jpnn.com - Eko Riyanto, delapan tahun lalu, berangkat dari Pati, Jawa Tengah, meninggalkan istri dan tiga anaknya. Hanya berbekal pengalaman sebagai buruh bangunan, ia mencoba peruntungan di negara tetangga, Malaysia.
Achmad Mundzirin, Pontianak
BACA JUGA: Sempat Ditutup, Jalan Penghubung ke Malaysia Dibuka Lagi
Rasa takut menyelimuti Eko ketika perdana menginjakkan kaki di negeri jiran. Tekad kuatnya mengalahkan rasa takut itu demi apa yang ia cita-citakan.
Eko ingin menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar bisa jauh melampaui apa yang telah dia dapat dalam hidup.
BACA JUGA: Perusahaan Packaging Kertas Asal Malaysia Tanam Investasi di Batam
"Dengan kondisi yang saya miliki (buruh bangunan), saya tak akan dapat menyekolahkan anak saya tinggi. Tapi di negara orang saya bekerja keras, kemungkinan itu dapat terwujud. Itu cita-cita saya Mas," tutur pria 38 tahun itu ditemui di kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kalbar, Rabu (3/5).
Jika dalam hitung-hitungan per hari ia hanya mendapat Rp80 ribu tatkala jadi buruh di kampung halamannya. Dengan bekerja di Malaysia Eko bisa mendapat RM80 alias Rp246.400 (1 RM=Rp3080) perharinya.
BACA JUGA: Heboh! Pecatur Cilik Didiskualifikasi karena Urusan Rok
"Jauh Mas bedanya. Di negara sendiri kita dibayar murah. Di tetangga, kita dibayar tinggi," ucapnya.
Sebulan setidaknya dia mengantongi Rp 7,2 juta. "Saya kirim setiap bulannya untuk keluarga dan saya sisihkan untuk kebutuhan saya di sini. Lebih besar yang kirim, karena itu untuk biaya pendidikan anak-anak saya. Juga kebutuhan keluarga," ungkap Eko.
Pekerjaannya, menurut dia, dianggap oke banget oleh bosnya pada tahun pertama. Berkat ketelatenannya itu, kontrak kerjanya diperpanjang. Ketika pekerjaan dengan tauke pertama kelar pun, bos-bos lain meminta Eko untuk bekerja dengan mereka.
Delapan tahun lamanya ia mengais uang di negara tetangga. Beruntung bosnya lumayan pengertian, Eko boleh pulang ke Pati setahun sekali.
"Saya akan mengejar cita-cita saya. Tidak apa-apa Bapak menjadi kuli. Tetapi anak harus lebih tinggi dari Bapaknya. Harus kuliah," tekadnya.
Meski begitu, rasa rindu kepada keluarga tentu tetap menghinggapinya, namun pikiran itu disimpan dalam-dalam. Sebab, kedatangannya di negara tetangga memang untuk berjuang demi keluarga.
Toh komunikasi via telepon genggam dapat dilakukannya setiap hari sebelum dan sepulang kerja.
"Alhamdulillah, setiap Ramadan pulang dan kembali lagi ke Malaysia setelah Idul Fitri," beber dia.
Namun, keinginan Eko agar anaknya mengecap pendidikan tinggi terhenti sejenak di tengah jalan. Ia dideportasi pemerintah Malaysia setelah ditangkap di mess milik bos tempatnya bekerja.
Bukan karena berkasus hukum, melainkan lantaran Card Permit (izin kerja) yang diperpanjangnya belum disahkan pemerintah Negeri Jiran.
"Saya akan pulang dulu ke Jawa, Setelah permit saya keluar, akan kembali lagi ke Malaysia untuk bekerja," tandasnya.
Sementara itu, Abdillah, Kasi Rehabilitasi Sosial Dinsosnaker Kalbar menyatakan, ada sekitar 97 TKI yang dideportasi dari Malaysia ke Indonesia melalui perbatasan Entikong-Sarawak. Terdiri dari 87 laki-laki dan 10 orang perempuan.
"Permasalahan yang menimpa para TKI ini seperti biasa, yakni dokumen tak lengkap dan bahkan ada yang tak memiliki dokumen sama sekali," tuturnya kepada sejumlah wartawan.
Ia menambahkan, pada 6 Mei, para TKI yang dideportasi ini dipulangkan ke daerah asal menggunakan jalur perairan dengan sarana dari PT. Pelni. "Deportasi TKI dari Malaysia akan terus bertambah bahkan hingga akhir tahun nantinya,” terangnya.
Hal ini lanjut dia, mengingat pemerintah Malaysia gencar razia secara berkala. Untuk saat ini, dari Januari hingga awal Mei 2017, tercatat yang dideportasi dari Malaysia ke Indonesia sekitar 567 orang TKI yang berasal dari berbagai provinsi se-Indonesia. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Moratorium TKI, Pemerintah Serius Gak Sih?
Redaktur & Reporter : Soetomo