaksudkan untuk memaksimalkan layanan kesehatan faskes pertama dan RS tipe D dan tipe C. Selama ini, pasien BPJS selalu membuat rujukan di RS tipe A dan tipe B. Padahal, kondisi pasien bisa tertangani di tipe D dan tipe C yang terdekat dari rumah mereka tinggal.

”Sebenanrya rujukan berjenjang ini cukup mengurangi antrean yang menumpuk di dalam rumah sakit,” tutur Syaifullah lagi.

Sayangnya, menurunnya jumlah antrean pasien di RS berarti menurun pula jumlah pasiennya. Syaifullah mengakui sebelum aturan ini diterapkan, dalam sehari RSSA menampung 2.100 pasien BPJS. Jumlah ini, meliputi pasien rawat jalan dan rawat inap. ”Dari sistem baru ini, ada penurunan hingga 40 persen pasien BPJS per hari,” ujarnya.

Di sisi lain, cukup menimbulkan kebingungan bagi pasien yang masih menggunakan rujukan manual. Mereka terpaksa kembali ke rumah dan membuat rujukan online di faskes pertama terdekat. ”Terutama pasien dari luar kota yang tidak paham aturan baru hanya ada dua pilihan utama,” kata Syaifullah.

Pertama, pulang dengan tangan kosong maupun kedua tetap berada di RS tapi biayanya menggunakan biaya pribadi.

Syaifullah berpendapat, seharusnya ada kelongggaran bagi pasien yang masa rujukan manualnya masih berlaku tiga hingga enam bulan ke depan. Pasien seharusnya diperbolehkan menghabiskan sisa waktu rujukan manualnya. Meski nantinya per 15 September akan ada tindak lanjut (TL) dari BPJS, dia berharap bisa diberi kelonggaran bagi pasien, terutama pasien luar kota untuk memahami teknis baru BPJS.

Sementara di RS Lavalette, aturan ini baru akan diterapkan pada 16 September. Ini disampaikan Person In Charge (PIC) atau penanggung jawab BPJS RS Lavalette dr M. Syamsul Arifin. ”Aturan baru ini bisa menimbulkan komplain jika tidak disosialisasikan dengan baik kepada pasien,” ujarnya.

Saat ini kondisi RS sedang kelimpungan dengan aturan BPJS yang bertumpuk-tumpuk. Pertama, ada Perdirjampelkes Nomor 2, Nomor 3, dan Nomor 5 Tahun 2018, yang mengatur masalah fisioterapi, kelahiran bayi, dan katarak.

Ditambah Perdirjampelkes No 4 Tahun 2018. ”Kami masih terus berupaya memahami dan menjalankan fungsi aturan ini sebaik mungkin,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini.

Meski dia membenarkan adanya peraturan rujukan berjenjang bisa mengurangi jumlah pasien, mau tak mau RS yang terkoneksi dengan BPJS wajib menjalankan. ”Sementara, biaya operasional rumah sakit ini 80 persen dananya berasal dari BPJS,” tutur Syamsul.

Dari pihak BPJS di Malang Raya, baru pihak BPJS Kota Batu saja yang berhasil dikonfirmasi. Kepala BPJS Kota Batu Prasetyo Wibowo menyatakan secara umum sebenarnya aturan rujukan berjenjang ini sudah ada sejak dulu. Namun, baru ditata ulang atau ditertibkan tahun ini. Tujuannya, bukan untuk memeratakan jumlah pasien di masing-masing rumah sakit dan faskes pertama.

”Tujuan utamanya untuk meningkatkan pelayanan fasilitas kesehatan bagi pasien dari jarak terdekat mereka berdomisili,” ujar Prasetyo.

Nah, Prasetyo menyatakan, seharusnya pasien di Kota Batu khususnya dan Malang Raya umumnya tidak perlu khawatir. Sebab, sistem ini membantu pasien selain mendapatkan faskes terdekat, juga hemat di ongkos perjalanan. Satu lagi keuntungan bagi pasien, tidak perlu mengantre terlalu lama.

Di sistem online BPJS ini, riwayat penyakit, pengobatan, dan dokter yang menangani bisa terlihat dari sistem. ”Sistem online ini sangat memudahkan pasien untuk sedini mungkin mendapat pertolongan pertama kesehatan,” kata Prasetyo.

Meski begitu, setiap petugas yang merujuk pasien wajib meneliti benar kondisi pasien. Sebab, di RS tipe B dan A seharusnya digunakan untuk melayani pasien dengan kondisi gawat darurat. ”Kalau bisa ditangani di faskes pertama dan rumah sakit tipe C dan D, mengapa harus berjubel di tipe B dan A?” tambahnya lagi. (san/c2/mas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemelut Defisit BPJS Kesehatan Terus Berlanjut


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler