Danramil Sawahan Kapten Arh Riswarno Bercerita tentang Dolly-Jarak

Datangi Satu Per Satu Rumah untuk Sosialisasi

Selasa, 09 September 2014 – 08:05 WIB
MEJA PIMPINAN: Kapten Arh Riswarno di ruang kerjanya. Foto: Juneka/Jawa Pos

jpnn.com - TENDA besar itu dipasang di halaman Koramil Sawahan akhir Agustus lalu. Di bawahnya, puluhan perempuan bermasker –penutup identitas– duduk. Mereka antre menerima dana stimulan eks PSK Dolly sebesar Rp 5,05 juta.

’’Kami hanya ketempatan. Prinsipnya membantu Pemkot Surabaya,’’ kata Danramil Sawahan Kapten Arh Riswarno.

BACA JUGA: Menabung Seribu Per Hari Selama Setengah Abad demi Berhaji

Saat bagi-bagi dana stimulan tersebut, segenap aparat Koramil Sawahan siaga. Termasuk Riswarno, sang pimpinan. Prinsipnya, tidur ya di kantor. ’’Tidak pulang,’’ kata tentara kelahiran Bandung itu.

Kesiagaan tersebut mutlak diperlukan lantaran kondisi pasca penutupan masih panas. Pihak yang pro dan kontra masih bertahan. Yang menentang juga menutup beberapa ruas jalan, termasuk jalan masuk Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. Identitas orang yang melintas diperiksa. Yang tidak berkepentingan harus mengambil jalan lain.

BACA JUGA: Dulu Sering Banjir, Sekarang Dikunjungi Turis Asing

Bahkan, anggota koramil dimusuhi para penentang itu. Para prajurit tersebut dianggap semacam pengkhianat oleh kelompok kontra penutupan. ’’Tapi, situasi aman-aman saja di koramil,’’ imbuh lelaki kelahiran 1966 tersebut.

Karena itu, PSK dan mucikari yang hendak mengambil dana stimulan terlindungi. Mereka terhindar dari ancaman kelompok yang ingin mempertahankan aktivitas prostitusi dan kemaksiatan tersebut.

BACA JUGA: Bangunan Kumuh-Pesing yang Jadi Seimut Bukit Teletubbies

Riswarno bukan orang lama. Jabatannya baru diemban sekira dua bulan sebelum penutupan. Tapi, kabar soal pro-kontra penutupan itu sudah didengarnya. Dia tahu, tugasnya tidak mudah. Sebab, yang dilawan bukan musuh negara. Yang harus dihadapinya adalah rakyat sendiri yang menggantungkan hidup pada bisnis esek-esek.

”Karena masih baru, saya berkenalan ke seluruh ketua RW dan tokoh masyarakat sekitar Dolly,” ujar prajurit yang pernah mengenyam pendidikan tentang sistem rudal di Inggris pada 1987 itu. Dia datangi satu per satu rumah tokoh masyarakat di eks lokalisasi tersebut.

Perkenalan itu sekaligus mengetahui persepsi masyarakat dan keinginan mereka tentang masa depan lokalisasi. Bukan hanya yang pro terhadap penutupan. Tetapi, yang kontra juga diajak berdialog dengan kepala dingin. ”Ada yang curiga kalau saya memata-matai mereka. Padahal, tidak,” imbuhnya.

Yang kontra penutupan lokalisasi ternyata mengandalkan pemasukan keluarga dari bisnis tersebut. Ada yang menjadi penjaga wisma. Ada pula yang menjual mi ayam dengan konsumen PSK serta pelanggan Dolly.

Sementara itu, yang pro terhadap penutupan memang tidak terikat secara ekonomi dengan bisnis syahwat tersebut. Mereka ingin kawasan itu lebih bersih dalam pandangan masyarakat umum.

Dia mengungkapkan, hampir semua orang yang kontra pada penutupan itu yakin bahwa Dolly tidak bisa ditutup. Sebab, wacana penutupan Dolly memang bukan hal baru.

Beberapa kali pemangku kebijakan berjanji menutup kawasan tersebut. Surabaya juga punya Perda No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Penggunaan Rumah untuk Prostitusi. Tapi, semua itu seolah tidak bertaji.

