Debat Kandidat Perdana

Rabu, 18 Juni 2014 – 04:24 WIB

KEBANYAKAN politisi merupakan orator ulung.

Beri mereka sebuah panggung, dan mereka pasti mampu berbicara selama berjam-jam.

BACA JUGA: Pelajaran Berharga Modi untuk Indonesia

Joko Widodo ("Jokowi") bukanlah salah satu dari mereka.

Dia adalah pembicara yang "efisien". Hanya menggunakan kata-kata seperlunya untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, dan tidak lebih.

BACA JUGA: Korban Pemilu

Sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, gayanya yang "efisien" dan sederhana telah menjadi keunggulan.

Namun, di pentas nasional dan di negara tempat pemimpin besar era kemerdekaan yaitu presiden pertama, Soekarno yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, kecakapan retoris sangat diperlukan.

BACA JUGA: Menilai Thailand

Benarkah?

Debat perdana capres dan cawapres yang berlangsung Senin lalu membuktikan bahwa orang baru, Gubernur dari kampung dengan gaya bicara terbata-bata bisa menandingi kefasihan dan kelugasan dari salah satu pemimpin militer paling terkenal, dan juga seorang keturunan bangsawan  yang sedang menghadapi fitnah, yaitu, mantan Jenderal,  Prabowo Subianto.

Dengan perkiraan sekitar 50 juta penonton, sebagian besar pemirsa mengharapkan untuk menyaksikan sebuah kemenangan dari sang penakluk dalam hal berbicara di depan umum yang siap untuk mengalahkan seorang mantan penjual mebel.

Tetapi sebaliknya, dan ini sangat mengejutkan semua orang, mantan jenderal Kopassus tidak berhasil mempertontonkan penampilan terbaiknya sebagai orator ulung, dan terjebak dalam retorika, dan menjadikan lawannya mampu mengimbanginya.

Jadi apa yang terjadi? Mengapa orator terbaik tidak berhasil menguasai arena?

Pertama, Jokowi memiliki lebih banyak hal yang dapat dibuktikan dalam perdebatan.

Dengan melakukan hal yang lebih baik dari yang diharapkan, tentu ini menjadi prestasi besar.

Jawaban Prabowo tampak mengambang, lalu menurun setelah pertanyaan yang sangat sulit tentang hak asasi manusia.

Pada dasarnya, hanya ada harapan yang rendah terhadap Jokowi, tapi ia mampu melampauinya. Dan sebaliknya untuk Prabowo.

Kedua, gaya bicara Prabowo yang komprehensif dan panjang lebih cocok untuk kampanye di stadion dan bukan dalam debat interaktif.                                              

Seorang mantan jenderal militer perlu waktu untuk membuat sketsa dan konsep besar. Dia harus mengembangkan dan mengeksplorasi ide-ide.

Memang, dalam pikiran saya, dia adalah jenderal yang paling mengesankan secara intelektual yang pernah saya jumpai.

Jadi kemampuan untuk menjelaskan ide-ide sangat penting, tetapi hal itu belum tentu menjadi senjata ampuh untuk memenangkan perdebatan. Dan di era internet, munculnya serangan tanpa henti membuat orang yang fasih berpidato menjadi terengah-engah kehabisan nafas.

Tentu saja, perdebatan adalah soal kecepatan dan kelancaran retorika yang tidak dikuasai oleh sang Gubernur, tapi ia nampak berhasil.

Kosa kata Jokowi sudah pasti tidak sebanyak Prabowo.

Ide-idenya juga kurang menggemparkan dunia tetapi setelah bertahun-tahun berhadapan dengan media yang sulit diatur di Indonesia, ia tetap menjadi komunikator yang efektif: berpikir cepat, humoris, dan selamanya rendah hati.

Sukarno adalah seorang orator yang luar biasa, seorang pria pemiliki suara, bahasa, dan ide-ide yang mampu menggetarkan panggung dan gelombang udara.

Dalam era saat radio menjadi komunikasi utama bagi orang yang tidak beruntung untuk melihat Sukarno secara fisik, keunggulan orasi membuatnya menjadi ikon.

Namun, masyarakat telah berubah.

Kami menyukai "ide" dari orator yang hebat, tapi kami tidak ingin harus menghabiskan waktu mendengarkan mereka.

Sebaliknya, kami menginginkan pidato yang singkat dan jelas. Ingat sebanyak 29 juta orang Indonesia aktif menggunakan Twitter.

Hal ini tidak berarti pendangkalan politik.

Memang, di negara seperti Indonesia, masyarakat menaruh kepercayaan besar pada institusi negara dan juga politisinya, serta menghargai ide baru, besar, dan bermanfaat secara lebih baik daripada sebelumnya. Ini hanyalah sebuah medium yang harus mereka kerjakan dan tingkatkan.

Presiden berikutnya harus bekerja untuk memperbaiki infrastruktur, memberantas korupsi, dan menghadapi ekonomi global demi mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Pemilihan presiden 2014 akan menjadi pertanyaan dari sebuah kepercayaan dan keyakinan.

Pertanyaan atas pelanggaran hak asasi manusia kontroversial yang ditujukan pada Prabowo di masa Orde Baru tidak akan hilang.

Juga keraguan atas kurangnya pengalaman administratif Jokowi di tingkat nasional.

Masyarakat Indonesia dihadapkan pada pertanyaan sederhana: siapa yang Anda percaya?

Siapa yang bisa Anda berikan kepercayaan untuk memimpin bangsa?

Dapatkah Prabowo membuktikan bahwa ia menghormati demokrasi yang masih prematur di Indonesia?

Dapatkan Jokowi menampilkan ketangkasan seorang teknokrat yang mampu meredakan keraguan tentang kemampuannya untuk memimpin negara besar ini?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan siapa yang melaju ke Istana Merdeka.

Tapi, seperti yang telah saya tekankan bahwa permainan telah berubah.

Ketangkasan adalah kuncinya. Dan politisi yang bisa beradaptasi dengan perubahan ini yang akan berhasil.

Namun demikian, Indonesia sedang berada di salah satu pemilihan presiden yang paling menarik yang pernah ada.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Potensi Terbuang Kota Malang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler