jpnn.com, JAKARTA - Tahun ini diprediksi defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 12,5 triliun. Belum ditambah dari beban tahun lalu yang mencapai Rp 4 triliun. Salah satu penyumbang defisit tersebut berasal dari peserta bukan penerima upah (PBPU) yang per Mei saja mencapai Rp 1,8 triliun.
Di sisi lain, pemerintah mencoba mengurai benang kusut BPJS Kesehatan. Selain menggelontorkan uang senilai Rp 4,9 triliun, pemerintah pusat mengharuskan pemerintah daerah untuk mendukung jaminan sosial dengan cara memotong pajak rokok.
BACA JUGA: Disumbang Pajak Rokok, BPJS Kesehatan Masih Defisit Rp 5 T
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso menyebutkan bahwa beban defisit BPJS Kesehatan disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah PBPU yang tidak tertib membayar. ”PBPU ini kemampuan dan kesadarannya rendah,” katanya, Kamis (20/9).
Per-Juni lalu ada sekitar 26 juta hingga 27 juta PBPU yang terdaftar di BPJS Kesehatan. Ada 54 persen yang masih mokong. ”Separuhnya nggak bayar,” beber Kemal. Hal inilah yang membuat beban BPJS Kesehatan bertambah.
BACA JUGA: Defisit Sudah Diprediksi sejak BPJS Kesehatan Dibentuk
”Hanya PBPU saja yang kolektabilitasnya rendah,” tuturnya. Sedangkan untuk jenis kepesertaan lainnya, cukup tinggi. Sampai dengan bulan Juni 2018, kolektabilitas iuran peserta JKN-KIS secara keseluruhan mencapai 99%.
Untuk itu, BPJS Kesehatan pun terus mengerahkan berbagai upaya untuk mendorong kolektabilitas iuran JKN-KIS tersebut. Pertama, dengan mengoptimalkan peran Kader JKN, khususnya dalam hal reminder dan penagihan iuran. Hingga 31 Juli 2018, terdapat 1.599 Kader JKN yang bergabung dengan BPJS Kesehatan.
BACA JUGA: Jangan Sampai BPJS Kesehatan nanti Kembali Kejang-kejang
”Hasilnya terbilang cukup signifikan. Dari April 2017 dengan Juli 2018, Kader JKN berhasil mengumpulkan iuran sebesar Rp 37,9 miliar dari peserta JKN-KIS yang menunggak sampai dengan 31 Juli 2018,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf kemarin.
Upaya lainnya adalah melalui telekolekting. Sampai dengan Juni 2018, BPJS Kesehatan telah menghubungi lebih dari 1 juta peserta JKN-KIS yang menunggak dan berhasil mengumpulkan Rp 33 miliar dari usaha penagihan iuran melalui telepon tersebut.
Sementara itu, untuk mempermudah peserta menunaikan kewajibannya membayar iuran, BPJS Kesehatan juga memperluas kanal pembayaran. Hingga akhir Juli 2018, ada lebih dari 681.389 titik pembayaran iuran JKN-KIS yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tak sampai di situ, BPJS Kesehatan juga terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kepatuhan publik terkait pemenuhan kewajiban untuk membayar iuran. ”Langkah lainnya adalah dengan meluncurkan program angsuran Koperasi Nusantara,” tuturnya.
Alternatif lain yang juga sedang dibahas adalah penggunaan dana pajak rokok. ”Jadi yang digunakan adalah pajak rokok bukan bea cukai rokok,” ujar Sekretaris Utama BPJS Irfan Humaidi. Dana tersebut diambil 75 persen dari 50 persen pajak yang didapat oleh pemerintah daerah.
Dana itu yang nantinya akan digunakan sebagai tambahan. Nantinya juga akan dikonfirmasi apakah sudah ada jamkesda atau belum. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 100.
Terhadap aturan baru itu, sebagian pihak merasa yang kontra. Komisioner bidang Kesehatan dan Napza KPAI Sitti Hikmawatty menuturkan sistem perencanaan jaminan kesehatan nasional (JKN) saat ini masih belum bisa secara khusus mengcover kesehatan anak secara menyeluruh.
Hikma juga mengkritisi pajak rokok yang digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Dia menuturkan Indonesia belum masuk dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal bila meratifikasi FCTC itu Indonesia itu bisa mengenakan cukai hasil tembakau yang lebih tinggi terhadap rokok. Bukan hanya bergantung pada pajak. Cukai dibayarkan karena ada dampak negatif dari rokok.
”Kami harapkan ada kenaikan yang signifikan dari cukai. Jadi sebenarnya bukan kepada pajak. Karena pajak itu seebtulnya dialokasikan untuk pembangunan ke pemda,” ujar dia.
Hikma menghitung memang pemenuhan kebutuhan sarana kesehatan untuk anak seperti NICU dan PICU itu memang sudah berat. Sehingga perlu juga ada investasi dari pemerintah daerah untuk pembuatan sarana kesehatan itu. Bukan hanya menganggantungkan dari pemerintah pusat. ”Di dalam perpres JKN itu belum tercantum pembagian pola semacam itu,” kata dia. (jun/dwi/lyn/tau)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BPJS Kesehatan Uji Coba Rujukan Online, Fase Ketiga
Redaktur & Reporter : Soetomo