Pelajaran Berharga Modi untuk Indonesia

Kamis, 12 Juni 2014 – 00:37 WIB

RAKYAT Indonesia yang bertanya-tanya tentang hasil pemilu presiden mereka nanti, wajar melihat ke poros utara, yaitu India.

Kemenangan Narendra Modi sebagai perdana menteri- hasil yang tidak terpikirkan sejak setahun lalu hingga saat ini – akan mengubah Asia, dan bahkan politik dunia. Pria berusia 63 tahun ini akan memimpin negara dengan 1, 2 miliar warga.

BACA JUGA: Korban Pemilu

Koalisi Bharatiya Janata Party (BJP) milik Modi memenangkan 336 kursi dari 543 kursi 'lower house' parlemen, Lok Shaba di India.

Pada saat yang sama, BJP sendiri mendapat suara mayoritas dengan 282 kursi. Ini adalah hasil yang mencengangkan, melihat betapa kompleks dan beraneka ragamnya demografis penduduk India.

BACA JUGA: Menilai Thailand

Kejadian serupa adalah tiga puluh empat tahun lalu di 1984 (selepas pembunuhan mengejutkan Indira Ghandi).

Apapun kasusnya, adalah prestasi luar biasa bagi seorang mantan penjual teh keliling yang kemudian menjadi Ketua Menteri Gujarat. Meskipun, kaum sekularis dan minoritas agama masih menyimpan curiga terhadap peran Modi dalam kerusuhan berdarah anti-Muslim Gujarat tahun 2002.

BACA JUGA: Potensi Terbuang Kota Malang

Namun Modi mampu menyelesaikan persoalan ini dan bagaimana dia bertindak telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi para politisi dimanapun.

Pertama: Ini benar-benar persoalan ekonomi.

Sebagian besar kampanye Modi terbebas dari retorika Hindu nasionalis (Hindutva). Pesan yang ia gaungkan adalah menciptakan lapangan kerja, memerangi korupsi dan meningkatkan infrastruktur.

Dia bahkan berbicara dengan lantang bahwa yang dibutuhkan India "toilet, bukan kuil".

Para pemilih –terutama 10 juta pemilih muda India memasuki usia kerja setiap tahunnya –percaya kepada Modi karena keberhasilannya di Gujarat yaitu ekonomi Gujarat tumbuh rata-rata 10% pada 2004-2012.

Tidak heran, jika para petani dan buruh bergabung pada milyader (seperti Mukesh Ambani) dan akademisi (seperti Jagdish Bhagwati) memilih bersama Modi.

Kedua: harus bekerja keras

Modi mengatur kesibukan jadwalnya selama musim kampanye pemilu dengan menyisir hampir 5.800 lokasi. Ia berhasil menggunakan teknologi secara ekstensif, termasuk "aksi 3D" dimana hologram dia sedang berbicara diputar di khalayak di 1.350 lokasi.

Ketiga: disiplin, disiplin dan disiplin.

Dalam pemerintahan yang dipimpin Partai Kongres sebelumnya, masih belum jelas siapa yang benar-benar memegang tanggung jawab: apakah itu Manmohan Singh, Sonia Ghandi atau pewarisnya Rahul Ghandi?

Tidak ada yang meragukan bahwa Modi akan menjadi orang nomer satu dalam pemerintahan India kali ini.

Memang, dia menekankan pesan terbuka kepada pemilihnya bahwa jika ia terpilih menjadi perdana menteri, maka kabinetnya akan tersusun dari orang-orang yang berprestasi, bukan karena hubungan politis.

 

Pranjal Sharma, Consulting editor Businessworld India mengatakan kepada saya: "struktur pemerintahan antara perdana menteri dan ketua partai sebelumnya menciptakan disfungsi kelembagaan di level tertinggi. Modi dapat menghidupkan kembali pemerintahan dan momentum pertumbuhan sepanjang dia tidak terganggu oleh elemen xenophobia dari koalisi politik yang berkuasa."

Fakta bahwa Modi dapat menjalankan kampanye bebas komunalis itu menunjukkan Modi memiliki ruang bermanuver.

Tidak ada seorangpun –bahkan lawan politiknya di BJP -yang menyangkal nasionalis Hindu Modi. Namun dengan melawan arus, Modi justru menunjukkan kepada pemilih bahwa dia menempatkan pertimbangan nasional di atas politik.

Tentu saja, kelemahan rival juga membantu kemenangan Modi. Rahul Ghandi tampak seolah-olah berjuang mendapatkan tempat untuk golongan oposisi dibandingkan kursi perdana menteri. Begitu juga pemimpin dari "Common Man Party" (Aam Aadmi Party), Arvind Kejriwal. Ia gagal membuat pengaruh kepada banyak orang, meski sempat menjadi media favorit.

Fokus Modi –pesan disiplinnya, kerja keras dan kantung suara berhasil mencetak kemenangan seorang politisi yang pernah diremehkan menjadi tak terelakkan.

Setelah mengamankan kekuasaan, Modi memiliki kesempatan bersejarah untuk menata ulang India sesuai dengan pandangannya, meskipun ada kekhawatiran apa yang dilakukan Modi bisa meretakkan sebutan India sebagai negara pluralis.

Vinod K Jose, editor eksekutif majalah Caravan menulis:

"….Modi boleh memilih untuk membawa Hindutva di posisi depan dan tetap menjaga konstituen utamanya ini sedikit gembira, atau penanganan pemerintahan dan masalah investor, atau memilih melakukan dua-duanya. Saya berharap Modi tidak bermain-main dengan karakter sekuler masyarakat India, dan janji-janji pada konstitusi yang diterima oleh semua pihak."

Semua hal ini, bagi Indonesia adalah pelajaran yang sangat jelas.

Kontroversi masa lalu bukanlah penghalang bagi jabatan pemerintahan yang lebih tinggi. Pemilu presiden kali ini akan menjadi sangat menarik! [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Menafikan SBY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler