Korban Pemilu

Rabu, 04 Juni 2014 – 02:02 WIB

SAAT ini,  perhatian banyak orang sudah tertuju pada pilihan presiden 9 Juli nanti, namun ada baiknya melihat ulang wakil rakyat yang terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Wakil rakyat angkatan 2014 nanti adalah percampuran antara wajah lama dan orang-orang baru.

BACA JUGA: Menilai Thailand

Sebagai contoh, menteri seperti Tifatul Sembiring dan Jero Wacik yang akan selesai masa tugasnya tidak lama lagi akan duduk bersama 35 wajah baru dari Partai Nasdem.

Meskipun demikian, daftar orang-orang yang gagal melenggang ke Senayan kali ini tidak kalah menarik untuk dibahas.

BACA JUGA: Potensi Terbuang Kota Malang

Salah satunya yang paling diingat adalah kekalahan kandidat seperti tokoh perempuan DPR dari PDI-P Eva Kusuma Sundari (Jawa Timur) dan Agung Ayu Astrid Katrika Putri (Bali) serta caleg dari Golkar Nurul Arifin (Jawa Barat).

Ini sangat menyedihkan bahwa wanita berbakat dan pekerja keras seperti Eva dan Nurul gagal terpilih kembali. Kekalahan Agung Ayu menyakitkan. Tempo memujinya dan  menyebut tokoh perempuan Bali ini sebagai calon wakil rakyat yang teguh memegang prinsip.

BACA JUGA: Jangan Menafikan SBY

Malah, jumlah anggota DPR perempuan jatuh dari angka 103 menjadi  97 yang terpilih, termasuk di dalamnya 38 wakil rakyat incumbent.

Ini adalah tanda bahwa upaya utuk meningkatkan partisipasi perempuan tidak berhasil, meskipun pemerintah pusat telah mengalokasikan 30% jatah untuk ditempati calon wakil rakyat perempuan.

Sebagian dari masalah ini adalah bersifat struktural: tidak ada peraturan yang menempatkan perempuan berada di urutan lebih tinggi dalam kertas suara, dimana mereka sebenarnya memiliki kesempatan yang lebih baik untuk dipilih.

Ada juga unsur taktis: Nurul menghadapi lawan tangguh di Jawa Barat seperti  politisi PDI-P Rieke Diah Pitaloka yang populer dan Ade Komaruddin, kandidat senior dari partainya.

Dapat dikatakan juga bahwa kandidat seperti Eva, Nurul dan Agung kalah karena mereka gagal memainkan pertarungan bernama "patronase". Nurul secara khusus menganggap kekalahannya karena politik uang sangat terlihat di daerah pemilihannya.

Satu hal yang perlu dipertanyakan bagaimana mungkin wakil rakyat yang dipilih terbuka dari sistem demokrasi bisa efektif jika keterpilihannya dari hal-hal yang tidak wajar.

Satu hal yang paling mengejutkan saya ketika melihat fakta bahwa kepopuleran di Ibukota tidak menjamin keterpilihannya di daerah atau provinsi.

Malah, ada beberapa korban diantaranya, termasuk ketua DPR Marzuki Alie (Jakarta), Menteri Hukum Amir Syamsudin (Sulawesi Tenggara) dan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo (Yogyakarta), semuanya dari Partai Demokrat.

Padahal, Roy Suryo selain terkenal juga telah berkampanye dengan dana yang besar.

Apa yang terjadi di sini?

Sekali lagi, tren-makro mungkin sedang memainkan peran. Kenyataannya bahwa Partai Demokrat gagal meraih kursi di konstituensinya Marzuki (yaitu DKI Jakarta III) menunjukkan perubahan yang besar pemilih untuk menilai mereka.

Tetapi jika itu terjadi, mengapa kemudian politikus partai Demokrat, Ruhut Sitompul (Sumatera Utara) berhasil melenggang kembali ke DPR?

Faktanya adalah ketenaran secara nasional tidak berarti banyak jika pemilih memiliki firasat siapa Anda dan atau apa yang Anda perjuangkan.

Bertatap mata dengan konstituen itu sangat penting dan pemilih daerah sangat membenci calon legislatif yang diterjunkan dari Ibukota, tak peduli siapa mereka atau betapa pentingnya peran mereka sebenarnya.

Tentu saja, hal yang tak juga membantu adalah pertarungan sesama calon legislatif di dalam tubuh satu partai, seperti yang diduga terjadi pada Roy Suryo dengan rival satu partainya di Yogyakarta, Ambar Tjahyono.

Para politisi harus menyadari bahwa aksi yang nyata diperlukan ketimbang banyak berbicara, sedangkan perpecahan adalah hal yang fatal.

Pemilih tidak akan mendukung Anda jika tidak melakukan apa-apa untuk mereka atau jika Anda tidak berjuang.

Namun, tentu ada juga risiko ketika Anda mati-matian melakukan semuanya untuk masyarakat.

Calon wakil rakyat dari PPP Angel Lelga (aktris) dihadapkan pada kampanye yang sulit di kubu PDI-P di Jawa Tengah, yang harus bertanding melawan Puan Maharani dan Aria Bima.

Yang lebih membuat keadaan lebih buruk adalah wawancaranya dengan  pembawa program Mata Najwa, Najwa Shihab.

Ditambah lagi, pada jumpa pers yang lain, Angel mengambil jalan yang tak tepat yaitu memberitahukan wartawan untuk mengeck website partainya ketika ia disodori pertanyaan mengenai platform PPP.

Jadi, sementara semua orang lebih menyukai wakil rakyat dari kalangan aktris dan aktor, tugas partai harus ekstra keras dan cerdas dalam membuat daftar kandidat dari mereka.

Secara keseluruhan, sepertinya,  gender, bakat, prinsip-prinsip, hubungan yang dekat dengan Jakarta tidak lantas menjadi bonus untuk memudahkan mereka lolos menuju kursi dewan.

Politik Indonesia tampaknya semakin ketat, dengan pemilih yang juga semakin susah untuk menentukan pilihan.

Ini bukan permainan bagi yang lemah dan pengecut, tetapi bagi seseorang yang sungguh berniat melakukan hal terbaik![***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kangen Jamanku? Nostalgia Indonesia Era Suharto


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler