jpnn.com, JAKARTA - BPJS Kesehatan hingga Jumat (21/9) belum menerima dana talangan Rp 4,9 triliun dari pemerintah. Pencairan dana talangan tersebut sudah melalui proses administrasi pekan ini. Dana tersebut akan dicairkan pekan depan.
”Insya Allah Senin (24/9),” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo. Selain mencairkan dana talangan yang bersumber dari Anggaran Belanja dan Pendapatan (APBN), pemerintah juga sedang membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
BACA JUGA: PBPU Salah Satu Pemicu Defisit BPJS Kesehatan
Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Perpres No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan yang baru saja keluar. Aturan tersebut akan mengatur teknis pencairan dana talangan BPJS Kesehatan yang bersumber dari pajak rokok.
Terkait nominal pajak rokok yang akan digunakan untuk menutup defisit, lanjut Mardiasmo, tidak semua daerah akan ditarik. Dari potensi pajak rokok sebesar Rp 14 triliun tahun ini, ada potensi alokasi dana Rp 5 triliun untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.
BACA JUGA: Disumbang Pajak Rokok, BPJS Kesehatan Masih Defisit Rp 5 T
Namun, karena yang ditarik dana tersebut hanya daerah yang menunggak iuran BPJS Kesehatan, maka potensi riil dari pajak rokok yang dapat dipakai untuk menutup defisit hanya Rp 1,1 triliun saja. Selain itu, alokasi dana Program JKN dari pajak rokok tidak semuanya digunakan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.
Menurut Mardiasmo, dana JKN dari pajak rokok juga bisa dialokasikan untuk hal-hal lain. Misalnya, belanja untuk pengembangan Puskesmas, rumah sakit, tenaga medis dan alat kesehatan. "(Selain itu) bisa digunakan untuk membantu BPJS Kesehatan kalau ada yang kurang, misal untuk Jamkesda-nya," ujarnya.
BACA JUGA: Defisit Sudah Diprediksi sejak BPJS Kesehatan Dibentuk
Pembayaran pajak rokok untuk defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,1 triliun itu akan direalisasikan bertahap. Yakni, pencairan pada bulan depan untuk defisit pada kuartal III 2018, serta pencairan pada Januari 2019 untuk defisit pada kuartal IV 2018.
Sejauh ini, pemerintah telah menetapkan anggaran untuk menutup defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 7,48 triliun. Rinciannya, Rp 4,9 triliun dari APBN, Rp 1,1 triliun dari pajak rokok dan Rp 1,48 triliun dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT).
Meski dana tersebut masih kurang untuk menutup keseluruhan defisit BPJS Kesehatan, namun pemerintah tetap berkomitmen untuk mencari solusi dari kekurangan ini. "Kan ada pajak rokok, ada lagi dana kapitasi yang barangkali bisa mengurangi (defisit), banyak. Itu ada yang namanya policy mix atau bauran kebijakan," tandas Mardiasmo.
Jumlah dana talangan untuk BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 triliun tersebut dinilai kurang untuk menutup defisit oleh Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso. Menurut perhitungannya, BPJS Kesehatan membutuhkan Rp 16,5 triliun untuk tahun ini.
Kemal membeberkan bahwa menurut rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018, BPJS Kesehatan tahun ini mengalami kekurangan dana sebesar Rp 12,5 triliun. Setelah RKAT yang ditetapkan akhir tahun lalu itu berjalan, BPJS Kesehatan ternyata masih memiliki beban (carry over, Red) 2017 Rp 4 triliun.
”Sehingga uang iuran yang dikumpulkan pada 2018, sebagian digunakan untuk membayar beban 2017. Dari tahun sebelumnya sudah ada beban. Di dunia korporasi keuangan itu hal yang wajar-wajar saja,” ungkapnya.
Tak hanya itu permasalahan BPJS Kesehatan. Pada pembayaran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayar dengan APBN, BPJS Kesehatan juga merugi. Pasalnya iuran yang dibayarkan pemerintah kurang. Untuk perawatan di kelas 3, BPJS Kesehatan menetapkan biaya sekitar Rp 25.500.
Sedangkan PBI yang dibiayai ABPN hanya Rp 23.000. Jumlah peserta PBI APBN adalah 9,2 juta penduduk. ”Untuk satu orang perbulan kurang Rp. 2.500. Untuk 9,2 juta penduduk berarti BPJS Kesehatan harus rugi Rp 23 miliar,” ungkapnya.
Beban lainnya berasal dari peserta bukan penerima upah (PBPU). Menurut catatan BPJS Watch per Mei 2018 saja, ada Rp 1,8 triliun yang belum dibayarkan oleh PBPU. ”Peserta tidak aktif PBPU pertengahan Juni sekitar 27 juta jiwa, separuhnya tidak aktif,” ungkapnya. Kemal menambahkan bahwa secara umum memang kolektabilitas pembayaran peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 99 persen. Hanya kelompok PBPU saja yang mokong.
Akibat defisit ini tidak main-main. Akibat tidak ada dana, Kemal mengakui bahwa BPJS Kesehatan terlambat membayar ke rumah sakit. ”Kalau ada uangnya langsung saya bayarkan. Tunggu dulu,” ungkapnya. Padahal jika BPJS Kesehatan terlambat membayarkan ke rumah sakit selama satu bulan saja, mereka akan didenda satu persen dari hutang tersebut. Akibatnya menurut data per-Mei lalu, BPJS Kesehatan menanggung beban Rp 4,2 miliar akibat hutang Rp 4,2 triliun.
Walaupun demikian, Kemal meyakinkan jika kondisi keuangan BPJS Kesehatan tidak akan mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat. ”Sejak adanya BPJS Kesehatan masyarakat merasa aman walaupun sakit dan kualitas layanan faskes membaik. Faskes mulai terbentuk jiwa service excellence,” tutur pria asli Surabaya itu. (rin/lyn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Sampai BPJS Kesehatan nanti Kembali Kejang-kejang
Redaktur & Reporter : Soetomo