jpnn.com - Dunia seni tidak bisa dipisahkan dari Dewi Sulastri. Bersama suami yang juga seniman tari, perempuan asal Jogjakarta itu mendirikan Taman Seni Swargaloka. Dia concern melestarikan seni tradisional, terutama melalui drama wayang.
* * *
BACA JUGA: Menelusuri Korea Selatan, Negara Pusat Bedah Plastik
EKSISTENSI seni tradisional lambat laun makin terkikis oleh arus modernisasi. Butuh perjuangan dan dedikasi tinggi untuk melestarikannya. Seorang di antara penggiat seni tersebut adalah Dewi Sulastri. Bersama sang suami, Suryandoro, dia mendirikan Taman Seni Swargaloka, yang merupakan wadah belajar dan berkreasi di bidang seni budaya. Hingga kini, mereka rutin mengadakan pertunjukan.
Dewi merupakan seniman kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 15 Maret 1966. Cucu seorang dalang di Jepara itu mengenal seni tradisional sejak kecil. Dia mulai menjadi sinden sejak kelas V SD. Dewi ingin menjadi seorang penari andal yang juga piawai dalam olah vokal.
BACA JUGA: Bayu Santoso, Mahasiswa ISI Jogja Pemenang Desain Kover Album Terbaru Maroon 5
Bungsu dari empat bersaudara tersebut melanjutkan studi di ISI Jogjakarta dengan mengambil studi komposisi tari. ’’Dengan begitu, saya dituntut tidak hanya bisa menari, tapi juga mampu menciptakan karya tari dan memproduksi seni pertunjukan,’’ jelasnya.
Dedikasinya terhadap dunia seni tari tradisional ternyata membuahkan sejumlah prestasi. Dia dipercaya menjadi duta tari tradisional dalam tim Pelangi Nusantara dan tampil di berbagai negara. Dewi juga menerima kehormatan sebagai penari di Istana Negara pada periode 1997–1999.
BACA JUGA: Warna Ayu, Kelompok Eks Lokalisasi, Pelopor Batik Jumput Berpewarna Alami
Ibu empat anak itu sudah menghasilkan belasan karya tari dan puluhan pergelaran seni. Beberapa karya tari adalah tari Srimpi Retno Utama (1989), Bondan Suko Asih (1989), tari Bedaya Dewi Sri (2003), Bedoyo Aji Soko (2008), Bedoyo Tri Sabdo Tunggal Indonesia (2009), dan Bedoyo Merah Putih (2009).
Ketika pindah ke Jakarta pada 1997, dia mengusung Swargaloka ke ibu kota. Produk seni pertunjukan Swargaloka yang paling diminati adalah drama wayang. ’’Sebab, itu (drama wayang) yang paling komplet. Ada seni tari, musik, teater, dan seni rupa. Semua digabungkan,’’ tutur dia. Yang menjadikannya lebih unik, drama wayang disajikan dalam bahasa Indonesia. Drama wayang juga diberi sentuhan garapan musik modern.
Mengenai penggunaan bahasa Indonesia, Dewi memiliki alasan tersendiri. ’’Kami ingin mengenalkan seni tradisional kepada generasi muda. Agar mereka tertarik, mereka harus paham cerita yang dibawakan,’’ terang perempuan yang pernah bermain dalam sinetron diTVRI tersebut.
Hal itu diakui cukup berat oleh Dewi karena mendobrak pakem. Namun, Dewi dan suami tidak patah arang. ’’Seni tradisional harus bisa survivedengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan akarnya,’’ tegasnya.
Dia juga merasakan sulitnya mencari dukungan. Padahal, penyelenggaraan pementasan memerlukan biaya besar. ’’Tapi, kami yakin tetap mendapat tempat. Buktinya, di beberapa daerah seperti Surabaya, Jogjakarta, dan Kalimantan, jumlah penonton mencapai ribuan orang,’’ ujarnya.
Dalam pertunjukan yang diadakan, tidak jarang Dewi terjun langsung sebagai pemeran. Di antaranya, dia pernah berperan sebagai Srikandi dalam Srikandi Senopati serta Jejak Asa Sang Dewi. Srikandi Senopatitermasuk pementasan yang paling banyak diminati penonton hingga enam kali dimainkan. Ada pula Abimanyu yang dipentaskan empat kali.
Saat ini dia disibukkan persiapan pergelaran Wayang Gaul yang bakal dihelat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19 Oktober. Mendekati hari pementasan, latihan dilakukan intensif setiap hari. Pertunjukan berjudul Semar Mencari Cinta tersebut melibatkan sekitar 75 orang pemeran dan pemusik.
Aktor Pong Hardjatmo, Marwoto, dan penyanyi keroncong Sundari Soekotjo turut bermain. ’’Sesuai dengan judulnya, Wayang Gaul, ceritanya disajikan lebih ringan dan diselingi banyak humor. Serta, menjadi silaturahmi nasional para seniman senior dan yang junior,’’ papar Dewi.
Bangga, Anak Ikuti Jejak
DARAH seni yang mengalir dalam diri Dewi dan sang suami, Suryandoro, diturunkan kepada empat anak mereka. Suryoputro Sunandoro, 25; Bagaskoro Putro Dewandoro, 20; Bathara Saverigadi Dewandoro, 17; dan Bathari Putri Suryadewi, 13, mengikuti jejak ayah-bundanya. Terutama putra ketiga yang pada usia ke-17 sudah dikenal sebagai penata tari tradisional.
Bahkan, pada Maret 2013, Bathara memperoleh penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai penata tari tradisional Jawa termuda. Putri bungsunya yang duduk di kelas VIII SMP, Bathari, juga aktif menekuni tari.
’’Anak pertama lebih menyukai dunia fotografi, sedangkan anak keduangeband. Kami tidak pernah memaksakan keempat-empatnya menekuni bidang yang sama dengan orang tuanya. Tidak apa-apa, toh semua masih berada dalam koridor seni,’’ papar Dewi.
Tidak jarang, Dewi tampil bersama Bathara dan Bathari dalam pementasan yang sama. Misalnya, Jejak Asa Sang Dewi pada 2013. Kemudian, dalam perhelatan Wayang Gaul Minggu mendatang (19/10), Bathara berperan sebagai penata tari, sedangkan Bathari menjadi penari.
’’Sungguh membanggakan bisa tampil bersama anak-anak. Mereka ingin memberikan inspirasi bagi anak-anak seusianya. Menyukai seni modern tidak apa-apa, tapi budaya sendiri jangan ditinggalkan,’’ paparnya, lantas tersenyum.
Taman Seni Swargaloka juga rutin menjadi tempat pelatihan tari setiap Minggu. Muridnya mulai SD hingga mahasiswa. Bathara ikut rutin mengajar tari dan membantu tugas sang ibu.
Salah satu pengalaman berkesan bagi Dewi ketika mengajar tari adalah memperoleh seorang murid autis yang bersemangat belajar tari. ’’Setelah belajar tari, dia lebih mampu berkomunikasi dan mengendalikan emosi. Saya sendiri takjub melihatnya,’’ tandas Dewi.(nor/c14/nda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yuli Purwanto, Pendekar Pencak Silat di Negeri Pusat Bela Diri, Jepang
Redaktur : Tim Redaksi