Dulu Sering Banjir, Sekarang Dikunjungi Turis Asing

Senin, 08 September 2014 – 05:54 WIB
KEKOMPAKAN KAMPUNG: Warga Wonokitri RW 2 kerap berseragam baju adat dalam berbagai acara. Foto: Dipta Wahyu/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Kampung Wonokitri RW 2, Kelurahan Pakis, terbilang unik. Selain asri dengan berbagai tanaman di sepanjang jalan, kampung itu nyeni. Relief dan lukisan mewarnai pagar dan dinding rumah warga. Pemberdayaan ekonominya juga patut diacungi jempol.

 

BACA JUGA: Bangunan Kumuh-Pesing yang Jadi Seimut Bukit Teletubbies

Laporan Khafidlul Ulum, Surabaya
============================

 

BACA JUGA: Fasilitasi Anak Pedagang, Enam Tahun Miliki 115 Santri

GANG Wonokitri I terbilang cukup sempit. Jalan selebar 3 meter itu hanya bisa dilewati sepeda motor. Meski demikian, banyak orang yang tertarik saat melintas di depannya. Gapura yang berdiri tegak di pintu masuk ganglah yang menarik perhatian orang.

”Beberapa turis pernah mampir karena tertarik dengan gapura yang unik,” jelas Ketua RT 3 RW 2 Wonokitri, Kelurahan Pakis, Amir Inanto saat ditemui di kampung tersebut Sabtu lalu (6/9).

BACA JUGA: Kisah Di Balik Kebangkitan Perinus Sorong

Untuk masuk ke gang kampung, setiap orang harus melintasi jembatan. Jembatan Kampung Wonokitri itu berbeda dengan jembatan kebanyakan. Jembatan berhias. Pagar jembatan penuh relief yang beraneka ragam. Ada yang berbentuk jangkar, bunga, dan naga. Warnanya juga bermacam-macam. Yang paling mendominasi adalah kuning emas.

Di atas pagar jembatan, terdapat pot bunga permanen yang menjadi satu kesatuan dengan pagar. Enam lampu jalan menghiasi bagian atas jembatan itu. Tiga di kanan, tiga di kiri. Setiap tiang lampu tersebut berhias patung naga.

Selain mempercantik pagar, warga menghias gapura sedemikian rupa. Gapura itu bukan hanya dua tiang yang berdiri di kanan-kiri jalan. Gapura tersebut juga dilengkapi atap berbentuk limas. Agar semakin menarik perhatian, di atas atap dipasang patung burung garuda. Sementara itu, tiang gapura dibentuk seperti pohon bambu berwarna kuning tua. Tidak hanya itu, plafon gapura juga penuh dengan lukisan bermotif batik.

Di sisi timur gapura, terdapat taman mungil. Taman itu berupa gundukan tanah yang kemudian ditutup dengan rumput gajah mini serta ditanami beberapa jenis tanaman. Di atas juga diletakkan patung kayu berwarna cokelat dan batu hitam besar. Taman itu terbilang baru dan tidak banyak membutuhkan biaya. ”Kami memanfaatkan sisa bongkaran bangunan dan tanah hasil pengerukan saluran air. Setelah itu, baru kami tanami rumput. Akhirnya jadi taman cantik,” jelas Amir.

Semakin masuk ke gang kampung, suasana teduh dan asri cukup terasa. Meski tidak terlalu besar dan cukup sederhana, rumah-rumah warga itu tertata rapi. Kebersihannya juga sangat terjaga. Banyak rumah yang di depannya ditanami rumput gajah mini.

Jalan di gang itu juga dicat berwarna-warni. Jalan paving tersebut diberi lukisan berbagai macam. Ada lukisan bunga, ada pula gambar berbentuk lingkaran. Sepanjang jalan itu juga berhias pot berisi aneka ragam bonsai. Ada bonsai pohon asem, pohon daun dolar, iprek, dan kemboja. ’’Semua bonsai buatan warga sendiri,” kata Amir.

