Demi Jihad, Berangkat Sendirian Bawa Tombak

Kamis, 10 November 2016 – 00:45 WIB
Ratusan siswa SDN Bandunrejosari Malang memperingati Hari Pahlawan dengan kirim doa dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Suropati (09/11). Foto: Darmono/Radar Malang/JPNN

jpnn.com - KH.M Basori Alwi Murtadlo, pengasuh Pondok Ilmu Quran (PIQ) Singosari, Malang, Jatim. Jawa Pos Radar Malang secara khusus mewawancarai pelaku sekaligus saksi mata pertempuran 10 November itu.

Menurut dia, perjuangan bangsa Indonesia saat itu sangat heroik. Termasuk perjuangan umat Islam untuk mempertahankan Kemerdekaan RI dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan tentara Inggris.

BACA JUGA: Indonesia Harus Antisipasi Jalur Sutra Baru Buatan Tiongkok

Saat itu, tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies  (AFNEI) atas keputusan dan atas nama blok sekutu.

Sebagai salah satu saksi mata dalam peristiwa tersebut, dia mengatakan, di masa itu memang semangat juang umat Islam sangat besar.

BACA JUGA: Bebas Bersyarat, Antasari Boleh Langsung ke Luar Negeri

Apalagi setelah adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As’ary pada 22 Oktober 1945. Bahkan, para pemuda Islam merasa bangga ikut perang melawan penjajah (Belanda ataupun Jepang).

”Kami tidak takut mati,” kata kiai kelahiran Singosari, 15 April 1927 ini.

BACA JUGA: Pengacara Bantah Bahas Suap dengan Hakim PN Jakpus

Dia mengatakan, dirinya saat itu masih berumur sekitar 18 tahun. Dia merasa terpanggil untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Dia mengaku tak punya rasa takut sedikitpun saat akan mengikuti jihad melawan tentara Inggris.

”Begitu ada Resolusi Jihad, umat islam kompak,” kenang Kiai Basori.

Waktu itu, kenang dia, sebelum pecah pertempuran 10 November (kira-kira tanggal 9 November), dia berangkat dari Singosari ke Surabaya naik oplet sendirian.

”Saya membawa tombak warisan ayah saya (Alwi Mutadlo),” kenang putra pasangan Kiai Alwi Murtadlo dan Nyai Riwati ini dengan nada bersemangat.

Sesampai di Surabaya, Basori muda bergabung dengan para santri dan umat Islam dari berbagai penjuru di Jawa Timur.

Kiai Basori mengatakan, jumlah umat Islam yang bergabung saat itu sangat banyak. ”Saya tidak tahu jumlahnya, tapi banyak sekali,” ujar kiai kharismatik ini.

Menurut dia, saat itu yang terjadi adalah pertempuran yang dari segi persenjataan, tidak seimbang.

Karena ribuan umat Islam yang berada di medan perang, hanya bersenjatakan pedang, bambu runcing, tombak, celurit, dan sejenisnya.

Meski ada juga tentara Indonesia yang membawa senapan. Sedangkan tentara Inggris datang dengan persenjataan lengkap dan modern.

Tetapi semangat jihad membela agama dan bangsa yang begitu kuat, membuat tentara Inggris keder. ”Mungkin mereka grogi dihadang begitu banyak orang,” ujar Kiai Basori.

Karena persenjataan yang tidak seimbang, banyak sekali mujahid yang gugur dalam medan tempur.

Tetapi itu sama sekali tidak menyurutkan semangat umat Islam untuk mengusir penjajah. Maka perlawanan pun terus dilakukan.

Dari sejumlah literatur, korban dari pejuang Indonesia berkisar 6.000-16.000 orang yang gugur. Sedangkan dari tentara Inggris sekitar 600-1.000 tentara yang mati.  

Setelah pertempuran 10 November, Kiai Basori kemudian pulang ke Singosari. Saat itu terjadi aksi bumi hangus.

Dia melihat bangunan-bangunan milik Belanda dibakar oleh masyarakat. Bahkan, bangunan di pinggir Jalan Raya Sigosari juga banyak yang dibakar.

”Nah rumah ayah saya saja yang tidak dibakar, karena dijadikan markas perlawanan. Rumah ayah itu kemudian menjadi Pondok Pesantren Ilmu Alquran (PIQ) saat ini,” terang kiai 6 anak tersebut.

Diceritakan Kiai Basori, ketika di Singosari, dia juga  sering melakukan perlawanan kepada Jepang.

Salah satu caranya, dia dan para pemuda menghadang mobil yang dikendarai orang Jepang. Di tengah jalan, dia mengacungkan tombak kepada mobil yang lewat agar berhenti.

Begitu mobil berhenti, maka dilihat siapa pengemudinya dan menggeledah isi mobil.

Jika pengemudinya orang Jepang, akan diminta senjatanya. Setelah senjata diberikan, pengemudi bisa melanjutkan perjalanan.

”Biasanya saya melakukan di rel kereta api Singosari itu. Saya bawa tombak,” ujarnya.

Dengan cara seperti itulah, pejuang Indonesia bisa mendapatkan senjata api. (lid/c1/lid/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... HMI Minta Penangguhan Penahanan 4 Kadernya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler