Dengar Kiai Langitan, Bos Holcim Manggut-Manggut

Kamis, 22 Juli 2010 – 07:07 WIB
Wartawan. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Seperti halnya Indonesia, Swiss juga menghadapi tantangan berat bagaimana mengelola kemajemukan masyarakatnyaBerikut catatan wartawan Jawa Pos MOHAMAD ELMAN yang selama sepekan lebih mengunjungi Swiss.


BUKAN hal aneh jika Patek Philippe, salah satu arloji terkemuka dunia, lebih senang menyebut dirinya sebagai produk Geneve (Jenewa)

BACA JUGA: Analisis Sidik Jari, Cara Lain Mengetahui Kecerdasan dan Kepribadian

Bukan Swiss
Sebab, bagi Patek Philippe, mungkin, kalau cuma disebut Swiss Made terlalu umum

BACA JUGA: Memburu Badak, Yang Keluar Leopard

Keterkaitan citra korporasi dengan jati diri serta kultur kanton "semacam negara bagian di Swiss" Jenewa adalah hal penting.

Unity not Uniformity

Kesatuan bukan keseragaman

BACA JUGA: Tiga Kolektor Yang Gila Kumpulkan Benda-Benda Seni

Semboyan itulah yang menjadi kebanggaan orang SwissKesan itu pula yang saya rasakan selama di sanaPagi sekitar pukul 09.00 setelah pesawat tiba di bandara Kota Zurich, sapaan selamat datang yang saya dengar dari petugas adalah willkommenBahasa Jerman memang menjadi bahasa utama di kota terbesar Swiss itu.

Kurang sejam kemudian, sesaat setelah pesawat penerbangan lokal saya mendarat di Bandara Jenewa, pegawai bandara menyapa dengan kata yang lain lagi: bonjour atau bienvenueKota ini memang bernuansa "Prancis banget"Saat berada di jalanan, mal, stasiun, atau naik feri di (danau) Lac Leman sulit membedakan apakah kita berada di Swiss atau Prancis.

Hampir semua petunjuk kota ditulis dalam bahasa tersebutSecara geografis kanton (total ada 26 kanton di Swiss) memang dekat dengan Prancis, sehingga ada ribuan pekerja komuter yang ulang alik melintasi perbatasan saban hariJenewa yang merupakan kota terbesar nomor dua menjadi tempat markas PBB dan berbagai badan tingkat dunia, seperti Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Palang Merah Internasional, Organisasi Perdagangan Dunia, dan lain-lainKarena banyak ditinggali diplomat dan pekerja asing, warga Kota Jenewa dikenal toleran, terbuka, dan liberal.

Hampir seminggu saya mengikuti konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, saya tinggal dan sering naik bus bersama delegasi dari AfrikaBanyak di antara mereka yang mengenakan baju terusan gombyor sampai kaki serta penutup kepala tradisional AfrikaBagi warga Jenewa, pemandangan seperti itu adalah hal biasa.

Swiss yang berpenduduk sekitar 7,7 juta kini memang tercatat sebagai salah satu negara terkaya di duniaNegeri berbentuk konfederasi ini tetap memilih netralTidak mau bergabung dengan Uni Eropa serta mempertahankan mata uang sendiri: Swiss FrencMeski demikian, segalanya tak selalu berjalan "damai" di SwissKhususnya saat menghadapi pengaruh gelombang sentimen anti-Islam yang kini melanda Eropa.

Salah satu yang mendapat perhatian internasional adalah larangan pembangunan menara masjid di SwissMeski keputusan ini dihasilkan lewat referendum lebih tujuh bulan lalu, isu tersebut masih menjadi bahan diskusi yang hangatTak sedikit orang Swiss yang menganggap hasil referendum itu mencederai nilai-nilai luhur demokrasi mereka, khususnya penghargaan terhadap perbedaan.

"Ini menunjukkan bahwa rakyat Swiss sudah tidak toleran lagi," kata Michael Guillaume, wartawan L"Hebdo, saat ditemui di Bern, ibu kota SwissGuillaume yang bekerja di sebuah majalah berbahasa Prancis dan berkantor pusat di Lausanne adalah wartawan yang diajak mengikuti kunjungan Presiden Swiss Doris Leuthard ke Indonesia lalu.

Seperti Guillaume, daerah-daerah yang menentang referendum umumnya berada di kanton-kanton berbahasa Prancis, seperti Jenewa, Lausanne, Neuchatel, dan lain-lainSebaliknya, daerah yang menggagas dan mendukung referendum pelarangan pembangunan menara masjid adalah daerah-daerah yang berbahasa Jerman dan Italia.

Swiss memang menganut demokrasi langsungDengan mengumpulkan 50 ribu tanda tangan, rakyat bisa mengajukan usul referendum atas sebuah permasalahan yang mereka cermatiMeski tak setuju dengan hasil referendum, pemerintah di Bern tak bisa apa-apa dan tetap harus menghormati suara rakyat ini.

Berada di tengah negara-negara tetangga yang lebih besar, warga Swiss terbagi menjadi tiga komunitas besar, yakni komunitas berbahasa Jerman (63 persen), Prancis (20 persen), dan Italia (6,5 persen)Memang, ada satu lagi (berbahasa Romans), tapi jumlahnya relatif kecil (sekitar 0,5 persen) sehingga tidak punya pengaruh signifikan.

Seperti perebutan pengaruh di tingkat Uni Eropa, komunitas berbahasa Jerman dan Prancislah yang paling berpengaruhSeperti terlihat dalam referendum menara masjid, dua komunitas ini memang memiliki pandangan hidup, karakter, dan gaya hidup yang berbeda.

Orang-orang Swiss keturunan Jerman dikenal sangat efisien, produktif, dan lugasMeski tak bisa digeneralisasi secara umum, orang Swiss Jerman umumnya cocok menjadi direktur teknik, kepala pabrik, dan sebagainyaSebaliknya, orang-orang Swiss keturunan Prancis adalah orang marketing, public relation, dan sebagainya.

Orang-orang Swiss keturunan Jerman mempunyai etos kerja tinggiSelain karena area wilayahnya memang lebih luas, uang, pekerjaan, dan peluang usaha (bahkan masa depan Swiss) boleh dikatakan berada di wilayah komunitas JermanZurich, misalnya, selain dikenal sebagai pusat finansial di Eropa, juga menjadi pusat industri dan perdaganganDemikian juga Basel dikenal sebagai pusat industri farmasi dan kimia terkemuka.

Dalam aspirasi politik, komunitas penutur bahasa Prancis beberapa kali memperjuangkan Swiss untuk bergabung ke Uni EropaNamun, usaha ini selalu gagal karena kalah voting dengan penutur bahasa Jerman yang ingin Swiss tetap netral.

Gap itu sampai sekarang masih terasaDenis McShane, mantan diplomat Inggris, mencatat dulu orang-orang Swiss senang belajar bahasa saudara-saudara lain "suku"Misalnya, orang Prancis dan Italia belajar bahasa JermanApalagi, belajar bahasa Jerman bagi mereka akan menjadi kunci sukses untuk berkarir tinggal di wilayah Jerman.

Repotnya, bahasa yang digunakan penutur di sana adalah dialek Swiss-Jerman yang berbeda dengan bahasa tulis Jerman yang diajarkan di sekolah-sekolahHal itulah yang menyebabkan banyak warga keturunan Prancis tetap kesulitan berkomunikasi meski mereka sudah kursus atau belajar bahasa Jerman.

Keterpautan untuk saling belajar bahasa "saudara" seperti itulah yang kini lunturPenutur bahasa Jerman lebih suka belajar bahasa InggrisDemikian juga warga keturunan Prancis atau Italia lebih suka belajar dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa keduaSeperti yang saya temui di lapangan, kebanyakan warga Swiss "baik di komunitas Jerman maupun Prancis" rata-rata bisa berbahasa Inggris.