Karena itu, para penentang gigih melawan kebijakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tersebut. Mereka yakin, penutupan itu hanya menjadi wacana yang hangat-hangat tahi ayam.

Dalam skala kecil, Dolly pun terbelah. Orang-orang yang pro penutupan diintimidasi dan diusir. Riswarno masih ingat betul laporan dari sebuah keluarga ke koramil pada malam deklarasi penutupan. Keluarga itu merasa tidak aman tinggal di rumah. Banyak orang kampung yang mengusir dia karena pro penutupan.

”Anak dan istrinya juga dibawa kemari. Ya, kami tentu harus menjamin keselamatan dia,” ujar prajurit yang masuk militer lewat jalur calon bintara (caba) di Tangerang pada 1985 itu.

Dia tidak tahu pasti alasan yang jadi jujukan kantor koramil. Bisa jadi, lokasinya dekat dengan lokalisasi. Sementara itu, Kantor Polsek Sawahan memang berada jauh dari kawasan merah tersebut. Lalu, kantor kelurahan dan kecamatan juga kerap didemo.

Kondisi yang mencekam pada saat penutupan Dolly-Jarak itu membuat keluarga Riswarno cemas.

Putrinya berkali-kali menanyakan kabar lewat telepon dan SMS untuk memastikan keselamatan Riswarno. Begitu pula istrinya. Apalagi dia memang cukup lama tidak pulang, sejak sekitar seminggu menjelang penutupan.

”Anak-anak sempat khawatir, tapi saya kasih pengertian kepada mereka bahwa kondisinya aman terkendali,” ujar ayah dua putri itu.

Dua bulan berlalu, situasi eks lokalisasi Dolly-Jarak kini semakin kondusif dan lengang. Riswarno menceritakan dapat curahan hati dari penjual mi ayam yang hanya laku empat mangkuk dalam semalam.

Dia juga didatangi para tokoh kampung yang selama ini kontra penutupan. ”Mereka sepertinya pasrah dan ingin mencari sumber perekonomian lain,” ungkapnya.

Dalam keadaan seperti itu, Riswarno memang tidak bisa menjanjikan apa-apa. Dia hanya berjanji untuk meneruskan unek-unek para warga yang sekarang sangat membutuhkan bantuan dari pemkot tersebut. Hal yang sama dilakukan saat Dolly-Jarak sedang panas-panasnya.

Dia juga menjadi teman curhat dan berbagi waktu para pejabat pemkot. Misalnya, Kepala Satpol PP Surabaya Irvan Widyanto, Kepala Dinas Sosial Supomo, dan Camat Sawahan Muslich Hariadi.

Kepala Satpol PP Surabaya Irvan Widyanto menuturkan bahwa Riswarno sangat berdedikasi dan memiliki integritas tinggi pada keamanan wilayah. Terutama persoalan yang menyangkut warga.

”Jadi, dia tidak pernah kenal lelah. Bahkan, diajak koordinasi dalam 24 jam pun bakal hadir. Dan tak pernah membeda-bedakan,” ujarnya.

Dengan sikap seperti itu, berbagai persoalan rumit bisa diselesaikan dengan relatif tanpa kendala. Irvan mencontohkan saat dirinya menjadi lurah Pradah Kali Kendal dan Riswarno menjadi Danramil Karangpilang.

Mereka bekerja sama memberikan pengertian kepada warga untuk rela memindahkan lokasi masjid di Jalan HR Muhammad yang terlalu menjorok ke jalan. Mereka keliling ke sejumlah musala malam-malam untuk bersosialisasi kepada tokoh masyarakat. ”Pada 2006, masjid yang berdiri sejak 1976 itu akhirnya bisa dipindah,” ungkapnya.

Soal kejadian itu, Riswarno hanya tersenyum. Dia menuturkan hanya menjalankan tugas mem-back up pemerintah daerah. (*/c6/dos/Laporan Juneka Subaihul M, Surabaya)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fasilitasi Anak Pedagang, Enam Tahun Miliki 115 Santri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler