jpnn.com - FEBRUARI 1963. Persis 59 tahun lampau. Presiden Soekarno bertandang ke Jepang. Setelah Indonesia merdeka, inilah kunjungan pertama Si Bung ke negeri "saudara tua". Dan, yang mau kita kisahkan…ini bukan lawatan resmi kenegaraan.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Kesadaran Warga di Taman Bung Karno Menyedihkan
29 Januari 1963. Pesawat yang menerbangkan Presiden Soekarno mendarat mulus di Tokyo, Jepang.
Karena bukan kunjungan resmi, kepolisian Metropolitan Tokyo menolak bertanggungjawab atas keselamatan proklamator kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA: Misteri Pohon Sukun Bercabang Lima di Taman Bung Karno
Konsul Jenderal Indonesia di Tokyo, Iskandar Ishak pun menghubungi Kodama Yoshio, pimpinan politisi sayap kanan yang sebenarnya tokoh bawah tanah Yakuza.
Kodama menugaskan orangnya, yakni Kobayashi Kusuo, Direktur Utama Dai Nihon Kyogyo—Perusahan Konstruksi Jepang Raya yang punya "kuasa" atas Polisi Ginza untuk menjalankan tugas.
BACA JUGA: Mahfud Mengutip Bung Karno soal Pilih Pemimpin Seagama
Kobayashi mengerahkan 20 orang Polisi Ginza untuk mengawal Bung Karno selama berada di Jepang.
Kodama juga menugaskan "orangnya" yang lain, yakni Kubo Masao yang lihai berbahasa Inggris sebagai penghubung antara Bung Karno, polisi dan para gengster.
Kobayashi dan Kodama adalah Dewan Direksi Tonichi Trading Company, perusahaan milik Kubo Masao.
Kubo memerintahkan Masaya Kirishima, "karyawan" Tonichi untuk mendampingi dan melayani apa-apa yang dibutuhkan Bung Karno.
"Kirishima ini orang yang mengenalkan Bung Karno dengan perempuan Jepang yang kemudian menjadi istrinya…Ratna Sari Dewi," kata Aiko Kurasawa, guru besar Keio University, Tokyo kepada JPNN.com, tempo hari.
Meski bukan kunjungan resmi kenegaraan, pada 3 Februari Bung Karno diundang jua ke makan siang oleh Kaisar Hirohito di kediamannya.
Di penghujung kunjungannya, 15 Februari, saat hendak bertolak kembali ke tanah air, Bung Karno jumpa kawan lama. Namanya Shigetada Nishijima, tangan kanan Laksamana Muda Tadashi Maeda semasa zaman pendudukan Jepang di Indonesia.
Dua sekondan itu bernostalgia. Mengenang masa-masa sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Agaknya mereka larut dalam romantisme masa lalu. Pasalnya, dalam pertemuan yang sesaat itu, Si Bung sempat-sempatnya menulis selarik rangkain kata umpama sajak.
Kepada Sdr. Ichiki Tatsuo
dan sdr. Yoshizumi Tomegoro
Kemerdekaan bukanlah milik
sesatu bangsa sadja, tetapi
milik semua manusia.
Tokyo 15 Februari 1958
Soekarno
Ichiki Tatsuo pemimpin redaksi Asia Raya. Dia banyak menerjemahkan buku taktik perang gerilya dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia.
Haji Agus Salim memberinya nama Abdul Rahman.
Nama kedua yang disebut Bung Karno dalam selembar kertas berlogo Garuda Pancasila itu Yoshizumi Tomegoro. Biasa juga disebut Tomegoro Yoshizumi.
Redaktur To Hindo Nippo di zaman kolonialisme Belanda ini menjabat Kepala Intelijen Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang semasa Jepang menguasai negeri ini.
"Tan Malaka memberinya nama Arif," sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Intel Jepang.
Pada zaman perang revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949), keduanya berjibaku berperang di pihak Indonesia menghadapi Sekutu-Belanda yang berusaha merongrong kemerdekaan Indonesia.
Supucuk surat Bung Karno itu pun diukir pada sebuah monumen di Seisho Ji, kuil Budha tua sekte Zen di dekat Tokyo Tower.
Nah, ketika Bung Karno menulis kata-kata bertenaga itu di Tokyo, "kemerdekaan bukanlah milik sesatu bangsa sadja, tetapi milik semua manusia", saat bersamaan di Indonesia, rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan Soekarno memproklamirkan PRRI, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... The Adventure of Magellan
Redaktur & Reporter : Wenri