jpnn.com - WACANA Mendikbud Muhadjir Effendy menerapkan program full day school tampaknya masih jauh panggang dari api. Jangankan siswa menuntut ilmu seharian, banyak sekolah yang justru kondisinya memprihatinkan. Di bawah ini beberapa contohnya.
HILMI SETIAWAN, Jakarta
BACA JUGA: Hebat! Amaniarti Rintis Sekolah Gratis, Adik Menteri Ikut Mengajar
Jiah melangkah perlahan menyusuri jalanan berdebu menuju sekolahnya. Dia menutup matanya dengan tangan untuk menghindari terpaan matahari pagi yang mulai hangat. Hawa panas begitu cepat terasa menelan kesejukan pagi di Desa Sumber Rejeki, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Guru di SDN Juai itu mengenang saat pertama mengajar di sekolah tersebut pada 1995. ”Dulu di sini sangat sejuk,” katanya.
BACA JUGA: Kisah Ibu Tunanetra Tiga Kali Naik Haji: Ada Perasaan Nikmat
Tapi, kini kondisi ekologi di desa itu telah jauh berubah. Itu menyusul adanya aktivitas pertambangan batu bara di sekitar sekolah.
”Kian tahun terik matahari terasa semakin panas dan udara sekitar yang dipenuhi debu kurang baik untuk kesehatan siswa maupun guru,” ungkapnya.
BACA JUGA: Ada Hal Magis di Pulau Uluwatu, Dari Kecelakaan, Barang Hilang Sampai Mimpi Seram
Kondisi tersebut membuat aktivitas belajar-mengajar menjadi tidak nyaman. Semua seakan mengerti bahwa sekolah itu tidak akan berumur lama.
Ujung-ujungnya, mereka merasa sekolah akan menemui nasib sebagaimana beberapa sekolah lain di Kabupaten Balangan. Sekolah tutup karena para siswa pindah ke sekolah yang lebih aman.
Jiah berharap, kalau sekolahnya harus ditutup, semua siswa difasilitasi dengan sebaik-baiknya. Termasuk akses untuk menuju sekolah yang baru supaya tidak ada yang putus sekolah. Kekhawatirannya sangat beralasan karena penutupan sekolah gara-gara aktivitas tambang menjadi sesuatu yang ”biasa” di Balangan.
Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group) mencatat, hingga saat ini setidaknya sudah ada dua sekolah di Kabupaten Balangan yang ditutup lantaran masuk dalam wilayah operasional perusahaan pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia.
Dua sekolah itu adalah SDN Bata dan SDN Sirap 03. Dua sekolah yang berlokasi di Kecamatan Juai tersebut resmi tidak digunakan lagi sejak tahun pelajaran 2015–2016. Penyebab utamanya, ketiadaan murid karena penduduk yang bermukim di sekitarnya sudah tidak tinggal di sana setelah lahan mereka dibebaskan untuk keperluan perluasan wilayah operasional pertambangan PT Adaro Indonesia guna mendukung target produksi dari 45 ke 80 juta ton per tahun.
Berdasar data yang dirilis Dinas Pendidikan (Dispendik) Balangan pada akhir 2014, ada enam sekolah yang masuk dalam perluasan wilayah operasional pertambangan PT Adaro. Yakni SDN Bata dan SDN Sirap 03 yang sudah lebih dulu ditutup, kemudian SDN Sirap 02, SDN Juai, dan SDN Teluk Bayur 03 yang berlokasi di Kecamatan Juai serta SDN Lamida Atas di Kecamatan Paringin, ibu kota Balangan.
SDN Lamida Atas punya cerita sendiri. Tak seperti SD lainnya yang berlokasi di kecamatan, SD yang berada di ibu kota kabupaten itu pun tak luput dari ancaman tergusur oleh pertambangan. Dulu SDN tersebut pernah mengalami masa kejayaan. Itulah saat Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero berlokasi di dekat lingkungan SDN.
Perusahaan yang masih aktif sebagai salah satu penyumbang produksi karet terbesar di Kalimantan Selatan itu memeskan ribuan karyawannya di sekitar lokasi sekolah.
Ekonomi pun terdampak. Demikian juga pendidikan. Di masanya dulu, ada ratusan anak karyawan dan buruh yang bersekolah di SD itu. Tapi, semua berubah kala Pirsus II Afdeling Paringin PTPN dengan luasan 2.071 hektare tersebut resmi di-take over ke PT Adaro Indonesia 22 Mei 2014.
Ribuan karyawan memilih pulang kampung. Buruh merantau mencari kebun karet lain yang bisa disadap. Tentunya dengan membawa istri beserta anak-anaknya. SDN Lamida Atas pun sekarang hanya menyisakan 27 murid.