Perbedaan antara warga keturunan Jerman, Prancis, dan Italia itu juga sampai ke gaya hidupKomunitas berbahasa Prancis serta Italia (antara lain di Ticino dan Lugano), misalnya, terkesan lebih hangat dan menikmati hidupPada hari kerja, saat rehat makan siang, orang-orang komunitas ini bisa menghabiskan waktu dua jam sambil bersosialisasiKebiasaan ini tidak biasa ditemui di kawasan-kawasan berbahasa Jerman.

Suatu siang saya mencoba naik kapal wisata di danau (Lac Leman) JenewaUntuk naik saja harus bayar 24 Swiss Frenc (sekitar Rp 200 ribu)Kapal itu mengelilingi danau dan menjual tempat-tempat bersejarah di Lac Leman (termasuk tempat peristirahatan mendiang pemimpin Uni Soviet Lenin).

Yang memenuhi meja restorasi kapal ternyata bukan hanya para turis, tapi juga orang-orang kantoran yang masih mengenakan jas lengkapSetelah dua jam berkeliling, kapal balik ke dermaga semulaOrang-orang kantoran itu bergegas kembali.

Pada hari yang lain saya bersama Duta Besar RI untuk Swiss Djoko Susilo mendapat undangan presentasi sekaligus makan siang di kantor pusat Holcim, pabrik semen yang berkantor pusat di Zurich, yang kini membangun pabrik semen di Tuban, Jawa TimurSebagian besar waktu kami di sana ditemani dua eksekutifnya, Lionel Lathion yang berdarah Prancis, dan Rudy Blum yang kebetulan berdarah JermanBaik Lathion maupun Blum sangat bersemangat menjelaskan proyek barunya di Indonesia itu.

Keduanya sangat bangga dengan Indonesia dan hafal dengan nama penanggung jawab proyeknya di Kecamatan Merakurak (orang Indonesia)Termasuk, menyebut nama Bupati Tuban Haeny RelawatiLathion tampil seperti layaknya "franco-businessman", yakni setelan jas warga gelap serta berbicara lebih banyak tentang aspek strategi bisnis Holcim di IndonesiaSementara Blum yang bertubuh lebih tinggi dan kekar serta berjas cerah menguasai lebih detail aspek-aspek teknis pabriknya.
 
Menanggapi presentasi, Djoko Susilo memberi advis agar petinggi Holcim juga sowan untuk minta restu kepada KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantrean Langitan Tuban yang sangat dihormati warga Nahdlatul UlamaMendengar itu, kedua petinggi Holcim itu menyimak serius, mencatat namanya, kemudian manggut-manggut.   
 
Setelah presentasi, kami diundang makan ke kafetariaDi tengah-tengah ngobrol seusai makan siang itu beberapa kali Blum menunjuk jamnya kepada LathionSepintas terkesan kurang sopan karena seperti "mau mengusir"Rupanya, Blum bermaksud segera mengajak kami mengunjungi lokasi pabrik semen Holcim pertama di Swiss yang berlokasi tak jauh dari kantornya.

Yang membuat saya heran, sepanjang ngobrol makan siang "efisien" di wilayah penutur Swiss-Jerman itu, tak sedikit pun Lathion dan Blum antusias berbicara tentang sepak terjang tim Swiss di Piala DuniaPadahal, beberapa hari sebelumnya Swiss baru mengalahkan Spanyol (akhirnya juara) 1-0"Saya tidak terlalu sukaTapi, istri saya yang suka," kata Lathion terus terangSaya kaget dan jadi tidak berinisiatif meneruskan obrolan soal Piala Dunia lagi(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanpa Alkohol, Bukan Pasutri Tak Diterima


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler