jpnn.com - ORANG-ORANG spiritual menyebut Kawah Putih di puncak Gunung Patuha tempat bersemayam para leluhur. Sekian penulis mengandaikannya ceceran sorga di muka bumi.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Sajak Bung Karno
Dr. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) tidak begitu saja mempercayai cerita rakyat; bahwa Kawah Putih di puncak Gunung Patuha, Bandung Selatan terlalu angker.
Dia penasaran apa yang membuat rakyat setempat bergidik memasuki hutan berkabut itu.
BACA JUGA: The Adventure of Magellan
Pada 1837, peneliti botanis Belanda kelahiran Jerman tersebut menembus hutan belantara mendaki Gunung Patuha.
Sesampai di puncak, dia mendapati danau kawah yang begitu indah.
BACA JUGA: Pulau Terindah di Dunia ini Ditemukan Saat...
Memang indah. Betul-betul indah. Jumat, 24 Februari 2017, JPNN.com ke sana beserta sejumlah wartawan dan rombongan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mampir ke Kawah Putih.
Seolah berada di negeri awan. Pada tempo-tempo tertentu, sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah gumpalan awan berwarna putih.
Bilamana angin bertiup, awan bergeser, terbentanglah kawah cantik dan dinding cadas yang ditumbuhi pohon kayu khas gunung berapi. Seperti rasamala, saninten, huru, samida dan lain sebagainya.
Penat-penat seketika pulih begitu mata disuguhkan panorama alam nan begitu indah. Pohon-pohon tinggi yang menjulang saling bergandengan diselimuti kabut putih.
Langit seolah hanya sejengkal dari kepala. Saking aduhainya, banyak penulis yang mengandaikannya umpama ceceran surga di muka bumi.
Nah, sebelum diteliti Junghuhn, "surga yang tercecer" itu terkenal sangat angker.
Burung akan mati bila melintas di atas kawah. Manusia-pun enggan untuk menjamahnya. Sepenglihatan, memang tak satu pun burung berterbangan di sana.
Menurut cerita rakyat, secara harafiah, Gunung Patuha berasal dari kata Patua atau Pak Tua.
"Orang sini menyebut itu Gunung Sepuh," kata Pak Kani, 57 tahun, rakyat setempat yang punya warung di Bukit Cinta, Setu Patengan.
Oiya, sebelum berangkat bersama rombongan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup ke Kawah Putih, pagi-pagi sekali saya sempat olahraga ringan di sekitar Setu Patengan yang udaranya…ambooooi, segar betul.
Dipandang dari Setu Patengan yang jaraknya hanya "sepelemparan batu" dari Kawah Putih, Gunung Patuha nampak begitu tenang, anggun dan berwibawa.
Menurut cerita orang kebatinan, disebut Gunung Sepuh antara lain karena di sana ada beberapa makam leluhur.
Antara lain makam Eyang Jaga Satru, Eyang Rongga Sadena, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom, dan Eyang Jambrong.
Satu di antara puncak Gunung Patuha yakni Puncak Kapuk—disebut-sebut sebagai tempat pertemuan para leluhur yang dipimpin oleh Eyang Jaga Satru.
Katanya, di tempat ini secara gaib terlihat sekumpulan domba berbulu putih. Masyarakat setempat menyebutnya domba lukutan.
Saat rombongan tiba di Kawah Putih, saya lantas saja menyambangi petugas yang mengurus wilayah tersebut. Namanya Memen, 66 tahun dan Agus Topan, 26 tahun.
Keduanya seirama bercerita, "di depan kita ini," maksudnya puncak sebelah Utara danau kawah, "ada Sunan Rama. Patilasan Prabu Siliwangi. Tempat istirahatnya. Tempat berkumpulnya para leluhur."
Menurut mereka, di puncak itu ada lekukan. Itulah tempatnya. Biasanya ramai di bulan-bulan tertentu. Orang-orang yang datang menginap. Bawa tenda.
Lokasi itu bersebelahan dengan Kawah Saat. Saat bahasa Sunda yang artinya kering. Kawah ini, diyakini terbentuk saat letusan pertama Gunung Patuha. Sedangkan Kawah Putih terbentuk ketika letusan kedua.
Sejumlah literatur mencatat, letusan Gunung Patuha diperkirakan terjadi sekitar abad X dan XII silam.
Di puncak sebelah Barat Kawah Putih, ada petilasan Sunan Ibu. Ceritanya lebih kurang sama dengan Sunan Rama.
Kata Kang Memen, baik ke Sunan Rama pun ke Sunan Ibu, ada juru kuncinya. Tetua rakuat setempat. Kediamannya dekat gerbang tiket masuk kawasan Kawah Putih. Namanya Bah Eyen.
Meski usianya lebih kurang 90-an tahun, perkara mendaki, Bah Eyen bisa diadu dengan anak muda.
***
Kembali ke cerita Junghuhn. Pada 1837, dia meneliti Kawah Putih.
Hasil penelitiannya berhasil mengungkap bahwa kandungan fumarol belerang yang sangat tinggi di Kawah Putih lah yang menyebabkan burung-burung mati jika melintasi danau kawah.
Berkat penelitiannya juga, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun pabrik belerang Zwavel Ontgining-Kawah Putih.
Tentang Junghuhn dan penelitiannya, diulas cukup baik dalam buku Pameran Memperingati 200 Tahun Peneliti Pulau Jawa Frans Wilhelm Junghuhn (1809-1864): Meneliti, Mengukur, Berselisih karya Gerhard Aust yang diterbitkan Goethe Institut Jakarta.
Pada zaman Jepang (1942-1945), usaha pabrik belerang di puncak Gunung Patuha itu dilanjutkan dengan nama Kawah Putih Kenzanka Gokoya Ciwidey dalam penguasaan militer Jepang.
Goa peninggalan bekas pertambangan belerang itu masih ada. Hanya saja, kini sudah dipalang pakai kayu. Jangankan masuk, berdiri lama-lama di depan goa itu saja dilarang. Katanya, berbahaya buat kesehatan.
Dulu, belerang yang ditambang dari tempat ini diangkut menggunakan kereta. Belanda membangun rel kereta dari Kawah Putih hingga Ciwidey. Kini, meski terputus-putus, rel itu pun masih ada. Melintang di hutan, tepi jalan dan perkampungan.
"Untuk wisata, ada rencana menghidupkan kembali jalur kereta itu," kata Lies Bahunta, Head Ecotourism & Agribusiness Bureau, Perhutani se-Jawa, dalam sebuah perbincangan santai dengan JPNN.com.
***
Berada di ketinggian 2.434 meter di atas permukaan laut dengan suhu antara 8-22°C, akses ke puncak Gunung Patuha, Kecamatan Ciwidey, Bandung Selatan tak lah rumit.
Dari Jakarta, masuk tol arah Bandung. Keluar di pintu Tol Kopo. Ambil arah Soreang. Lanjut ke Ciwidey. Di kanan kiri jalan yang berliku dan turun naik, Anda bisa menikmati hamparan kebun strawberry.
Sekitar 20 hingga 30 menit dari Kota Ciwidey, petunjuk jalan akan memandu Anda menuju gerbang objek wisata Kawah Putih.
Dari pintu gerbang ke puncak Patuhan untuk melihat keindahan danau kawah, jaraknya sekira 5,6 km. Hanya 10 hingga 15 menit bila menggunakan kendaraan.
Medannya menanjak. Cukup curam dan sempit. Kurang lihai, kendaraan Anda bisa mundur karena tak mampu naik.
Bila naik transportasi publik, dari Kota Bandung naik angkutan umum tujuan Ciwidey. Dari Ciwidey disambung angkutan pedesaan tujuan Situ Patengan.
Bilang saja sama sopirnya, “mau ke kawah putih, kang…” maka Anda akan diturunkan persis di pintu gerbangnya.
Kendati ‘ceceran sorga’ itu sudah ditemukan sejak 1837, masyarakat luas baru bisa menikmati keindahannya sejak tahun 1987 setelah PT Perhutani (Persero) Unit III Jabar dan Banten mengembangkannya menjadi obyek wisata.
"Mulanya itu objekt wisata rintisan. Sekadar tiket. Sejak 2010, potensi wisata tersebut mulai dibenahi secara serius oleh Perhutani," kata Lies Bahunta.
Lazimnya kawah gunung berapi pada umumnya, yang mengeluarkan aroma lava belerang dan gas, begitu pulalah Kawah Putih. Aroma belerangnya cukup menyengat. Macam bau kentut.
Ada tanah datar sehamparan persis sebelum tangga turun ke danau kawah. Semacam pelataran. Selain onggokan batu alami pertanda pintu masuk ke kawah, di situ ada saung.
Kang Ayi, 50 tahun, tampak asyik duduk dengan sebuah alat musik tradisional Sunda; kecapi.
Setelah obrol sana-sini, lelaki yang sudah sejak 22 tahun silam main kecapi di altar Kawah Putih itu pun mendendangkan sebuah lagu untuk saya. Ya, hanya sebuah lagu.
Bubui bulan…bubui bulan sangrai bentang…panon poe…panon poe disasate…
Bagi orang yang mengaji falsafah Sunda. Ini lagu bukan sembarang lagu. Ia semacam sastra mantra. Secara harafiah syair itu punya arti, "bulan dikukus, bintang disangrai, matahari disate."
Kang Ayi, tidak membeber falsafah yang terkadung di dalamnya. Ia asyik berdendang seraya memetik dawai-dawai kecapi.
Petikan kecapi nan sahdu di puncak Gunung Sepuh. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nih Yang Mau Tahu Riuh Rendah Sejarah Hari Pers
Redaktur & Reporter : Wenri