”Melihat banyak temannya yang serentak angkat kaki dari sekolah, anak saya sempat mengungkapkan kesedihannya. Tapi sekarang sudah terbiasa dengan kondisi sekolah yang sepi,” ungkap Nor Muhammad, salah seorang wali murid yang tiga anaknya masih bertahan di SDN Lamida Atas.
Salah seorang pengajar SDN Lamida Atas Siti Rahmah mengungkapkan, migrasi besar-besaran yang dilakukan anak didiknya berdampak pada psikologis siswa-siswi yang masih bersekolah di sana.
”Anak-anak jadi kurang bergairah dalam bersekolah. Tidak ada lagi interaksi di dalam kelas. Karena di kelas saya saja muridnya hanya tersisa satu orang,” bebernya.
Kurang semangatnya anak-anak mengikuti pembelajaran sekolah juga dapat dilihat dari seragam yang dikenakan saat masuk sekolah. Sebagian besar memilih menggunakan sandal, bukan sepatu. ”Buat apa pakai sepatu, sekolahnya mau tutup kok,” celetuk Siti.
Kepala Dispendik Balangan yang diwakili Kabid Pendidikan Dasar Abdul Basyid mengatakan, dari hasil survei dan pengkajian yang dilakukan tim penutupan sekolah, sekolah yang ditutup sudah tidak memenuhi syarat pendirian satuan pendidikan. Dengan beberapa alasan yang ada, tim akhirnya terpaksa menutup dua sekolah tersebut.
Faktor prospek sekolah yang terus menurun, dilihat dari jumlah penduduk dan siswa yang semakin berkurang, menjadi salah satu alasan utama.
”Dalam menutup sekolah, kami tidak sembarangan. Setidaknya ada tujuh dasar pendidikan yang kami sertakan. Di antaranya Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,” urainya.
Ditanya mengenai nasib empat sekolah lainnya yang masuk wilayah operasional pertambangan dan belum ditutup, Basyid menegaskan, tidak akan ada penutupan sekolah selama proses belajar-mengajar masih berlangsung. Artinya, masih ada murid yang menuntut ilmu di sekolah bersangkutan.
Ketua DPRD Balangan H Abdul Hadi menyayangkan terjadinya penutupan sekolah. Kendati demikian, jelas dia, Adaro juga merupakan bagian dari aset strategis nasional yang oleh pemerintah pusat harus dilindungi kepentingannya. Baik dari sisi keamanan maupun kepentingan pengoperasiannya.
Jika mau memindah desa dengan segala aset yang ada di dalamnya, terang Hadi, Adaro telah difasilitasi pemerintah pusat dengan regulasi yang membolehkannya. Dan aturan itulah yang dipakai pemerintah daerah untuk menjalankannya.
”Berapa desa dan sekolah di daerah ini yang hilang? Ini kesalahan masyarakat kita sendiri, kenapa mau menjual tanah dan kebunnya kepada Adaro. Kalau masyarakat tidak mau menjual, tentunya perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak akan ada penggusuran,” tuturnya.
Dibiarkan Roboh
Gedung SDN 2 Dunguswiru di Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, akhirnya roboh 20 April lalu. Sudah lama sekolah yang terletak di kampung halaman Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki tersebut rusak parah, tapi dibiarkan saja. Pihak sekolah tidak mempunyai dana untuk memperbaikinya.
Dan Rabu sore itu adalah puncak keprihatinan yang sudah lama dirasakan para siswa dan guru di SD tersebut. Suara atap dan tembok runtuh terdengar keras sehingga mengagetkan warga sekitar. Untung, saat kejadian, sekolah sudah sepi.
Lokasi yang roboh berada di bangunan paling ujung kompleks sekolah sederhana itu. Bangunan tersebut merupakan ruang kelas I.
”Untung, anak-anak sudah pulang semua. Saya tidak bisa membayangkan kalau anak-anak masih di kelas,” ujar Kepala SDN 2 Dunguswiru Halimah.
Kondisi yang dialami sekolahnya, menurut Halimah, sangat menjadi ironi di negara yang sudah hampir 71 tahun merdeka ini. ”Garut itu bukan daerah antah-berantah. Masih di Pulau Jawa. Juga dekat dengan Jakarta. Tetapi, nyatanya ada sekolah reyot dan akhirnya roboh,” cetus perempuan 53 tahun itu.
Halimah mengaku belum lama menjabat kepala SDN 2 Dungsuwiru. Selama ini pihaknya sudah mengajukan permohonan dana rehabilitasi ruang kelas rusak. Tetapi, Pemerintah Kabupaten Garut tidak kunjung menyetujuinya. Alasannya, masih banyak sekolah lain yang membutuhkan anggaran rehab.
Akibat ambruknya ruang kelas I, SDN Dunguswiru kini juga tidak memiliki ruang perpustakaan lagi. Sebab, ruang perpustakaan yang berlokasi persis di samping kelas yang roboh, untuk keselamatan siswa, dikosongkan sampai kondisinya memungkinkan untuk digunakan lagi.
Begitu pula ruang belajar siswa kelas II, juga ditutup. Sebab, rangka bagian atas dan temboknya terlihat retak-retak cukup lebar. Ruang kelas II seperti ikut tertarik bangunan kelas I di sampingnya yang roboh.
Halimah menceritakan, ruang kelas yang ambruk itu sudah lama rusak. Bahkan sebenarnya sudah tidak layak pakai. Plafonnya jebol, lantai dan dindingnya retak-retak, diperparah dengan kondisi tanah yang labil saat musim hujan.
”Setelah ruang kelas I itu roboh dan ruang kelas II tidak bisa dipakai, kegiatan belajar-mengajar terpaksa kami gabung,” ujarnya. Siswa kelas yang satu saling adu punggung dengan siswa kelas lainnya. Siswa kelas I belajar bersama siswa kelas III, sedangkan siswa kelas II belajar di ruang kelas IV.
Memang, model pembelajaran dua rombongan belajar (rombel) dalam satu kelas itu sangat tidak efektif. Misalnya, ketika kelas yang satu belajar bernyanyi, kelas satunya belajar matematika. Tentu konsentrasi anak-anak jadi terganggu.
Halimah sempat mengusulkan pembelajaran menggunakan dua sif, pagi dan siang. Namun, usul itu ditolak para orang tua siswa. Alasannya, hampir semua siswa bila sore harus belajar mengaji di TPA (taman pendidikan Alquran).
Menurut perhitungan Halimah, untuk membangun kembali ruang kelas yang roboh dan memperbaiki ruang di sekitarnya, dibutuhkan biaya sekitar Rp 170 juta. Karena itu, dia berharap anggaran yang tidak terlalu besar tersebut bisa segera dikucurkan. Agar tahun depan siswanya bisa belajar dengan tenang dan nyaman.
Kandang Kambing
Setali tiga uang, nasib siswa SDN 34 Bram Itam, Kabupaten Tanjung Jabung (Tanjab) Barat, Jambi, juga menyedihkan. Mereka belajar di bangunan yang tak layak disebut gedung sekolah. Lebih tepat disebut kandang kambing.
Berdasar pantauan Jambi Independent (Jawa Pos Group), dinding sekolah itu terbuat dari daun nipah yang disusun tumpang-tindih dan sebagian dari papan. Sedangkan atapnya terbuat dari seng berkarat yang sudah bolong-bolong. Dari jauh, bangunan panggung tersebut mirip kandang ternak.
Meski begitu, sekitar 40 siswa dengan tekun belajar setiap hari di sekolah tersebut. Mereka seolah tak peduli dengan kondisi sekolah yang bentuknya sangat memprihatinkan. Meja dan kursi yang ada juga sudah tua dan rapuh. Begitu pula papan tulisnya.
Menurut Dahanan, 59, salah seorang guru SDN 34 Bram Itam, pihak sekolah sebenarnya sudah berupaya mendapatkan dana perbaikan. Namun, dispendik setempat belum mau memberikan kepeduliannya terhadap kondisi memprihatinkan yang dialami SDN 34 Bram Itam. ”Kami tidak tahu kenapa proposal kami belum disetujui juga,” ujarnya kemarin (9/8).
Dahanan menceritakan, sekolah yang terletak di Kelurahan Bram Itam Kiri itu awalnya dibangun secara swadaya. Masyarakat yang ingin memiliki sekolah di desa mereka sepakat untuk membangun SD pada 2014. Seluruh bahannya mereka upayakan sendiri dengan apa adanya.
Dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut, kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu tidak bisa berjalan maksimal. Sebab, ketika hujan, ruang kelas sekolah jadi basah karena atapnya bocor. ”Kalau hujan, terkadang kami liburkan. Ruang kelas tidak bisa dipakai,” ungkapnya.
Terpisah, M. Fadli, anggota DPRD Tanjab Barat, mengaku prihatin atas keadaan sekolah tersebut. Dia menyayangkan mengapa bangunan sekolah yang rusak dan bolong-bolong dibiarkan saja. Padahal, setiap tahun anggaran di dispendik selalu besar.
”Mengapa mereka (pejabat dispendik, Red) tidak cepat tanggap? Padahal, sekolah sudah mengajukan proposal. Ke mana saja mereka?” tegasnya.
Kepala Dispendik Tanjab Barat Wahidin tidak bisa dimintai keterangan. Ditemui di kantornya, menurut stafnya, dia sedang keluar. Nomor ponselnya pun tidak aktif. (*/dilengkapi Radar Banjarmasin dan Jambi Independent/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Khawatir Bisnis Prostitusi Sambut Tenaga Kerja Asal Tiongkok
Redaktur : Tim Redaksi