Beberapa rumah warga di pertigaan gang tidak luput dari coret-coretan. Dinding rumah itu dipenuhi lukisan alam berupa bukit, laut, dan pohon. Tidak hanya mengandalkan lukisan dan relief, kampung tersebut juga mempunyai wisata terapi. Itu adalah jajaran batu yang biasa dipakai untuk pijat refleksi saat dipakai berjalan.

Selain itu, di lokasi tersebut terdapat tempat duduk dari batu yang bisa dibuat untuk terapi ambeien. Tempat duduk itu berbentuk gundukan-gundukan. Mereka yang ingin terapi tinggal menggerakkan pantat. Untuk mempercantik wisata terapi, warga juga meletakkan hiasan akar pohon yang sudah dipelitur di atas pagar sehingga semakin menarik untuk dipandang. Pagar itu juga tidak lepas dari relief berbentuk bunga.

Amir dan anak-anak karang tarunalah yang menjadikan kampung itu nyeni. Amir adalah seniman seni rupa. Dia sering mendapat pesanan menggarap relief, dekorasi, dan taman di rumah-rumah elite di Surabaya dan sekitarnya. Dia juga berpengalaman membuat lanskap di beberapa proyek besar.

Dia akhirnya menularkan ilmunya kepada anak-anak muda. ’’Sekarang mereka sudah bisa membuat relief dan dekorasi,” terang dia.

Tidak hanya mengajarkan kepada anak-anak muda, Amir juga sering menyumbangkan sisa bahan proyek ke kampungnya. Jadi, bahan membuat relief, lukisan, dan taman sering menggunakan sisa proyek.

Pemuda kampung itu juga pintar membuat bonsai. Hasilnya dijual ke pedagang bunga. Selain itu, kata Wakil Ketua RW 2 Sudiro, bonsai tersebut kerap dijual sepaket dengan proyek yang digarap Amir. Itu mereka lakukan sejak 2007.

Warga Wonokitri juga punya bakat seni tradisional. Mereka punya kelompok kesenian Wisnu Budoyo. Pemimpinnya adalah Ketua RW 2 Karyono. Mereka tampil dengan memainkan aneka bentuk kesenian. Misalnya, ketoprak, kentrung, atau karawitan. Kelompok itu kerap diundang ke berbagai acara. Misalnya, pernikahan, sunatan, atau pentas lain di luar kota. Masih kurang? Mereka punya Garuda Emas. Yang terakhir itu adalah grup musik yang kerap digandeng Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya untuk mengisi acara.

Pemberdayaan ekonomi di kampung itu cukup berhasil. Misalnya, untuk anak-anak muda. Pengurus RT dan RW membukakan warung giras. Awalnya, mereka diberi modal Rp 300 ribu. Sekarang setiap hari mereka bisa mendapatkan omzet Rp 400 ribu hingga Rp 700 ribu. Tiga karyawan dipekerjakan dan dibayar Rp 70 ribu per hari. Jadi, selain modal kembali, mereka bisa mempekerjakan warga. Usaha lain adalah abon dan katering yang juga menggandeng warga kampung.

Di sisi kekompakan dan keguyuban, warga Wonokitri tidak perlu ditanya lagi. Misalnya, saat ada acara kampung, mereka tidak hanya kompak berkumpul. Mereka juga kerap mengenakan pakaian adat. Mulai baju adat Madura, Bali, Surabaya, hingga Jawa Tengah. Ketika di satu RT ada acara, RT di wilayah lain ikut membantu.

Sekretaris RW 2 Murna Inrianto menuturkan, pihaknya ingin menjadi kampung unggulan di Surabaya. Jadi, unggul di semua bidang. Baik kebudayaan, ekonomi, maupun sosial. Ke depan, pengurus RW membentuk badan usaha yang menyatukan potensi ekonomi yang ada di kampung tersebut.

Menurut Murna, tujuh tahun lalu kampungnya menjadi langganan banjir. Kondisi lingkungan juga tidak serapi sekarang. Karena bosan dengan banjir, warga akhirnya meninggikan jalan dan melakukan pavingisasi. Berbagai pelatihan dilakukan. Akhirnya, setelah tujuh tahun, kampung itu berubah. Yang dulu banjir, sekarang sering dikunjungi turis asing. (*/c7/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam Bulan Petugas Berteman Nyamuk Malaria


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler